Total Tayangan Halaman

Minggu, 20 Januari 2013

SMPK 1912 WATOONE

Jika kelahiran senantiasa ditanggapi dengan sukacita disapa dengan penuh kasih sayang dan penuh cinta, maka Sapaan paling ramah yang diterima sekolah ini sewaktu berdiri yakni kata "TUTUP". ''Sekolah ini akan ditutup, karena tidak resmi. Ini sekolah liar. Nanti akan ditutup pemerintah,'' demikian suara-suara yang terus beredar dari mulut ke mulut di seantero Desa Watoone, bahkan hingga ke seluruh Witihama dan sekitarnya. Angkatan pertama mulai masuk dan pelajaran sekolah pun dimulai dalam segala keterbatasan. Gedung terbatas, siswa terbatas, guru terbatas, dukungan terbatas, keramahan yang terbatas, dan terbatas-terbatas lainnya. ''Kasihan sekali orang yang sekolah di sana itu. Nanti bagaimana? Sudah keluarkan uang bayar SPP, nanti ditutup lagi. Terus mau kemana kalau ditutup? Sekolah itu kan belum dapat rekomendasi dari pemerintah,'' demikian suara-suara yang terus menyebar. ''Lebih baik sekolah di SMP Gotong Royong. Tahun ini naik status jadi negeri. Sekolah di sana tidak bayar,'' sambung suara-suara lainnya. Hari ini, ketika aku membuka kembali lembaran sejarah ini, saya merasakan apa yang disebarkan orang2 ketika itu tak ada apa-apanya. Namun jika kembali pada waktu itu, betapa beratnya menanggung kecemasan, khususnya angkatan I, II, dan III. Mengapa? Karena mereka ini adalah para "korban", jika sekiranya sekolah ini memang benar-benar ditutup. Tiang Banten (Reo) yang menjadi tiang sekolah itu tampak bertunas menembus atap daun kelapa. Rayap terlihat menggerogoti beberapa bagian sekolah itu. Ketika itu aku mampir sepulang dari kebun memberi makan kambing dan babi. Aku masih duduk di Kelas VI SD dan dalam hati, aku sudah menetapkan langkah, akan kemana setamatnya dari SDK Watoone. Isu penutupan sekolah sungguh nyaring terdengar di telinga. Namun ada terasa suatu yang aneh dalam hati. Hasutan agar jangan sekolah di sekolah ini, ternyata tak sedikit pun mempengaruhiku. Di sore itu aku melihat kakak-kakakku angkatan pertama berolah raga senam dengan menggunakan sarana matras. Matras kami terbuat dari karung goni berisi sabut kelapa. Bukan sarana jump boks yang elit seperti di beberapa sekolah yang cukup lengkap fasilitas. Namun saya pun dibuat heran, karena di zaman itu, ada juga yang sudah jalan menggunakan tangan seperti menggunakan kaki. Zaman ini orang tak heran, namun kala itu, hal ini suatu pemandangan aneh. Pak Frans Lebu Raya (Gub NTT sekarang) memakai celana training warna orange dan kaus oblong putih, memberikan petunjuk kepada kakak-kakakku itu, bagaimana olahraga koprol yang benar. Setelah mereka selesai olah raga sore dan masuk ke ruangan, aku koprol juga bersama teman-temanku yang lain yang memang sedari tadi sengaja menunggu kesempatan itu. Maklumlah, zaman itu, kalau bukan di atas matras karung goni, maka rumput "ketehe" jadi andalan. Saya juga heran, sungguh sulit menggantikan kebahagiaan macam itu. Suara-suara ancaman penutupan sekolah seakan tiada habisnya. Namun aku salut dengan para pengajar maupun kakak-kakakku yang dengan tenang saja menjalani aktivitas belajar mengajar sehari-hari seakan-akan tak terjadi apapun. Setiap kali pulang kebun, aku selalu mampir ke tempat ini. Bangunan darurat itu seakan bercerita dan mengatakan sesuatu kepadaku. Aku berbicara dengannya seakan-akan gedung ini makhluk hidup. Aku menyadari bahwa setelah tamat SD, aku akan ke tempat itu, apapun juga yang bakal terjadi. Bahkan kalau ditutup sekalipun. Termasuk memilih untuk berhenti sekolah sama sekali jika sekolah ini benar-benar ditutup.....(Jika ada yang masih berminat membaca, aku akan sambung lagi ceritanya, terima kasih)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar