Total Tayangan Halaman

Selasa, 29 Januari 2013

SMPK 1912 WATOONE

Meski tegar, kecemasan itu tampak cukup kentara. Sekolah yang dikepung air bah sekaligus lautan api ini, mulai memasuki tahun penuh kecemasan. Tahun ke tiga berdiri. Kakak kelas sudah duduk di bangku kelas III. Adik-adik kelas seperti kami yang angkatan II, beserta angkatan selanjutnya, masuk sekolah seperti biasa, dengan menu makan pagi, siang, bahkan sore, dan malam yang sama saja, ‘’Sekolah itu segera ditutup. Untuk apa sekolah di sana. Nanti tidak akan ada ujian negara, dan bagaimana nasibmu.'' Demikian suara-suara yang terus "meneror" tak henti-hetinya. Pertanyaan yang paling mendasar, apakah mereka (kakak2 angkatan I ini akan dibolehkan ikut ujian negara, ataukah sekolah ini benar-benar akan bubar? Mungkin zaman ini ketika kita mengalami hal yang sama, seluruh dunia akan tertawa, karena di tengah upaya segelintir orang yang mau mencerdaskan kehidupan bangsa, ada pula sekelompok orang yang lain yang diduga berupaya menghasut pemerintah agar menutup lembaga pendidikan ini. Namun zaman itu, sungguh suatu yang luar biasa. Upaya menutup suatu lembaga pendidikan yang berupaya mencerdaskan bangsa, tampaknya masih dipandang legal. Saya melihat bahwa para pengajar maupun sesepuh kami tak pernah tinggal diam. Meski tampak tenang, mereka terus bergerak, "menyelamatkan" lembaga pendidikan yang sudah berjalan memasuki tiga tahun ini. Dan upaya keras itu pun berbuah. Anak-anak angkatan pertama ini dibolehkan mengikuti ujian negara namun harus digabungkan dengan sekolah lain yang sudah lama berdiri. Tak mengapa. Tawaran itu pun diterima baik. Angkatan I sekolah ini akhirnya digabungkan dengan SMPK AWAS Hinga di bawah titipan SMPN Nurmasya, Lama Hala. Dan di hari itu, ketika kakak-kakak kelas kami akan berangkat ke Hinga mengikuti ujian akhir di SMP AWAS, sebagian besar penduduk Watoone berkumpul di "Kenapa One" mengantarkan mereka menuju Hinga. Lagu "Tutu Usul" menggema di tengah keheningan. Bagai membelai hati meluruhkan kecemasan yang tersisa, memurnikan perjuangan dengan air mata. Semangat itu membara, membakar. Benar-benar dengan mata kepala sendiri tak sanggup kubedakan, apakah kakak-kakak saya itu pergi ujian negara di SMPK AWAS Hinga atau berangkat ke suatu perang menyabung nyawa. Sebab hampir tak ada satu pun warga yang mengantar itu tak mengucurkan air mata. Suatu rasa haru bercampur semangat yang membara. Kulihat mentari di sebelah barat kian meredup di balik Bukit Werang Gere. Suatu keheningan yang aneh melanda. Padu (damar) maupun pelita di rumah penduduk mulai dinyalakan. Keheningan menyergap menanti mentari pagi yang sudah pasti akan mekar di balik Gunung Ile Ape. Sepasti mekarnya sang surya di ufuk timur, medan laga memang tengah menunggu para perwira. Pertarungan pun dibuka... Kecemasan pun berlalu, bagai angin menyibak halimun pagi. Perjuangan masih terus berlangsung...semangat tetap membara Sampe Nuan Tutu, Musim Labot di Lewo Uhune Mula Nuba Matan Ada Nara.

1 komentar: