Total Tayangan Halaman

Sabtu, 27 Oktober 2012

Rosario di Jejak Narmada (Ketika Izin Membangun Kembali, Tak Diberikan)

Pagi ini aku terkenang akan Kota Air Namada, Lombok Barat. Dia tak hanya kota yang indah dengan air yang melimpah serta berselimutkan hawa sejuk seperti hawa pegunungan. Tapi di kota ini pulalah, awal mula adanya Umat Katolik di Pulau Lombok. Tempat yang begitu indah itu, kini tinggal merana dalam kehampaan panjang, hanya karena izin yang tak lagi diberikan para penguasa setempat didukung masyarakat sekitar untuk membangunnya kembali. Sahabat dalam grup ini, dari kalangan manapun, kuharapkan sudilah membawa dalam doa anda untuk menyelamatkan sekelumit tapak tilas sejarah tua yang pernah menjejak di tanah ini. Narmada tak hanya urusan sebuah gereja tua, tapi juga sebuah tapak sejarah yang patut dipertahankan dan dilestarikan tidak hanya untukku, tetapi untukmu, dan untuk kita semua. Tidak hanya umat Katolik, tapi juga semua umat manusia yang berbudi dan beradab, yang menghargai nilai kehidupan ini dan menghargai sesama sebagai umat manusia yang menyembah pada Tuhan. Memang ada juga informasi lain yang menyatakan, misi Katolik pernah menjejakan kakinya di Tanjung, salah satu stasi di Gereja St Antonius Padua Ampenan, jauh sebelum di Narmada. Namun pada kenyataannya, embrio Gereja Katolik baru menunjukan dirinya di Narmada. Karena dari tempat inilah sejarah mengenai keberadaan Gereja Katholik di Matatram ini dimulai dan umat terkumpul dalam jumlah cukup memadai. Dari tempat inilah kemudian hijrah ke Karang Taruna di seputaran Kota Mataram, dan akhirnya pindah ke titik nol Kota Mataram, Jalan Pejanggik, Pusat Kota Mataram dengan nama Gereja Katholik St Maria Immaculata Mataram sekarang ini. Untuk beberapa waktu, perkembangan gereja sungguh menggembirakan. Gereja Narmada tua di pinggir jalan Kota Air yang mulai lapuk dimakan usia, akhirnya mulai dipikirkan untuk membangun yang baru. Di masa Gereja Katholik Mataram dipimpin Pastor Mikhael Mige Raya SVD, selain dibangun sebuah gereja di Narmada, dibangun juga Gua Maria yang ketika itu menjadi salah satu stasi di bawah Gereja Mataram. Banyaknya kesaksian yang diperoleh di tempat ini, khususnya di Gua Maria, membuat makin banyak orang berziarah, baik sendiri-sendiri, keluarga maupun kelompok dan organisasi dalam gereja khususnya camping rohani Mudika, PMKRI maupun Pemuda Katolik. Suasana terasa begitu tenang dan damai, bahkan sekalipun tak dijaga. Karena hampir setiap hari, selalu saja ada yang masuk keluar di tempat ini, baik ke gereja maupun Gua Maria untuk berdoa. Gerbang gereja ini tak butuh kunci. Karena sulit bagi orang utk melakukan suatu kejahatan terbuka di tengah keramaian. Tempat yang cukup luas dengan posisi gereja baru dan Gua Maria di tempat paling belakang, sangat memungkinkan untuk menghalau segala gangguan yang mungkin saja datang dari arah jalan raya di bagian depan. Apalagi paling depan ada gereja tua, menyusul tanah cukup lapang yang dipenuhi kebun buah, kemudian kolam, dan akhirnya gereja baru dan Gua Maria. (bersambung) Suasana yang sungguh nyaman ini tetap bertahan sampai tiba masa sulit itu. Ketika meletus peristiwa yang dikenal dengan sebutan 171 (17 Januari Tahun 2000), rusuh massa yang melanda Kota Mataram dan sekitarnya termasuk Narmada, yang memporak-porandakan semuanya. Peristiwa kelabu ini, dalam seketika saja menghancurleburkan begitu banyak benih kebaikan dan keindahan yang selama ini ditabur di Tanah Lomboq. Beberapa gereja dibakar dan dirusak. Termasuk di antaranya Gereja Narmada dan Gua Maria Narmada. Umat pun mengungsi kemana saja utk menyelamatkan diri maupun apapun yang dapat diselamatkan. Karena disamping susana yang tidak karuan, isu menyebar ke sana kemari seperti bisikan maut yang mengancam siapa saja. Kala itu, tak hanya orang Katholik atau Kristen yang menjadi sasaran kerusuhan saja yang dilanda cemas dan gelisah, tetapi hampir seluruh masyarakat. Karena banyak diantara perantau-perantau dari Flores, Jawa, Manado, Sumatera khususnya Batak yang beragama Katholik maupun Protestan, tak sedikit yang bertempat tinggal dengan cara sewa atau kontrak di perkampungan Bali. Isu ini kian menguat, karena konon, perkampungan Bali juga akan diserbu sehingga aku yang ketika itu tinggal di perkampungan Bali, ikut begagang semalam-malaman. Siapa tahu kelompok entah darimana akan datang menyerbu, dan entah mengapa harus menyerbu, dan untuk apa menyerbu. Isu berkembang meneror warga dimana-mana, sehingga ketakutan mejalar tak terkendali. Isu sweeping KTP ikut membuat tambah resah. HT, sarana komunikasi yang cukup efektif waktu itu, membuat isu yang beredar bertambah mengesalkan dan menyakitkan. Orang yang semula tenang saja menjalani peristiwa ini menjadi ikut-ikutan terprovokasi, antara kian berbuat nekat atau menjadi sangat takut, seperti ibu kos tempat aku tinggal. Ibu kos saya di Jalan Pejanggik Gang II/7 datang ke kamar kos saya dan dengan sangat meminta agar aku lekas mengungsi dari tempat itu. Mengapa? Karena dia sungguh-sungguh takut, jangan sampai gara-gara saya, rumahnya diserbu dan dibakar perusuh yang ketika itu konon berencana menyerbu juga perkampungan Bali. Aku memaklumi suasana psikologi ibu kos saya, meski dalam hati aku cukup yakin bahwa agak sulit bagi para perusuh untuk menerjang juga perkampungan Bali, kecuali kalau memang kiamat kecil itu akan melanda Kota Mataram. Karena isu itu menyebutkan, di siang hari hanya rumah ibadah yang dibakar namun malam hari, orang Kristen (Jarang orang menyebut Katolik) karena orang di Lombok kala itu yang bukan Katolik, jarang tahu membedakan mana Katolik, mana Kristen Protestan, akan disweeping untuk dibunuh. Ketakutan ini pula yang ikut menjalari perkampungan Bali, karena tak sedikit orang Katholik maupun Protestan yang ngontrak di perkampungan Bali, baik mahasiswa, pelajar maupun perantau pada umumnya. Dan karena kencangnya isu yang beredar, apalagi isu dari mulut ke mulut, membuat keresahan itu makin memuncak. Tidak ada koordinasi lewat HP. Pagar pun hanya menerima dan harus mencari dulu telepon umum untuk konfirmasi. Adanya hanya telepon rumah, dan itu pun mulai macet setelah tempat ibadah maupun rumah dibakar dimana-mana. Dan di atas segala keanehan ini, aparat keamanan seakan tak berdaya, baik polisi maupun tentara, Hanya ada sekompi tentara bersenjata lengkap yang begrak sangat cekatan menuju gedung penjualan Honda Krinda di ujung Jalan Pejanggik. Konon karena tempat usaha itu mau dibakar juga. Sampai-sampai ada seorang sahabatku asli Sasak yang berteriak lantang,’’ Lain kalau kita mau berdoa, tak perlu ke masjid atau ke gereja, tapi kita pergi ke Kantor Honda Krida. Karena kantor ini dijaga ketat dengan senjata lengkap. Jadi aman,’’ kata Lalu Agus F Wirawan. Betapa duka hati sahabatku yang satu ini, karena ketika itu dia sedang bekerja di bisnis pariwisata dan sedang kedatangan banyak tamu asing. Peristiwa kerusuhan tak hanya menciptakan kesusahan dan derita bagi orang yang menjadi sasaran kerusuhan tetapi hampir semua masyarakat, kecuali barangkali si sutradara kerusuhan itu sendiri. Tapi kalau ternyata usaha rusuhnya ini tak mencapai target sebagaimana yang diharapkan, kemungkinan yang bersangkutan bersedih juga. Semoga Tuhan Yang Mahakuasa sudi mengampuni orang ini, karena kerusakan, dukacita, dan kehilangan yang ditimbulkannya tidak kecil. Di tempat yang lain lagi seperti Ampenan, dan pusat Kota Mataram, rumah milik orang Katholik maupun Protestan yang berada cukup jauh dari pemukiman, dibakar. Sementara isinya dijarah. Sementara pemiliknya, ada yang mengungsi ke Polda maupun Batalyon 742/SWY di Gebang atau bahkan menumpang perahu cepat dan meluncur ke Bali. Katedral di Denpasar pun penuh dengan pengungsi. (bersambung) Namun para pastor baik di Mataram, Pastor Hans SJ dan Pastor di Ampenan Pastor Rosarius Geli SVD, tak pernah bergeser dari tempatnya. Romo Rius (Pastor Rosarius Gelly) berjalan dari satu tempat pengungsian ke tempat pengungsian lainnya meneguhkan hati umat. Pastor dari Bajawa, Flores ini, yang ketika itu menjadi Pastor Paroki St Antonius Padua Ampenan, terlihat begitu kokoh pendiriannya. Dia tak bergeser sedikit pun dari paroki yang dipimpinnya, kecuali kalau mencari “domba-dombanya” yang ketika itu pergi ke pengungsian. ‘’Saya akan tetap menyelenggarakan upacara Ekaristi, meskipun hanya satu orang umat yang datang misa,’’ demikian disampaikan Romo Rius kepada umat yang ada di pengungsian. “Kehebatan” para bapak Gereja Katholik memang tampak sungguh nyata dan tak terbantahkan dalam peristiwa ini. Sementara di “perahu” lainnya, pemimpinnya lari begitu kencang keluar daerah dengan sarana apa saja, sementara umat dibiarkan keleleran tak karuan. Namun malam di hari pertama terjadi kerusuhan yang melanda Mataram dan sekitarnya, seakan-akan alam pun tak mengizinkan pengungsian. Bagaimana tidak? Cerita seorang sahabatku yang ikut mengungsikan orang ke Bali, atau ikut mengungsi juga, perahu yang ditumpangi di kawasan wisata Senggigi, Lombok Barat menuju Bali, selalu dijahajar gelombang tinggi kembali ke pantai. Beberapa kali diupayakan namun tetap saja seperti itu. Entah mengapa sampai terjadi demikian, tiada yang tahu. Yang jelas, suasana sungguh mencekam. Yang di dalam rumah ingin keluar sementara yang di luar rumah ingin masuk. Gereja Mataram rata dengan tanah. Gereja Narmada, meski tak rata dengan tanah namun porak poranda. Rupanya letaknya yang agak berdampingan dengan perumahan penduduk, membuat perusuh ragu, jangan sampai rumah warga sekitar ikut dilalap api, karena itu dirusak serusak-rusaknya. Kedukaan sungguh nyata terpancar dari wajah umat yang selama ini hidup berdampingan begitu damai, namun dalam sekejap saja bagai tersapu angin puyuh. Ada seorang anggota DPRD Lombok Barat namanya Haji Bahrul Fahmi. Dia bertanya kepada saya, ‘’Yang mana gerejanya Pak Kopong? Apakah di depan Rumah Sakit Mataram?.’’ Agak lesu saya jawab.’’Ya, benar.’’ ‘’Wah Pak Kopong. Gereja itu barusan saja dibakar. Pak Kopong pulang saja dulu, nanti kalau bagaimana-bagaimana, Pak Kopong bersama keluarga datang dan tinggal saja di rumah saya di Gunungsari. Sekarang Mataram sedang rusuh. Gereja-gereja dan rumah-rumah banyak yang dibakar.’’ Kulihat kecemasan sungguh kental terpancar dari wajahnya. Ada ketulusan terpancar juga dari sana, yang mengisyaratkan kepada saya, bahwa tak semua orang menghendaki adanya kerusuhan atau perbuatan yang dapat merusak NTB, khususnya Pulau Lombok, terlebih-lebih pusat Kota Mataram. Ketika itu saya sedang liputan rutin di pusat Kota Kabupaten Lombok Barat, Giri Menang, Gerung. Maka dengan hati yang agak tidak karuan, aku pamit kepada sahabatku yang anggota dewan itu dan mempermaklumkan kepadanya, jika memungkinkan aku akan mengajak semua keluarga tinggal di rumahnya. Dalam perjalanan pulang menuju Mataram, aku berpikir lagi, apakah kehadiranku bersama keluarga yang jumlahnya cukup banyak tak menyusahkan Haji Fahmi? Dengan hati yang campur aduk, saya menggeber sepeda motor menuju pusat Kota Mataram. Dari jauh kulihat kepulan asap hitam, tebal membumbung ke angkasa. Terlihat begitu dekat sampai saya mengira, itu bukan asap yang berasal dari dibakarnya Gereja Mataram. Namun makin dekat ke sumber asap aku semakin yakin bahwa memang benar Gereja Mataram telah dibakar. Zaman itu tak seperti zaman ini. Zaman ini, FB, BB, dan media komunikasi model tercanggih pun tersedia. Ketika itu aku hanya mengandalkan telecall pagar. Pesan singkat yang masuk ke pagarku: Yang Namanya Kopong dan Domi (Karena wartawan Lombok Post hanya saya dan Domi) yang beragama Katholik), tak usah masuk kantor dulu. Aku membacanya sekilas, kemudian memasukan kembali ke tasku. Pandanganku tertuju ke awan kelam di depan. Truk-truk pengangkut massa bagai kesetanan lari di atas trotoar kota. Sisa pembakaran terlihat beterbangan menghiasi langit kota Mataram. Teriakan histeris para perusuh seperti raung kematian yang membahana memenuhi jalan-jalan. Yang terjadi ketika itu yakni massa membakar Gereja GPIB di Jalan Bungkarno. Namun karena terlalu tinggi tak dapat dibakar. Massa hanya dapat membakar sebuah unit bangunan di belakang gereja yang cukup megah itu. Aku pun melanjutkan perjalanan menuju pusat kota menerobos kerumunan, merobos keterasingan, karena tampaknya diantara mereka pun tak saling kenal satu sama lain. Aku menuju kamar kontrakan yang letaknya tak jauh dari Gereja Katholik St Maria Immaculata Mataram. Kemudian aku ambil kamera pollaroid yang tadinya kutinggalkan di tempat kos dan sengaja tak kubawa bertugas karena hanya tersisa beberapa film saja. Aku bergegas ke Gereja Mataram dengan jalan kaki sambil berlari untuk melihat dari dekat. Lututku terasa goyah dan bara api yang menghanguskan persada Kota Mataram, menyalak ganas seakan hendak menelan semuanya. Ketika aku sampai di tempat itu, bertepatan dengan robohnya atap aula yang paling belakang. Aku terkesima, sementara di depan maupun di belakangku, berseliweran manusia-manusia berwajah bringas yang selama ini tak pernah kulihat. Sebab selama ini begitu ramah dan begitu akrab. Dan semua itu seakan lenyap dalam seketika saja. Aku pun terpesona melihat anggota Kodim 1606 Lombok Barat yang masih bermarkas di Mataram yang berdampingan dengan Gereja Mataram, karena Lombok Barat baru dimekarkan. Mereka berpakaian loreng serba lengkap namun hanya berdiri ternganga saja entah menatap bangunan apa yang dibakar di depan hidungnya. Aku benar-benar heran, hari gini, ada juga aparat yang secara berjamaah dengan tenang menyaksikan kesewenang-wenangan yang berlangsung begitu saja di depan umum dipimpin komandannya. Atau mungkin juga tentara-tentara ini tak dapat disalahkan, karena konon mereka bekerja berdasarkan garis komando alias perintah. Sebelum ada perintah, tak boleh bergerak sembarangan, meskipun korban telah bergelimpangan di sana sini. Barangkali garis komando jenis ini perlu diperbaharui agar tentara yang lahir dari rahim Ibu Pertiwa dan anak kandung bangsa ini, ke depan lebih mantap lagi dalam membela dan mengayomi masyarakat yang secara fisik lebih lemah dari dia. Juga kaum kecil tertindas, dan tak berdaya. Soalnya, kalau yang kuat tak melindungi yang lemah, mau dibawa kemana negeri ini? Di tengah segala keriuhan ini, aku teringat akan Gereja Tua Narmada, Gua Maria yang baru dibangun, tempat yang sejuk itu, yang berada di tengah-tengah warna yang berbeda. Malam harinya baru aku memperoleh khabar bahwa gereja itu pun dirusak dan patung Bunda Maria di dalam gua pun mengalami nasib serupa. Awalnya, konon gereja itu mau dibakar, namun melihat jaraknya yang cukup rapat dengan pemukiman pendudukan di sebelah barat gereja itu, akhirnya urung dibakar. Namun gereja nan malang itu dirusak sampai serusak-rusaknya. Atapnya dilempari sampai genteng-genteng berhamburan. Sudah pasti, gereja ini tak akan bisa lagi digunakan untuk tempat beribadah sebelum diperbaiki. Dan bagaimana nasib patung Bunda Maria di dalam gua? Kabar yang tersirap, patung itu dibawa kemudian dihancurkan, bahkan konon ada perbuatan yang jauh lebih keji lagi. Tempat yang begitu banyak melahirkan kesaksian itu, diluluhlantakan dengan tanah, seakan-akan ada kejahatan begitu besar yang telah diperbuatnya. Namun jumlah aparat yang terbatas, lebih fokus ke Kota Mataram, sehingga Narmada seakan tenggelam dalam hiruk pikuk rusuh yang tak terkendali selama tiga hari berturut-turut, Senin, Selasa, dan Rabu. Para perusuh, entah darimana berasal, pagi, siang, malam, tengah malam, hingga subuh, terus berkeliaran ke sana kemari membakar dan menjarah, khususnya di seputaran Kota Mataram dan Lombok Barat. Umat Katholik dan Protestan yang ketika itu beken dengan sebutan Nasrani di NTB, karena memang demikianlah nama asli dari kedua agama besar ini, berusaha mencari selamat sendiri-sendiri ke tempat pengungsian yang dipandang aman, termasuk keluar dari Pulau Lombok, entah ke Bali, Surabaya, atau kemana saja yang dipandang aman. Namun Rm Rius seakan tak peduli. Beliau terus berjalan dari satu pengungsian ke pengungsian lainnya, baik di Polda maupun Batalyon 742/SWY Gebang. Rm Rius menyampaikan kepada umat, bahwa tak ada jaminan, tempat di luar Lombok lebih aman daripada Lombok kendati Lombok tengah dilanda rusuh massa. Dari beberapa saluran televisi terlihat bagaimana Lombok yang selama ini tenang dan damai bagai surga, tiba-tiba manusia menjadi sedemikian bringas seperti kesetanan. Apa gerangan yang terjadi? Isu lain berkembang, bahwa para pembuat rusuh tak lain orang bayaran yang telah menerima upeti entah dari siapa untuk membuat keributan, dan entah dengan tujuan apa. Jika memang kerusuhan ini didanai orang tertentu, sungguh keji orang yang telah memprogram kerusakan atas tanah ini. Karena orang di pulau yang dikenal dengan Pulau Seribu Masjid ini, sejak puluhan tahun silam aku berada bersama mereka, sedemikian ramah dan bersahabat, bagai saudara sendiri. Dan kenyataannya memang demikian. Begitu lama kami membangun bersama-sama dunia pariwisata hingga menyentuh titik tertinggi dalam jumlah kunjungan, tiba-tiba, hanya dengan sekali gebrakan saja, semuanya jadi berantakan. Dan jika benar bahwa ada yang mendanai, itu sungguh kejam, dan terlebih kejam lagi, karena sejauh ini pun tak ada yang terungkap donatur itu. Aku lihat Gubernur NTB Harun Al Rasyid sempat mengunjungi Polda NTB dan berjabat tangan dengan kami para pengungsi atau pun yang dipaksa mengungsi dari tempat kediamannya. Tak ada kata-kata terucap, hanya jabat tangan penuh kebingungan. Seakan-akan bertanya-tanya, mengapakah semua hal ini harus terjadi. Kemudian pada hari ke tiga, keluarlah perintah dari Mabes Polri, untuk menembak di tempat barang siapapun juga yang membuat rusuh, membakar, maupun menjarah. Pasukan Brimob Polda NTB yang waktu itu masih bertipe C dengan pangkat kapolda yang masih kolonel, tak memungkinkan untuk mengeluarkan perintah langsung di saat kerusuhan meletus. Polisi hanya dengan pelor hampa dan gas air mata mengeluarkan tembakan hingga asap pekat menutup kota, namun perusuh malah kian menggila. Datanglah para sahabatku dari kantor tempat aku bekerja. Seorang sahabatku yang begitu baik dan akrab, bahkan dengan suaminya datang ke Polda NTB membawa kopi yang disimpan dalam botol untuk disuguhkan kepada aku dan keponakan-keponakanku yang baru bisa terkumpul lengkap pada hari ke dua menjelang malam dan hari ke tiga pagi. Sahabatku, Hj Suharyani, memang tahu betul, tiap pagi aku lebih memilih tak makan daripada belum ngopi dan rokok. Di tengah segala kesulitan ini, Dia Yang Mahaagung, mengulurkan Tangan-Nya dengan berlimpah-limpah. Syukur dan Pujian bagi Nama-Nya Amin. Sahabatku tak hanya membawa kopi maupun jajan, dia juga menggalang teman-teman kerja di kantor untuk memberikan sekadar sumbangan untuk saya dan Dominikus Umbu Pati, yang ketika itu mengungsi ke Batalyon 742/SWY. Sahabat-sahabat yang lain yang begitu baik dan begitu banyak, yang sulit disebutkan satu per satu, juga ikut datang melihat dan membantu kami dalam segala kesesakan itu. Dan ada pula seorang tokoh muda Sasak kala itu, Lalu Winengan, yang memeluk aku dan mengatakan dengan tulus, ‘’Pong (Maksudnya, Kopong), ini bukan ulah saudaramu orang Sasak di sini. Mereka tidak seperti ini sejak zaman dahulu kala. Jangan marah ya Pong, kita tetap saudara,’’ ujarnya. Aku hanya mengangguk saja, aku menyadari bahwa di tengah suasana kalut dan tak karuan seperti ini, kita harus benar-benar tahu kemana harus menggantungkan harapan. ‘’Ya, miq (Sapaan halus untuk Bangsawan Sasak), mudah-mudahan lekas reda dan semuanya kembali menjadi baik,’’ jawab saya. Sahabat atau lebih tepatnya saudara yang lain, Noor Rahmat dari Dompu, pimpinan PT Sima Mutiara, tempat keponakan dan adik-adikku bekerja selama ini, Busrah Hasan, Kepala Dinas Perikanan NTB, juga datang menjenguk dan menghibur kami. Terpujilah Tuhan Yesus dan Bunda Maria atas segala kemurahan-Nya. Lantas aku terkenang kembali akan Gereja Narmada, gua yang sejuk yang memberikan ketenangan itu. Gereja tua yang menyimpan sejarah sangat berharga. Bagaimanakah nasibmu? Di tengah pengungsian aku hanya merenung dan mengingat susunan demi susunan bata dan pagar yang mengelilinginya yang konon telah dirusak bahkan sebagian dirobohkan. Aku hendak ke Narmada? Situasi masih sangat belum nyaman. Sepeda motorku kuparkir di tempat kos, dan seorang temanku yang juga redaktur di koran tempat aku bekerja Purwandi, kuminta datang dan mengambilnya untuk diurus sementara. Apalagi ketika itu bertepatan dengan habisnya perpanjangan STNK. Lebih parah lagi, BPKB kendaraan ini, tersimpan di BTN Meninting, tempat tinggal kakakku Simon Sanga Pure yang ketika itu bertugas di Dompu. BTN itu ditempati seorang keponakanku yang kupaksa segera meninggalkannya bersamaan dengan tibanya bala bantuan Brimob yang didatangkan dari Aceh. Siang ditinggalkan, malamnya, rumah seisinya habis dijarah, beberapa bagian bahkan dirusak. Yang tersisa hanya sepotong kain adat (Nowi’). Hanya sepotong kain itulah yang tak dibawa. Tapi pakaian satu buffet dan barang-barang lainnya dijarah habis, termasuk semua pakaian keponakanku selain yang melekat di badan, karena ketika itu aku dan sahabatku Aleksander Ama Reko, memang berniat menjemputnya ke Meninting sehubungan dengan isu pembantaian yang akan berlangsung malam hari. Dan ketika itu kami berpapasan dengan keponakanku Aloysius (Azis) di tengah jalan. Dia ingin pulang ke Meninting mengambil pakaiannya tapi aku larang. Dengan sendirinya, BPKB pun dijarah dan sebagai gantinya untuk memperpanjang STNK, sahabatku itu membuat surat keterangan hilang. Adakah yang lebih pahit dari kerusuhan, perang, dan bencana serta wabah penyakit? Mungkin ada mungkin juga tidak. Tapi keberadaan Gereja dan Gua Narmada sekarang ini boleh dikatakan jauh lebih pahit dari rusuh massa itu sendiri. Bagaimana tidak? Gereja ini dibangun sejak lama. Dan umat pun mulai berkembang, meski banyak yang menetap di Kota Mataram. Umat yang semakin banyak memungkinkan untuk sekali waktu, misa juga diselenggarakan di Gereja Narmada atau Gua Narmada. Apalagi kegiatan camping rohani Mudika, Pemuda Katholik, PMKRI, di zaman saya, kebanyakan menggunakan tempat ini. Dan setelah kerusuhan melanda, akhirnya Gereja dan Gua Maria Narmada ikut dirusak. Setelah dirusak, umat mengungsi. Ada yang pulang dari pengungsian, namun faktanya lebih banyak yang meninggalkan tempat dan pulang kampung atau merantau ke tempat lain. Dengan sendirinya, umat yang makin sedikit dan berada di bawah tekanan ini, tak bisa mengurus gereja tua yang nyaris roboh itu. Bahkan ketika aku pulang dari kampung dan pergi ke gereja itu, kudapati ada yang tega mengikat kambingnya di altar. Karena kenyatannya memang tak diurus. Pemimpin Gereja Katholik St Maria Immaculata Mataram tak bisa berbuat banyak kala itu untuk Gereja maupun Gua Narmada. Mengapa? Karena umat yang terpusat di Kota Mataram pun kesulitan sekadar tempat beribadah, karena gerejanya telah roboh rata dengan tanah. Pilihan sungguh sulit pun dilakukan, apakah harus membangun Gereja Narmada yang umatnya sebagian besar sudah pulang kampung dan hanya tersisa satu dua keluarga yang ketika itu menyandang nama Stasi Bintang Timur, atau membangun Gereja St Maria Immaculata Mataram di pusat kota yang tentu saja masih jauh lebih banyak umat dan membutuhkan tempat ibadah dengan segera, setelah gereja beratap sirap itu dilalap tanpa ampun. Dan jangan lupa, umat Mataram tak seberapa banyak dan bukan dari kalangan konglomerat. Di tempat ini kebanyakan perantau yang hidupnya juga ada yang lumayan memprihatinkan. Sebagai gereja mandiri di bawah Keuskupan Denpasar, pastor paroki Rm Rosarius yang ketika itu jadi Pastor Paroki Ampenan, dipindahkan ke Mataram. Di bawah pimpinan Rm Rius, sumbangan untuk pembangunan gereja digalakkan. Jumlah umat yang tak terlalu banyak dengan penghasilan yang harap dimengerti, sungguh suatu yang di luar nalar, jika dapat membangun sebuah tempat ibadah yang cukup lumayan dalam waktu singkat. Meski kesannya agak “memaksa” namun umat dengan penghasilan tertentu “dipatok” untuk menyumbang sekian-sekian guna pembangunan gereja yang habis dibakar massa itu. Di tengah segala kekalutan ini, Gereja Narmada merana sendiri. Dari jalan, tampak atap gereja yang mulai roboh sedikit demi sedikit. Tempat itu seperti sebuah rumah tua yang ditinggalkan berabad-abad. Namun di tengah himpitan yang luar biasa, mau tak mau, pikiran dan tenaga, serta biaya, untuk sementara terfokus ke pembangunan Gereja Mataram. Setelah terkumpul dana baik iuran yang ditarik dari umat maupun sumbangan sukarela dari umat, pelahan namun pasti, Gereja Mataram mulai dibangun, setelah pengumpulan dana yang memakan waktu bertahun-tahun. Peletakan batu pertama dilakukan Walikota Mataram Haji M Ruslan yang kini sudah almahrum. Beliau sempat menyatakan, jika masih diberi kesempatan, dia juga yang akan meresmikan. Dan harapannya pun terkabul. Dia jugalah yang meresmikan setelah gereja itu selesai dan dipandang layak untuk dipakai beribadah. Setelah berbilang tahun entah kapan, lonceng Gereja Mataram kembali berdentang. Sukacita pun terpancar dari wajah umat. Dan selain harapan H M Ruslan, harapan Rm Rius pun terkabul. Kalaupun akan dipindah, Rm Rius yang waktu itu selain sebagai pastor Paroki Mataram juga Deken NTB berharap agar Gereja Mataram telah selesai dibangun. Selesaikah masalahnya? Ternyata suara Bunda dari Narmada begitu memelas. Di tengah dentang lonceng Gereja Mataram yang terdengar nyaring, ada suara lirih yang menyayat hati yang datang dari Stasi Bintang Timur, yang hanya tersisa beberapa keluarga. Namun bukan itu masalahnya, melainkan kapan gereja maupun Gua Maria yang sama-sama mengalami peristiwa pedih 171 itu akan dibangun kembali? Suara yang mengetuk hati pun kembali menggema di mimbar gereja. Bukan mau memaksa, tapi kalau dibiarkan sampai kapan akan tetap seperti itu? Meski masih tertatih-tatih menanggung beban pembanguan Gereja Mataram yang sebenarnya sesuai gambar belum tuntas, namun aksi pengumpulan dana untuk Gereja dan Gua Narmada mulai dilakukan. Dengan dana yang masih sangat terbatas, dibangunlah pagar depan dan samping tempat ibadah tua itu. Tempat yang sebelumnya tampak begitu kumuh meski ada di pinggir jalan, mulai tertata dan kian cantik. Disusul kemudian dengan rehab gereja tua (gereja asal) yang sebelumnya sempat dipakai entah siapa mengikat kambing di tempat itu. Bangunan itu pun tampak apik dari luar, dan sumbangan yang mulai terkumpul, tampaknya akan segera diarahkan untuk pembangunan gereja di bagian belakang yang dirobohkan itu, berikut Gua Maria. Dan ketika pembangunan sedang berjalan…aral itu tiba-tiba melintang. Oh Bunda Maria… Informasi yang diperoleh, Camat setempat tak mau memberi izin entah karena apa. Namun suara lain yang berhembus, itu karena provokasi yang dilakukan orang tertentu. Entah apapun ceritanya, engkau dan aku, kita, tak hanya sedang berbicara tentang sebuah tempat ibadah, melainkan sebuah sejarah yang telah ditorehkan orang-orang zaman dahulu kala di tempat ini. Gereja di tempat ini bahkan berdiri sebelum zaman kemerdekaan, jauh lebih tua dari Gereja Mataram yang mulai ada tahun 1938. Dengan demikian, keberadaannya pun memberi warna khusus pada sejarah perjalanan Lomboq. Jika demikian, maka betapa keji jika ada yang sekadar niat saja hendak menghapus tapak sejarah itu. Semoga Bunda Maria berkenan membuka hati siapapun juga yang berniat menghilangkan tapak sejarah yang sungguh berharga ini. Kiranya, Bunda Maria akan memohonkan kepada Putera-Nya untuk memberikan yang terbaik bagi seluruh umat manusia yang berkehendak baik, khususnya Gereja serta Gua Maria Narmada yang tengah dalam perjalanan meniti iman. Amin. Selagalas, 28 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar