Saya ingin mengeritik kehidupan ini. Dari atas sebuah bukit yang tinggi aku duduk dan melihat. Yang tampak ada sebuah kampung yang jauh beberapa kilometer dari tempat itu. dan yang lebih jauh lagi, hamparan laut biru. Jika ingin ke tempat itu, paling tidak butuh beberapa jam perjalanan. Apalagi dari tempatku berada, tak ada sarana transportasi yang menunjang.
Ini sungguh memprihatinkan. padahal di negara-negara maju, orang sudah ke bulan, dan berencana kemana pun dia suka, meskipun minyak dunia makin naik harganya. Apalagi di tengah harga yang mulai menurun.
Aku berpikir, apakah aku harus meratapi hidup di atas bukit itu, atau haruskah aku tertawa melihat betapa terkebelakangnya masyarakatku.
namun secara fakta, sebenarnya masyarakatku tak seberapa terkebelakang, karena mereka juga cukup mengenal perkembangan ilmu pengetahuan. hanya saja yang juga membuatku sedih, pengetahuan yang banyak mereka peroleh, tak sedikit meracuni jiwa dan hati mereka yang sejauh ini saya tahu sungguh murni.
Membendung segala perkembangan peradaban ini, tentu tak akan mampu, karena setiap hari, bahkan tiap detik, denyut perubahan itu seakan tak pernah berhenti.
Aku masih di atas bukit itu, ketika hari makin beranjak sore, ketika petani di kampungku telah pulang dari ladang kerontang mereka.
di wajah mereka tak tampak ada kegelisahan, mengenai pohon hutan yang kian hari kian habis, mengenai rumput kering dan perdu belukar yang terisak menahan panasnya api kemarau. mereka menjalani hidup, seakan-akan masalah itu sedemikian jauh, bahkan mungkin tak ada. Aku tak mau mengganggu apalagi mempersalahkan mereka. Karena mungkin, inilah yang masih tersisa dalam kehidupan yang nyaris terkapar tergilas kemajuan zaman itu....Salam. Turida, 18 February 2009....................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar