Total Tayangan Halaman
Kamis, 27 Desember 2012
Kawasan Tandus
Aku memandang padang kering. Sejauh mata memandang hanya perdu. Perdu yang tak seberapa tinggi itu meliuk-liuk diterpa angin musim panas, kering, dan menggigit. Panas mentari seakan menyamai panas tubuh dan hatiku nan gundah. Inilah tanahku sekarang, kering, gersang, dan selalu terbakar atau dibakar...karena keperluan, karena iseng.
Aku terpana menatap laut nun jauh di sana. Batu-batu gunung yang mencuat, menghalangi pandanganku yang lepas. Hanya batu, bukan pohon yang mungkin akarnya menjanjikan air.
Mengapa? Aku berusaha menjawabnya sendiri, karena aku hafal kelakuan anak-anak zaman ini. Yang suka membakar tanpa mau menanam. Yang senang menatap asap mengepul menghabisi sisa-sisa padang sabana yang kerontang.
Aku mengusulkan untuk dibuat aturan yang mengikat, agar orang tak makin doyan membakar padang ini. Yang belakangan ini hanya dihuni beberapa species burung khas daerah kering.
Yang tersisa ini pun diburu untuk "teman" minum tuak. Dan untuk itulah padang dibakar demi mengejar burung. Namun padang yang dibakar bukan hanya sebidang, sebab api toh akan merambat, bahkan hingga puncak gunung tetinggi di kampungku.
Kita bertanya, ulah siapakah ini? Dan jawaban yang kita dengar hanya dugaan-dugaan. Mungkin orang ini atau mungkin orang itu. Tiada yang peduli, karena masing-masing orang sedang sibuk dengan urusannya sendiri.
Meski pembakaran padang merugikan banyak pihak, orang enggan bicara. Mungkin karena malas, mungkin bosan, mungkin juga tak ingin cari masalah.
Orang seakan tak peduli akibat jangka panjang. Kekeringan maupun kekurangan air, sekadar air minum untuk kebutuhan hidup setiap hari, tiada pernah menyadarkan manusia ini, bahwa hal itu banyak diakibatkan kegemaran membakar hutan-hutan yang tersisa.
Mereka tak pernah sadar bahwa di masa yang akan datang, akan lebih parah dari ini.
Lantas bagaimana memberitahu anak-anak ini? Apakah mereka harus diberi sanksi tegas, ataukah cukup dipanggil dan dinasihati, atau perlukah ada aturan khusus?
Di Pulau Lombok kami tinggal sekarang ini, ada suatu kabupaten, namanya Kabupaten Lombok Utara (KLU).
Ini kabupaten paling muda, namun mereka paling giat menjaga tradisi. Termasuk diantaaranya menjaga hutan dan air mereka dengan "kekuatan" aturan adat yang disebut awiq-awiq.
Tidak tanggung-tanggung. Jika terbukti membakar hutan, bisa didenda hewan ternak berupa sapi atau kerbau, bahkan bisa diusir keluar kampung adat dan dihilangkan beberapa haknya dalam hukum adat yang berlaku di daerah itu.
Tahu hasilnya? Hutan Adat di KLU sekarang ini menjadi penyuplai air untuk keperluan PDAM KLU yang akhir-akhir ini meniatkan diri akan pisah dengan Kabupaten Induk Lombok Barat dalam manajemen maupun pengelolaan jaringan pipa PDAM.
Sekarang pikirkanlah, kalau Adonara ini jadi kabupaten, dan punya sistem pengelolaan PDAM sendiri, mata air mana yang kita andalkan untuk mengalirkan air ke rumah penduduk masing-masing?
Jangankan ke rumah penduduk, bahkan satu pipa untuk satu kampung pun kadang kembang kempis. Dan kalau hobi bakar membakar ini terus menjadi kebiasaan, maka marilah kita nabung dari sekarang untuk mendatangkan alat penyulingan air laut menjadi air tawar.
Atau kalau tak cukup ongkos, bukan tak mungkin, akan ada begitu banyak keributan akibat air. Sebelum terjadi hal itu, sungguh teramat baik jika kita mencegahnya terlebih dahulu. Semoga...
Selagalas, 28 Desember 2012....
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar