Oleh: Bernadus Kopong Gana
Ketika Basilica St Petrus berdiri di Roma, umat Nasrani kekurangan dana. Basilica itu direncanakan untuk didirikan sedemikian megah, sehingga butuh dana teramat banyak.
Kemudian segala upaya dilakukan pihak gereja.
Salah satunya dengan penggalian dana dengan berbagai cara, bahkan cara-cara yang belakangan dipandang kalangan umat sudah tak patut.
Dari sinilah kemudian muncul begitu banyak gerakan. Dari semua gerakan itu, gerakan yang paling besar dan memporak-porandakan umat Nasrani menjadi berkeping-keping yakni gereja reformasi di bawah komando Martin Luther King.
Pimpinan Gereja Witenberg, Jerman ini, menempel 95 dalil di depan pintu gereja lokal itu, sekaligus menyatakan “perang” melawan Roma.
Takhta Vatikan pun diguncangnya dengan pernyataan tegas keluar dari Gereja Nasrani di bawah paus kemudian membentuk aliran sendiri yang disebutnya Protestan. Setelah itu, muncul aliran baru, mulai dari Anglikan di Prancis, Ortodoks Rusia, dan lain-lain.
Inti masalah Luther menyatakan keluar, karena protes kerasnya terhadap surat indulgensia (Surat Pengampunan Dosa).
Bahwa, jika ada umat yang ingin diampuni dosanya, maka harus menyerahkan sejumlah uang. Dan, uang itu akan dipakai untuk membangun Basilica St Petrus. Jika tak beli surat itu, maka dosa tak diampuni.
Panjangnya perjalanan sejarah gereja yang menapak pada lembah kelam kehidupan, sudah banyak memberi pelajaran bahwa uang menjadi sumber segala kejahatan dan malapetaka, bahkan menjadi sumber keruntuhan gereja, meski pada akhirnya dapat bangkit kembali.
Petaka di abad yang telah lalu itu, tampaknya beranak pinak. Benarlah jika ada kata-kata, setelah kalah di Padang Gurun, iblis mundur dari Yesus, sambil menunggu kesempatan lain untuk beraksi lagi.
Memasuki era digital dengan label gereja mandiri, maka segala sesuatu khususnya karya misi, menjadi tanggung jawab umat separoki. Tak peduli apakah umat itu miskin, melarat, kelaparan atau gelandangan, yang jelas, rumah tangga paroki harus tersedia agar pastor jangan sampai kelaparan.
Gereja di awal tahun 1980, mungkin karena kebutuhan belum terlalu banyak, cukup derma satu kali saja. Derma itu cukup untuk berbagai kebutuhan pastoral. Pastor juga tak harus pakai mobil. HP juga belum ada. Cukup telepon di gereja saja. Telepon satu-satunya untuk situasi teramat penting.
Kemudian tahun 1985 ke atas, makin banyak yang lain-lain selain derma.Ada rumah tangga paroki, dengan dalih gereja mandiri, dan lain-lain pula.
Menginjak tahun 1990-an, iuran-iuran seperti debu yang beterbangan di udara. Yang tak perlu harus iuran, dibuat menjadi iruran semua. Apalagi kalau ada gawe gereja yang membutuhkan sedikit jajan, atau makan siang.
Itu belum lagi ditambah dengan iuran di tingkat lingkungan atau KBG dan lain-lain. Yang penting iuran dan iuran terus.
Sejauh itu, umat seakan tak ada hak untuk menanyakan untuk apa saja dan untuk siapa saja. Kita semua tentu bergembira melihat banyaknya kemajuan di gereja, bangku yang bagus, altar yang keren, balkon yang megah, menara yang menjulang, fasilitas pastor yang menyamai kalangan pimpinan perusahaan yang bonafide meski ada di antara umat yang jalan kaki.
Tak mengapa, pastor kan banyak kesibukan, melayani banyak umat. Hanya kadang-kadang juga terlihat bahwa umat yang kurang berada, tak perlu banyak berharap.
Sementara itu, marilah kita bertanya, akan jadi apakah akhir dari semua ini? Bukankah kita memupuk pertentangan demi pertentangan yang makin hari makin membumbung tingggi?
Memasuki milenium baru, perubahan makin sinting. Jangankan rumah tangga paroki, jangankan iuran, jangankan ongkos misa khusus, bahkan permandian, sambut baru, apalagi nikah, lebih besar nilainya daripada pajak kendaraan bermotor.
Sebagai umat manusia khususnya Umat Katolik, tentu saja segala pemberian baik derma, iuran, dan lain-lain, dilakukan dengan latar belakang iman.
Tapi kalau urusan dipermandikan untuk masuk menjadi warga gereja saja harus bayar, hemat saya, hal ini tak ada bedanya dengan indulgensia zaman baru. Atau barangkali lebih tepat diberi nama Indulgensia Milenium.
Yang saya tahu, Yesus berpesan dan memberi kuasa kepada para murid-Nya agar mewartakan khabar sukacita hingga ke ujung-ujung bumi. Baptislah mereka Dalam Nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus.
Namun yang aku jumpai di zaman milenium ini, para penyebar warta sukacita ini menimbulkan kesukaran, keguncangan, dan dukacita dimana-mana dengan ulah kebijakannya yang tak beda dengan ulah iblis berujud manusia.
Saya kurang percaya bahwa Yesus bisa memilih seorang murid atau orang pilihan yang belakangan mencekik umat dengan kebijakan untuk membayar jika ingin mengikuti Yesus.
Sungguh beda dengan tawaran Yesus kepada para murid-Nya zaman itu. ‘’Datanglah wahai kamu sekalian yang berbeban berat, maka akan Aku ringankan.’’
Bunyi Injil itu rupanya sudah berubah di era digital milenium ini. ‘’Jika ingin mengikuti aku, bayarlah sejumlah uang.’’ Benar-benar di tengah neraka.
Marilah kita waspada, karena mungkin semua ini pertanda awal, yang menunjuk pada peristiwa lama, peristiwa umat tercerai berai hanya karena duit. Tragis sekali.
Maaf…. dan renungkanlah jika berkesempatan.
Selag Alas, Sandubaya, Cakranegara, 10 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar