Total Tayangan Halaman

Kamis, 31 Januari 2013

Hati Yang Maha Kudus dan Hati Yang Tak Bernoda... Kepada-MU kami menaruh segala harapan kami....Amin
Taman Mayura, Cakranegara, Kota Mataram. Di sinilah tempat para petinggi, dan raja-raja Pulau Lombok menggelar rapat zaman dahulu...

PULANG KAMPUNG

Indahnya p
Indahnya pulang kampung....
Halo Kk Epe. ...lagi dimana ini?

PENDERITAAN

Penderitaan membuka hati manusia utk memahami dunia. Karena itu kita perlu menyadari betapa indah derita itu dan mau menerimanya ,bila perlu jadi sahabat karib. Dan kalau engkau sanggup, cintailah dia. Maaf, ini hanya untaian kata. Aku pun hanya baru bisa mengatakannya dan menulisnya di sini utkmu yang mau membacanya, atau bahkan berkesempatan merenungkannya. Aplikasinya? Entah....!!!
Ketika kita datang menimba berkat, Dia begitu senang, kita juga begitu senang. Ketika kita datang menyampaikan keluhan, Dia begitu senang mendengarnya dan meneguhkan kita. Padahal Dia Sendiri jauh lebih menderita daripada semua orang yang Dia tebusnya. Bagaimana engkau dapat menyelami misteri ini?

Rabu, 30 Januari 2013

GEREJA ST MARIA IMMACULATA MATARAM

Dengan susah payah, Umat katolik Paroki St Maria Immaculata Mataram dan sejumlah donatur membangun gereja ini, setelah sebelumnya gereja ini dibakar massa pada rusuh massa tanggal 17 Januari 2000 silam. Gereja ini baru kembali bisa berdiri dan digunakan sebagai tempat ibadah setelah perjalanan waktu sekitar 10 tahun. Entah mengapa, massa bringas dan membakar sejumlah gereja di Kota Mataram dan sekitarnya. Ada yang dibakar, ada pula yang dirusak. Termasuk di antaranya, rumah beberapa warga yang diketahui dari keyakinan lain di pulau yang berjuluk Pulau Seribu Masjid ini. Namun tiga hari setelah peristiwa itu, tepatnya Hari Rabu setelah massa mulai bergolak Hari Senin, situasi sudah dapat diatasi, sementara di beberapa tempat yang cukup jauh dari pusat kota, masih ada riak-riak kecil. Sayang sekali, meskipun Markas Kodim 1606 Lombok Barat berhimpitan dengan Paroki St Maria Immaculata Mataram, hal itu tak membawa pengaruh apapun. Bahkan ketika aksi kerusuhan, beberapa anggota pasukan asyik menonton persitiwa ini dari balik pagar. Konon, semua itu karena keamanan ketika itu menjadi tanggung jawab penuh pihak kepolisian. Hari nan pahit itu kini telah berlalu. Semoga kedamaian terbangun kembali....

Selasa, 29 Januari 2013

SMPK 1912 WATOONE

Meski tegar, kecemasan itu tampak cukup kentara. Sekolah yang dikepung air bah sekaligus lautan api ini, mulai memasuki tahun penuh kecemasan. Tahun ke tiga berdiri. Kakak kelas sudah duduk di bangku kelas III. Adik-adik kelas seperti kami yang angkatan II, beserta angkatan selanjutnya, masuk sekolah seperti biasa, dengan menu makan pagi, siang, bahkan sore, dan malam yang sama saja, ‘’Sekolah itu segera ditutup. Untuk apa sekolah di sana. Nanti tidak akan ada ujian negara, dan bagaimana nasibmu.'' Demikian suara-suara yang terus "meneror" tak henti-hetinya. Pertanyaan yang paling mendasar, apakah mereka (kakak2 angkatan I ini akan dibolehkan ikut ujian negara, ataukah sekolah ini benar-benar akan bubar? Mungkin zaman ini ketika kita mengalami hal yang sama, seluruh dunia akan tertawa, karena di tengah upaya segelintir orang yang mau mencerdaskan kehidupan bangsa, ada pula sekelompok orang yang lain yang diduga berupaya menghasut pemerintah agar menutup lembaga pendidikan ini. Namun zaman itu, sungguh suatu yang luar biasa. Upaya menutup suatu lembaga pendidikan yang berupaya mencerdaskan bangsa, tampaknya masih dipandang legal. Saya melihat bahwa para pengajar maupun sesepuh kami tak pernah tinggal diam. Meski tampak tenang, mereka terus bergerak, "menyelamatkan" lembaga pendidikan yang sudah berjalan memasuki tiga tahun ini. Dan upaya keras itu pun berbuah. Anak-anak angkatan pertama ini dibolehkan mengikuti ujian negara namun harus digabungkan dengan sekolah lain yang sudah lama berdiri. Tak mengapa. Tawaran itu pun diterima baik. Angkatan I sekolah ini akhirnya digabungkan dengan SMPK AWAS Hinga di bawah titipan SMPN Nurmasya, Lama Hala. Dan di hari itu, ketika kakak-kakak kelas kami akan berangkat ke Hinga mengikuti ujian akhir di SMP AWAS, sebagian besar penduduk Watoone berkumpul di "Kenapa One" mengantarkan mereka menuju Hinga. Lagu "Tutu Usul" menggema di tengah keheningan. Bagai membelai hati meluruhkan kecemasan yang tersisa, memurnikan perjuangan dengan air mata. Semangat itu membara, membakar. Benar-benar dengan mata kepala sendiri tak sanggup kubedakan, apakah kakak-kakak saya itu pergi ujian negara di SMPK AWAS Hinga atau berangkat ke suatu perang menyabung nyawa. Sebab hampir tak ada satu pun warga yang mengantar itu tak mengucurkan air mata. Suatu rasa haru bercampur semangat yang membara. Kulihat mentari di sebelah barat kian meredup di balik Bukit Werang Gere. Suatu keheningan yang aneh melanda. Padu (damar) maupun pelita di rumah penduduk mulai dinyalakan. Keheningan menyergap menanti mentari pagi yang sudah pasti akan mekar di balik Gunung Ile Ape. Sepasti mekarnya sang surya di ufuk timur, medan laga memang tengah menunggu para perwira. Pertarungan pun dibuka... Kecemasan pun berlalu, bagai angin menyibak halimun pagi. Perjuangan masih terus berlangsung...semangat tetap membara Sampe Nuan Tutu, Musim Labot di Lewo Uhune Mula Nuba Matan Ada Nara.

Minggu, 20 Januari 2013

SMPK 1912 WATOONE

Teriakan tutup....tutup...tutup...menggema seantero kampung, hingga ke seantero Witihama, hingga nyeberang ke Larantuka, Kupang, bahkan Jakarta. Para pendiri, guru-guru kami, tak tampak gusar atau cemas sedikit pun. Pak Frans Lebu Raya tetap santai saja mengajari kami lempar cakram, tolak peluru, dan lari-lari untuk pemanasan keliling Lapangan Sepak Bola Desa Watoone. Kegiatan Belajar Mengajar berjalan sebagaimana biasa. Kini mulai masuk angkatan II. Angkatan yang jumlahnya lebih banyak dari angkatan I, meski isu penutupan sekolah kian menggila. Aku tanya Ama Seli, (Seli Tokan, sekarang Dosen di Undana), apakah benar sekolah ini akan ditutup? Jawabannya sederhana sekali. ''Biarkan saja mereka bicara, nanti kalau mereka sudah lelah, mereka akan berhenti sendiri.'' Ketika itu kami ngobrol di bawah pohon randu alas yang rindang. Dalam gambar terdahulu, tersisa satu dari sebelumnya ada empat batang di tempat itu. Di waktu istirahat, kami memegang cangkul, sekop, dan linggis serta tofa. Yang siswi membawa ember, monga, dan peralatan apa saja untuk mengangkut tanah dan mengumpulkan batu yang telah digali para siswa. Kami benar-benar menjadi sebuah keluarga yang hidup di bawah tekanan sangat besar, entah apa salah kami. Padahal lembaga ini didirikan utk mencerdaskan bangsa, tanpa minta sokongan dana dari pemerintah. Orang bekerja ikhlas membaktikan dan mengabdikan diri. Ketika itu aku hanya sekolah dan sekolah, tapi ketika aku kembali merenungkan di saat ini, rasanya begitu sinting, jika lembaga pendidikan itu ditutup dengan alasan apapun juga. Kami hendak meratakan halaman di bawah pohon randu alas dan beberapa pohon lainnya, termasuk kelapa dan lontar. Tempat yang sungguh sejuk dan alami. Sungguh nyaman utk tempat melepas lelah saat istirahat siang bahkan sekaligus tempat untuk belajar. Dengan susah payah kami berupaya, namun kami memang belum seberapa kuat untuk meratakan halaman yang sungguh luas itu. Akhirnya, orang tua kami, kakak kami dan sebagian besar orang di kampung mulai ikut ambil bagian meratakan halaman itu. Kalau partisipasi yang lain, janganlah ditanya.So pasti. Meskipun di tengah segala perjuangan meratakan halaman ini, kami pun sedang membangun unit sekolah yang baru, yang permanen. Semua itu hampir 100 persen tak lepas dari perjuangan sebagian besar warga Desa Watoone, didukung Pastor Ludger Jessing dari Paroki Witihama, sistem barter pun berjalan karena ketika itu Gereja Witihama sedang direnovasi. Orang tua kami turun tangan dengan sepenuh hati. Di tengah terik yang membakar, kulihat Bapa Boro begitu gagah berdiri di tengah berkubik-kubik batu yang dikumpulkan warga. Dengan celana hitam yang longgar dan tongkat di tangan serta memakai topi (Istilahnya Topi Kulat), Bapa Boro tersenyum menatap kami yang sedang sekolah di ruang permanen setengah jadi. Senyum itu begitu tulus hingga meninggalkan jejak tak terhapus. Bapa Boro, aku sungguh kangen padamu dan senyummu. Semangatmu telah membakar dan menghanguskan kami. Hari demi hari berlalu, batu dan pasir diangkut ke Paroki Witihama untuk membangun gereja Witihama, dan sebagai gantinya, semen, kuda-kuda besi, seng, didatangkan untuk membuat sekolah, termasuk bangku sekolah dengan triplex tebal dan rangka besi. Inilah yang di kemudian hari disebutkan Bapak Thomas Boro sebagai suatu misteri "Mengubah Batu Menjadi Roti". Bapa Boro, engkau senantiasa ada dalam kenangan kami. Semoga semangatmu senantiasa mengalir dalam hati nurani kami. Langkah kaki di tengah terik itu, debu-debu pasir yang beterbangan, bunyi batu yang dipalu, mengiringi langkah kami memasuki ruangan setengah jadi dengan batu-batu kecil di tangan kami. Batu itu kami pungut di halaman sewaktu jam istirahat, kemudian kami letakan di bawah tempat duduk kami, dan esoknya kami ratakan dengan pasir di atasnya. Besoknya lagi para tukang akan datang, meratakannya menjadi lantai yang lebih bersih dan nyaman untuk dipakai belajar. Sedangkan orang tua kami, di bawah pimpinan Bapa Boro, berjibaku bolak balik ke kali belerang di kampung kami, mengagkut batu dan pasir, mengumpulkannya di halaman sekolah untuk kemudian diangkut Ama Oro degan truk ke Gereja Witihama untuk membangun gereja dengan Pelindung St Maria Pembantu Abadi itu. (Kapan-kapan kita sambung lagi ya....)

SMPK 1912 WATOONE

Jika kelahiran senantiasa ditanggapi dengan sukacita disapa dengan penuh kasih sayang dan penuh cinta, maka Sapaan paling ramah yang diterima sekolah ini sewaktu berdiri yakni kata "TUTUP". ''Sekolah ini akan ditutup, karena tidak resmi. Ini sekolah liar. Nanti akan ditutup pemerintah,'' demikian suara-suara yang terus beredar dari mulut ke mulut di seantero Desa Watoone, bahkan hingga ke seluruh Witihama dan sekitarnya. Angkatan pertama mulai masuk dan pelajaran sekolah pun dimulai dalam segala keterbatasan. Gedung terbatas, siswa terbatas, guru terbatas, dukungan terbatas, keramahan yang terbatas, dan terbatas-terbatas lainnya. ''Kasihan sekali orang yang sekolah di sana itu. Nanti bagaimana? Sudah keluarkan uang bayar SPP, nanti ditutup lagi. Terus mau kemana kalau ditutup? Sekolah itu kan belum dapat rekomendasi dari pemerintah,'' demikian suara-suara yang terus menyebar. ''Lebih baik sekolah di SMP Gotong Royong. Tahun ini naik status jadi negeri. Sekolah di sana tidak bayar,'' sambung suara-suara lainnya. Hari ini, ketika aku membuka kembali lembaran sejarah ini, saya merasakan apa yang disebarkan orang2 ketika itu tak ada apa-apanya. Namun jika kembali pada waktu itu, betapa beratnya menanggung kecemasan, khususnya angkatan I, II, dan III. Mengapa? Karena mereka ini adalah para "korban", jika sekiranya sekolah ini memang benar-benar ditutup. Tiang Banten (Reo) yang menjadi tiang sekolah itu tampak bertunas menembus atap daun kelapa. Rayap terlihat menggerogoti beberapa bagian sekolah itu. Ketika itu aku mampir sepulang dari kebun memberi makan kambing dan babi. Aku masih duduk di Kelas VI SD dan dalam hati, aku sudah menetapkan langkah, akan kemana setamatnya dari SDK Watoone. Isu penutupan sekolah sungguh nyaring terdengar di telinga. Namun ada terasa suatu yang aneh dalam hati. Hasutan agar jangan sekolah di sekolah ini, ternyata tak sedikit pun mempengaruhiku. Di sore itu aku melihat kakak-kakakku angkatan pertama berolah raga senam dengan menggunakan sarana matras. Matras kami terbuat dari karung goni berisi sabut kelapa. Bukan sarana jump boks yang elit seperti di beberapa sekolah yang cukup lengkap fasilitas. Namun saya pun dibuat heran, karena di zaman itu, ada juga yang sudah jalan menggunakan tangan seperti menggunakan kaki. Zaman ini orang tak heran, namun kala itu, hal ini suatu pemandangan aneh. Pak Frans Lebu Raya (Gub NTT sekarang) memakai celana training warna orange dan kaus oblong putih, memberikan petunjuk kepada kakak-kakakku itu, bagaimana olahraga koprol yang benar. Setelah mereka selesai olah raga sore dan masuk ke ruangan, aku koprol juga bersama teman-temanku yang lain yang memang sedari tadi sengaja menunggu kesempatan itu. Maklumlah, zaman itu, kalau bukan di atas matras karung goni, maka rumput "ketehe" jadi andalan. Saya juga heran, sungguh sulit menggantikan kebahagiaan macam itu. Suara-suara ancaman penutupan sekolah seakan tiada habisnya. Namun aku salut dengan para pengajar maupun kakak-kakakku yang dengan tenang saja menjalani aktivitas belajar mengajar sehari-hari seakan-akan tak terjadi apapun. Setiap kali pulang kebun, aku selalu mampir ke tempat ini. Bangunan darurat itu seakan bercerita dan mengatakan sesuatu kepadaku. Aku berbicara dengannya seakan-akan gedung ini makhluk hidup. Aku menyadari bahwa setelah tamat SD, aku akan ke tempat itu, apapun juga yang bakal terjadi. Bahkan kalau ditutup sekalipun. Termasuk memilih untuk berhenti sekolah sama sekali jika sekolah ini benar-benar ditutup.....(Jika ada yang masih berminat membaca, aku akan sambung lagi ceritanya, terima kasih)
SMPK LAMA HOLOT 1912 WATOONE Hari masih sangat pagi. Ketika itu aku masih duduk di bangku kelas VI SDK Watoone. Matahari pagi yang cerah membentuk bayang-bayang yang memanjang, memancar di balik tegak pongahnya punggung gunung Ile Ape. Di sisi lain, Ile Boleng tegak berdiri menebar hawa sejuk pegunungan, membelai kulit yang jarang mandi karena kurangnya air di daerah ini. Namun hidup senantiasa berjalan sedemikian indah, seakan-akan tiada masalah sama sekali. Kami satu kelas tiba-tiba diperintahkan ke halaman sekolah. Aku sudah agak lupa, hari itu hari apa. Yang jelas, tampaknya seperti awal tahun ajaran baru. Tak biasanya setelah apel dan doa pagi sebelum pelajaran mulai, kami kembali berkumpul di halaman sekolah. Tapi melihat guru-guru kami yang ramah namun tegas dengan "memasang" muka agak seram, kami pun tak berkutik. Secara teratur kami kumpul di halaman sekolah dalam bentuk banjar, tanpa menimbulkan banyak bunyi. Yang badannya paling tinggi dan tegap langsung berada di samping barisan utk jadi komandan. Hendak kemanakah kami pagi itu? Yang jelas, pagi itu bukan sedang mata pelajaran praktik olah raga. Tapi kemudian kami berbaris menuju gerbang sekolah. Setelah itu ada aba-aba belok kiri, dan kami terus melaju di tengah debu dan keringat menuju suatu tempat yang berada di belakang SDK Watoone. Ketika itu, tempat itu hanya kebun. Kebun kelapa yang sedemikian lebat bahkan menghalangi pandangan ke langit lepas. Belum lagi ditambah banyaknya kandang babi di bawah pohon kelapa itu yang berderet-deret. Hari ini, ketika aku menulis kembali kisah ini, hal itu memang terasa agak aneh. Karena di tempat itu sudah mulai berdiri beberapa rumah yang bagus dan sudah mulai tertata. Kembali ke jalur awal, tempat yang sebelumnya kebun itu, dibersihkan dan didirikan satu unit bangunan darurat. Tak ada yang tahu itu bangunan apa, karena memang suasananya biasa-biasa saja. Samar-sama saya melihat Pak Frans Lebu Raya (Gubernur NTT sekarang) yang waktu itu kalau tak salah, baru tamat dari SGO (Sekolah Guru Olahraga) Kupang. Namun yang lebih jelas aku perhatikan adalah Pak Selly Tokan (Sekarang Dosen di Undana dan beberapa kampus terkemuka di Pulau Jawa). Hari itu mereka semua berpakaian sangat rapi dan kami semua berkumpul di depan bangunan darurat itu. Di saf yang berbeda, aku melihat jejeran beberapa orang yang usianya jauh lebih tua dari aku sekitar satu atau dua tahun bahkan lebih. Mereka juga berbaris rapi. Jika aku tak keliru, jumlah mereka lebih dari 20. Apakah gerangan yang akan terjadi? Aku anak SD kelas VI. Tanpa angan tanpa bayangan, aku memandang segalanya sedemikian polos. Aku hanya mengira mungkin ada semacam "krera" (pesta). Tapi jika demikian, mengapa ibu-ibu jarang kelihatan? Yang ada hanya beberapa saja. Kemudian, diselenggarakanlah upacara pengibaran bendera. Dan di tengah upacara itu, tampilah Tokoh Adat Watoone, Ama Fransiskus Boro Tura. Dengan sebuah "pemukul" (berane) di tangannya, Ama Fransiskus Boro Tura yang selalu akrab kami sapa Bapa Boro, maju dan memukul gong. Di saat yang bersamaan, tirai penutup dari "senae" pada sebuah papan yang berdiri di depan lapangan upacara itu dibuka dan jelas terbaca dalam huruf Kuning dasar Hijau: "SMP DUA BELAS WATOONE". Tepuk tangan menggemuruh di tengah hening sepi pagi Desa Watoone. Sebuah lembaga pendidikan baru telah ditanam dan mulai bersemi. Muluskah dalam perjalanan waktu? Marilah kita lihat.......!!! KK arin, go akan sambung kembali kisah ini....terima kasih.

Minggu, 06 Januari 2013

DAMAI

Aku ingin menulis sejarah tentang engkau yang mendatangkan damai dan sukacita bagimu. Namun damai dengan sukacita senantiasa berbenturan dengan perang dan dukacita. Lebih dari itu, suatu kepuasan juga selalu berbenturan dengan ketidakpuasan. Maka aku berkesimpulan bahwa sebagai manusia biasa, aku tak bisa memenuhi hasrat segala orang dalam segala situasi, bahkan termasuk hasratku sendiri. Aku percaya engkau memaklumi keterbatasanku, bukan karena engkau lebih hebat dari saya, melainkan sebuah kesadaran hakiki, bahwa kita manusia memang sama saja, tak lepas dari salah. Hanya barangkali kesalahan besar dan kecil saja yang membedakan. Itu pun kalau engkau setuju....
Semoga suatu waktu kita semua dapat belajar dari segala kekurangan kita ketika kita sadar bahwa manusia memang memiliki kekurangan. Namun janganlah menjadikan hal itu sebagai alasan utk terus jauh dari kedamaian. Terpujilah Nama-Nya...