Total Tayangan Halaman

Minggu, 18 Desember 2011

Pujian Perantau

Di tempatku berada yang kini jauh di balik tasik, aku memandang ke ufuk timur. Ke tempat aku berasal, melangkahkan kaki sejak muda belia dengan segunung semangat memenuhi dadaku. Aku mengira, aku akan sanggup mengarungi belantara kehidupan ini sendiri. Hari ini, ketika gaung Natal makin keras terdengar di telinga, aku terkenang akan kampung halamanku nun jauh di sana. Setiap menjelang Natal seperti sekarang ini, aku selalu pergi ke kebun, menengok kebun pisang yang buahnya mulai ranum, buah-buahan lainnya yang mungkin ada, karena musim mangga telah lewat. Tak lupa pula aku bawa beberapa ubi kayu yang aku cabut di kebun sendiri, termasuk jagung muda yang ditumbangkan angin musim. Semua itu kubawa pulang kemudian sibuk sebentar di dapur ala kadarnya untuk merayakan Natal gaya kampung. Sementara itu di pusat kampung sana, riuh rendah terdengar irama musik dari gong dan beduk berbarengan. Orang hedung di tengah hujan yang mengguyur, tak peduli sakit flu atau encok. Semua penyakit itu seakan tak kuasa menahan laju kebahagiaan yang memenuhi dada kami. Di saat seperti itu, tarian Hedung selalu digelar sebagai upacara penyambutan Natal ala kampung. Tak mewah sekali, tapi lebih condong ke arah upacara adat. Jumlah penghuni kampung yang dari waktu ke waktu makin banyak, membuat setiap kali pesta selalu ada tambahan beberapa ekor hewan semacam babi atau kambing yang dibantai. Asyiknya, tua muda, laki wanita hingga anak-anak, berbaur jadi satu dalam pesta itu. Dengan pesta ala kampung yang penuh kesederhanaan, semuanya berjalan dengan penuh kekeluargaan. Terkadang aku membayangkan, apakah Yesus berpesta seperti itu juga di kampung-Nya ketika menyambut suatu hari besar. Entah mengapa aku merasa begitu bahagia kala itu. Padahal semuanya berlangsung di tengah kesederhanaan yang tak tergambarkan. Bahkan kadang-kadang kami begitu kesulitan sekadar air minum. Aku bertanya-tanya, sebenarnya apa sih yang membuat orang begitu merasa bahagia, bebas lepas menyambut Natal? Pesta yang mewah, makanan berlimpah, atau apa sebenarnya? Jika yang terakhir yang kusebutkan ini adalah jawabannya, sungguh aneh jika hatiku bagai terperangkap kerinduan akan upacara menyambut Natal di kampungku. Kemudian, di hari menjelang upacara peringatan akan kedatangan-Nya untuk yang ke sekian kalinya ini, hatiku bagai terhentak-hentak mendendangkan lagu gereja dengan bahasa kampung. Kata-kata itu terus menyerap ke dalam, ke relung-relung yang paling dalam. Mengingatkan dan mengingatkan lagi tentang diri, tentang asal, tentang hidup, tentang suka maupun duka. Bahwa hidup ini memang sementara, bahwa segalanya ternyata tak kekal. Semuanya selalu silih berganti. Pergi dan datang, panas dan dingin, tawa dan tangis. Nuraniku seakan teraduk-aduk. Aku berjuang mencapai suatu kedamaian hati. Karena ada yang mengatakan, bahwa damai abadi itu bisa dicapai juga selagi masih hidup. Entah ya entah tidak, yang jelas bahwa Putra Allah yang akan kita sambut telah menyampaikan hal itu bahkan telah menunjukan contoh yang sangat praktis. Pengorbanan, cinta, kasih yang tak berkesudahan, derita yang tiada tara hingga akhir demi Cinta hingga kerahiman yang tak terbatas demi taat kepada Bapa dan cinta kepada umat manusia yang percaya. Kemudian dari jauh, di tanah asing ini, aku hanya bisa mengucapkan Selamat Natal bersama kuntum doa yang kurajut sendiri, jadi mungkin tak begitu rapi. Kutitipkan itu dalam bisikan rinduku buatmu yang mau membuka hati akan Kasih Yang Sejati itu. Semoga umat manusia membuka hati akan Yang Sejati itu….Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar