Total Tayangan Halaman

Sabtu, 22 September 2012

Untuk Apa Bayar Pajak?

Oleh Bernardus Kopong Gana Beberapa tahun lalu, Flores Timur dilanda Rabies. Gigitan anjing berbisa ini menciptakan kehebohan luar biasa. Orang menjadi takut memelihara anjing termasuk lalu lalang di jalan apalagi di malam hari, karena maut bagai mengintai di setiap sudut. Bahkan orang yang biasa memelihara anjing utk berburu pun was-was, jangan sampai anjingnya tertular rabies. Ketakutan menjalar dimana-mana di rumah penduduk dan desa-desa, takut kpad anjing, takut kpad orang yang tertular rabies, dan ketakutan2 yang mengerikan. Apa yang dibuat pemerintah Flotim waktu itu? Orang hanya terpesona. Yang sakit atau terkena gigitan anjing, tinggal lari tunggang langgang mencari selamat dengan suntikan anti rabies, terserah mau bayar berapa, ada uang atau tidak. Di tengah segala kepanikan yang mengerikan ini, pemerintah kita belum melakukan apapun. Masyarakat dibiarkan berusaha sendiri mencari selamat. Ada yang lari ke Maumere karena kurangnya vaksin rabies di Larantuka, ada yang terbang ke Surabaya, dan Jakarta, atau dimana pun ada vaksin rabies guna menyelamatkan selembar nyawanya. Semua orang kecuali kaum atheis, tentu percaya bahwa nyawa manusia ada di Tangan Tuhan. Namun bencana di depan mata seperti itu, sudah pasti masuk kategori Kejadian Luar Biasa (KLB). Sayangnya, ketika pulang kampung sekitar tahun 2004 silam, sy hanya menyaksikan kocar-kacirnya masyrakat menyelamatkan diri dengan cara tradisional. Pertama, mungkin karena tak ada uang, berikut, panik dan tak tahu harus buat apa, berikut lagi, hanya itulah harapan yang tersisa. Yang mengherankan, upaya utk mengatasi ha ini hampir tidak ada dari pemerintah. Rabies akhirnya tenggelam sendiri. Bantuan vaksin baru datang setelah rabies mereda dan korban sudah berjatuhan di sana-sini. karena sudah reda, tak ada lagi yang mempermasalahkan. Ditambah keyakinan penduduk setempat yang saya rasa tak perlu sy paparkan di sini karena sy pikir semua sudah maklum. Yang belum maklum bisa tanya kalau pulang kampung. Sekarang ini bukan rabies tapi wabah yang menimpa ternak penduduk berupa unggas. Wabah yang melanda unggas khususnya ayam ini bukan sehari atau dua hari lalu, melainkan sudah berbulan-bulan bahkan tahunan. Ayam mulai jarang terdengar berkokok ketika kami pulang baru2 ini ke kampung. Saya tanyakan kepada masyarakat, dengan cara apa kalian menyelamatkan ayam kalian yang dilanda wabah? Mau tahu jawabannya? ''Kami tidak tahu,'' jawab mereka. Mereka bercerita, mereka hanya ke kebun dan memungut ayam mereka yang jatuh dari atas pohon semalam, mirip memungut buah mangga matang, kemudian dikuburkan.Jika tidak, bau busuk akaan menyengat dimana-mana. Itu berlangsung hampir setiap hari, minggu, bulan, dan tahun, hingga saat ini. Dan sampai kini pun tak ada sedikit pun reaksi dari pemerintah kita utk menolong peternak unggas di kampung-kampung. Harga satu ekor ayam bisa mencapai lebih dari Rp 100 ribu utk ukuran yang di tempat tinggal kami saat ini, paling-paling dua ekor Rp 50 ribu. Sy bertanya dalam hati, sebenarnya apa kerjaan SKPD di Flotim, khususnya Dinas Peternakan atau instansi lainnya yang terkait, sekiranya Peternakan dimerger dengan dinas lain? Lantas kemana pemegang kebijakan daerah ini dalam menggerakan dinas terkait agar mengerahkan PPL yang bertugas bahkan memiliki kewajiban moral utk mengatasi hal ini? Jika begini, saya pikir, tak ada masalah jika perlu ada seruan utk memboikot pembayaran pajak, karena pemerintah tampaknya memang telah benar2 menutup mata terhadap nasib buruk yang menimpa masyarakat, padahal hal itu bisa diatasinya bersama perangkatnya. Apa sih susahnya membeli obat stimulan dengan memesan langsung ke Surabaya atau tempat lainnya yang menjadi sumber pakan ayam? Atau memng pemerntah kita pura2 bego? Mengapa utk proyek yang tak menyentuh langsung hajat hidup orang banyak, justru semangatnya bukan main? Marilah buka mata, buka hati. karena masyarakat itu adalah orang tua kita, kk, adik, keluarga kita. Terima kasih dan maaf ya....jika ada yang keberatan dengan tulisan ini

Minggu, 16 September 2012

Pola Hidup, Pola Pikir, Olah Jiwa

Oleh: Bernardus Kopong Gana Aku bangga dengan adat istiadat warisan para pendahuluku, Salah satunya, "kegiatan" yang sangat menyibukkan di saat orang meninggal dunia. Inilah barangkali salah satu warisan yang sanggup bertahan di tengah alam logika meski boleh dikata sudah hampir tak logis. Sebenarnya, semua orang tahu, apa yang harus diperbuat terhadap orang yang sedang dilanda kedukaan. Yang tak dilanda duka tentu berupaya agar yang dilanda duka ini agak lebih ringan bebannya dan agak terhibur. Itulah yang sebenarnya yang harus dilakukan jika menganut alam logika yang wajar, maupun adat istiadat pada umumnya. Bahwa kita saling menopang di kala susah, itu tak hanya kebaikan tapi juga kewajiban. Tapi kalau kita saling menindas dan menekan di tengah kedukaan yang melanda orang lain apalagi saudara/i kita sendiri, sulit untuk menyebutnya sebagai apa. Adat istiadat kita memang sungguh unik. Saking uniknya, sampai dibuat bertambah "unik" dari hari ke hari. Akhirnya tak hanya unik, tapi juga menyiksa. Tak hanya menyiksa orang yang tak tertimpa kedukaan, tetapi terlebih-lebih mereka yang sedang dilanda duka nestapa. Saya tak tahu, logika macam apa yang bisa menjelaskan, bahwa orang yang sedang susah harus melayani para tamu yang sedang tak susah. Apakah bukan sebaliknya? Inilah keunikan lain yang sangat perlu utk dibicarakan. Sebab patut dicurigai, ada begitu banyak tambahan yang tak perlu yang dilakukan orang dari zaman ke zaman entah dengan maksud apa. Bagaimana kalau begini, kita datang ke rumah orang yang sedang berduka, kita panggil diam2 salah seorang keluarga yang sedang berduka, kita berikan sesen dua utk skdr beli kopi gula. Maksud sy cara ini digunakan, jika kotak duka di depan rumah duka dianggap belum lazim. Daripada barisan panjang yang hampir tak terlihat ujungnya. Hal ini kita pertahankan guna pelestarian adat tapi yg sewajarnya menurt aturan adat itu. Bukan utk aksi pamer alias gengsi. Dan ini baru ronde-ronde awal, kita belum bicara soal ritual lainnya yang ...., ..... panjang dan berliku. Barangkali seperti kata salah seorang penulis di Kitab Injil, yang kurang lebih begini, ''jika semuanya ditulis, seisi dunia pun tak akan sanggup menampungnya. Lantas kapankah ada penyederhanaan agar yang berduka tak semakin tercekik? Setiap kali menulis begini, kadang terlintas di benak, seakan-akan aku tak setuju dengan ritual adat istiadat di kampung halaman. Perlu sya tegaskan di sini, bahwa aku lahir dan besar dalam asuhan adat istiadat, sehingga itu sudah menjadi darah dan daging. Maka dari itu, bukannya mau menentang atau membangkang. Saya hanya mengajak, marilah kita tapaki kenyataan hidup yang kian hari kian pahit dan melilit ini. Bahwa di masa yang akan datang, generasi muda ini harus sekolah. Minimal mereka harus tamat SMA utk saat ini. Lima atau 10 tahun mendatang, mgkin pendidikan yang dibutuhkan, minimal S1. Kalau dengan kondisi anak muda kita sekarang yang tamat SD sj susah dan lebih sering berkelahi dan mabuk, mau jadi apa generasi ini ke depan? Belum lagi ditambah beban adat yang sebagian besarnya mulai banyak disulap? Saya berani katakan ini, karena aku pernah dengar pesan dari seorang bapak yang teramat bijak. Betapa sayangnya dia akan kampung halaman ini, sampai-sampai begitu banyaknya pengorbanan yang diberikan guna "mengasah" hati tunas muda agar oneka itu "Neka Peli Koda bukan tae kamak semata.'' Dari sekarang, bahkan semestinya 10 atau 20 tahun lalu, kita harus sudah memikirkan hal ini. Bahwa adat istiadat itu sebenarnya ada bukan utk mempersulit manusia melainkan membuat segalanya makin mudah. Tapi jika kenyataannya sekarang penerapan adat istiadat yang dihajatkan utk memudahkan itu ternyata banyak dikeluhkan, berarti kita semestinya berkaca bahwa ada banyak hal yang mungkin menyimpang dari adat istiadat yang sebenarnya. Kusodorkan tulisan singkat ini utk direnungkan bersama dan mencari solusi bersama-sama pula, khususnya bagi yang peduli. Terima kasih... Koda Nabe Tawan..., Bura Gere Maan Lewun Tanah.