Total Tayangan Halaman

Minggu, 16 September 2012

Pola Hidup, Pola Pikir, Olah Jiwa

Oleh: Bernardus Kopong Gana Aku bangga dengan adat istiadat warisan para pendahuluku, Salah satunya, "kegiatan" yang sangat menyibukkan di saat orang meninggal dunia. Inilah barangkali salah satu warisan yang sanggup bertahan di tengah alam logika meski boleh dikata sudah hampir tak logis. Sebenarnya, semua orang tahu, apa yang harus diperbuat terhadap orang yang sedang dilanda kedukaan. Yang tak dilanda duka tentu berupaya agar yang dilanda duka ini agak lebih ringan bebannya dan agak terhibur. Itulah yang sebenarnya yang harus dilakukan jika menganut alam logika yang wajar, maupun adat istiadat pada umumnya. Bahwa kita saling menopang di kala susah, itu tak hanya kebaikan tapi juga kewajiban. Tapi kalau kita saling menindas dan menekan di tengah kedukaan yang melanda orang lain apalagi saudara/i kita sendiri, sulit untuk menyebutnya sebagai apa. Adat istiadat kita memang sungguh unik. Saking uniknya, sampai dibuat bertambah "unik" dari hari ke hari. Akhirnya tak hanya unik, tapi juga menyiksa. Tak hanya menyiksa orang yang tak tertimpa kedukaan, tetapi terlebih-lebih mereka yang sedang dilanda duka nestapa. Saya tak tahu, logika macam apa yang bisa menjelaskan, bahwa orang yang sedang susah harus melayani para tamu yang sedang tak susah. Apakah bukan sebaliknya? Inilah keunikan lain yang sangat perlu utk dibicarakan. Sebab patut dicurigai, ada begitu banyak tambahan yang tak perlu yang dilakukan orang dari zaman ke zaman entah dengan maksud apa. Bagaimana kalau begini, kita datang ke rumah orang yang sedang berduka, kita panggil diam2 salah seorang keluarga yang sedang berduka, kita berikan sesen dua utk skdr beli kopi gula. Maksud sy cara ini digunakan, jika kotak duka di depan rumah duka dianggap belum lazim. Daripada barisan panjang yang hampir tak terlihat ujungnya. Hal ini kita pertahankan guna pelestarian adat tapi yg sewajarnya menurt aturan adat itu. Bukan utk aksi pamer alias gengsi. Dan ini baru ronde-ronde awal, kita belum bicara soal ritual lainnya yang ...., ..... panjang dan berliku. Barangkali seperti kata salah seorang penulis di Kitab Injil, yang kurang lebih begini, ''jika semuanya ditulis, seisi dunia pun tak akan sanggup menampungnya. Lantas kapankah ada penyederhanaan agar yang berduka tak semakin tercekik? Setiap kali menulis begini, kadang terlintas di benak, seakan-akan aku tak setuju dengan ritual adat istiadat di kampung halaman. Perlu sya tegaskan di sini, bahwa aku lahir dan besar dalam asuhan adat istiadat, sehingga itu sudah menjadi darah dan daging. Maka dari itu, bukannya mau menentang atau membangkang. Saya hanya mengajak, marilah kita tapaki kenyataan hidup yang kian hari kian pahit dan melilit ini. Bahwa di masa yang akan datang, generasi muda ini harus sekolah. Minimal mereka harus tamat SMA utk saat ini. Lima atau 10 tahun mendatang, mgkin pendidikan yang dibutuhkan, minimal S1. Kalau dengan kondisi anak muda kita sekarang yang tamat SD sj susah dan lebih sering berkelahi dan mabuk, mau jadi apa generasi ini ke depan? Belum lagi ditambah beban adat yang sebagian besarnya mulai banyak disulap? Saya berani katakan ini, karena aku pernah dengar pesan dari seorang bapak yang teramat bijak. Betapa sayangnya dia akan kampung halaman ini, sampai-sampai begitu banyaknya pengorbanan yang diberikan guna "mengasah" hati tunas muda agar oneka itu "Neka Peli Koda bukan tae kamak semata.'' Dari sekarang, bahkan semestinya 10 atau 20 tahun lalu, kita harus sudah memikirkan hal ini. Bahwa adat istiadat itu sebenarnya ada bukan utk mempersulit manusia melainkan membuat segalanya makin mudah. Tapi jika kenyataannya sekarang penerapan adat istiadat yang dihajatkan utk memudahkan itu ternyata banyak dikeluhkan, berarti kita semestinya berkaca bahwa ada banyak hal yang mungkin menyimpang dari adat istiadat yang sebenarnya. Kusodorkan tulisan singkat ini utk direnungkan bersama dan mencari solusi bersama-sama pula, khususnya bagi yang peduli. Terima kasih... Koda Nabe Tawan..., Bura Gere Maan Lewun Tanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar