Total Tayangan Halaman
Minggu, 20 Januari 2013
SMPK LAMA HOLOT 1912 WATOONE
Hari masih sangat pagi. Ketika itu aku masih duduk di bangku kelas VI SDK Watoone. Matahari pagi yang cerah membentuk bayang-bayang yang memanjang, memancar di balik tegak pongahnya punggung gunung Ile Ape.
Di sisi lain, Ile Boleng tegak berdiri menebar hawa sejuk pegunungan, membelai kulit yang jarang mandi karena kurangnya air di daerah ini. Namun hidup senantiasa berjalan sedemikian indah, seakan-akan tiada masalah sama sekali.
Kami satu kelas tiba-tiba diperintahkan ke halaman sekolah. Aku sudah agak lupa, hari itu hari apa. Yang jelas, tampaknya seperti awal tahun ajaran baru. Tak biasanya setelah apel dan doa pagi sebelum pelajaran mulai, kami kembali berkumpul di halaman sekolah. Tapi melihat guru-guru kami yang ramah namun tegas dengan "memasang" muka agak seram, kami pun tak berkutik.
Secara teratur kami kumpul di halaman sekolah dalam bentuk banjar, tanpa menimbulkan banyak bunyi. Yang badannya paling tinggi dan tegap langsung berada di samping barisan utk jadi komandan.
Hendak kemanakah kami pagi itu? Yang jelas, pagi itu bukan sedang mata pelajaran praktik olah raga. Tapi kemudian kami berbaris menuju gerbang sekolah. Setelah itu ada aba-aba belok kiri, dan kami terus melaju di tengah debu dan keringat menuju suatu tempat yang berada di belakang SDK Watoone.
Ketika itu, tempat itu hanya kebun. Kebun kelapa yang sedemikian lebat bahkan menghalangi pandangan ke langit lepas. Belum lagi ditambah banyaknya kandang babi di bawah pohon kelapa itu yang berderet-deret.
Hari ini, ketika aku menulis kembali kisah ini, hal itu memang terasa agak aneh. Karena di tempat itu sudah mulai berdiri beberapa rumah yang bagus dan sudah mulai tertata.
Kembali ke jalur awal, tempat yang sebelumnya kebun itu, dibersihkan dan didirikan satu unit bangunan darurat. Tak ada yang tahu itu bangunan apa, karena memang suasananya biasa-biasa saja. Samar-sama saya melihat Pak Frans Lebu Raya (Gubernur NTT sekarang) yang waktu itu kalau tak salah, baru tamat dari SGO (Sekolah Guru Olahraga) Kupang.
Namun yang lebih jelas aku perhatikan adalah Pak Selly Tokan (Sekarang Dosen di Undana dan beberapa kampus terkemuka di Pulau Jawa). Hari itu mereka semua berpakaian sangat rapi dan kami semua berkumpul di depan bangunan darurat itu.
Di saf yang berbeda, aku melihat jejeran beberapa orang yang usianya jauh lebih tua dari aku sekitar satu atau dua tahun bahkan lebih. Mereka juga berbaris rapi. Jika aku tak keliru, jumlah mereka lebih dari 20.
Apakah gerangan yang akan terjadi? Aku anak SD kelas VI. Tanpa angan tanpa bayangan, aku memandang segalanya sedemikian polos. Aku hanya mengira mungkin ada semacam "krera" (pesta).
Tapi jika demikian, mengapa ibu-ibu jarang kelihatan? Yang ada hanya beberapa saja. Kemudian, diselenggarakanlah upacara pengibaran bendera. Dan di tengah upacara itu, tampilah Tokoh Adat Watoone, Ama Fransiskus Boro Tura.
Dengan sebuah "pemukul" (berane) di tangannya, Ama Fransiskus Boro Tura yang selalu akrab kami sapa Bapa Boro, maju dan memukul gong.
Di saat yang bersamaan, tirai penutup dari "senae" pada sebuah papan yang berdiri di depan lapangan upacara itu dibuka dan jelas terbaca dalam huruf Kuning dasar Hijau: "SMP DUA BELAS WATOONE".
Tepuk tangan menggemuruh di tengah hening sepi pagi Desa Watoone. Sebuah lembaga pendidikan baru telah ditanam dan mulai bersemi. Muluskah dalam perjalanan waktu? Marilah kita lihat.......!!! KK arin, go akan sambung kembali kisah ini....terima kasih.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar