Total Tayangan Halaman
Kamis, 27 Desember 2012
Kawasan Tandus
Aku memandang padang kering. Sejauh mata memandang hanya perdu. Perdu yang tak seberapa tinggi itu meliuk-liuk diterpa angin musim panas, kering, dan menggigit. Panas mentari seakan menyamai panas tubuh dan hatiku nan gundah. Inilah tanahku sekarang, kering, gersang, dan selalu terbakar atau dibakar...karena keperluan, karena iseng.
Aku terpana menatap laut nun jauh di sana. Batu-batu gunung yang mencuat, menghalangi pandanganku yang lepas. Hanya batu, bukan pohon yang mungkin akarnya menjanjikan air.
Mengapa? Aku berusaha menjawabnya sendiri, karena aku hafal kelakuan anak-anak zaman ini. Yang suka membakar tanpa mau menanam. Yang senang menatap asap mengepul menghabisi sisa-sisa padang sabana yang kerontang.
Aku mengusulkan untuk dibuat aturan yang mengikat, agar orang tak makin doyan membakar padang ini. Yang belakangan ini hanya dihuni beberapa species burung khas daerah kering.
Yang tersisa ini pun diburu untuk "teman" minum tuak. Dan untuk itulah padang dibakar demi mengejar burung. Namun padang yang dibakar bukan hanya sebidang, sebab api toh akan merambat, bahkan hingga puncak gunung tetinggi di kampungku.
Kita bertanya, ulah siapakah ini? Dan jawaban yang kita dengar hanya dugaan-dugaan. Mungkin orang ini atau mungkin orang itu. Tiada yang peduli, karena masing-masing orang sedang sibuk dengan urusannya sendiri.
Meski pembakaran padang merugikan banyak pihak, orang enggan bicara. Mungkin karena malas, mungkin bosan, mungkin juga tak ingin cari masalah.
Orang seakan tak peduli akibat jangka panjang. Kekeringan maupun kekurangan air, sekadar air minum untuk kebutuhan hidup setiap hari, tiada pernah menyadarkan manusia ini, bahwa hal itu banyak diakibatkan kegemaran membakar hutan-hutan yang tersisa.
Mereka tak pernah sadar bahwa di masa yang akan datang, akan lebih parah dari ini.
Lantas bagaimana memberitahu anak-anak ini? Apakah mereka harus diberi sanksi tegas, ataukah cukup dipanggil dan dinasihati, atau perlukah ada aturan khusus?
Di Pulau Lombok kami tinggal sekarang ini, ada suatu kabupaten, namanya Kabupaten Lombok Utara (KLU).
Ini kabupaten paling muda, namun mereka paling giat menjaga tradisi. Termasuk diantaaranya menjaga hutan dan air mereka dengan "kekuatan" aturan adat yang disebut awiq-awiq.
Tidak tanggung-tanggung. Jika terbukti membakar hutan, bisa didenda hewan ternak berupa sapi atau kerbau, bahkan bisa diusir keluar kampung adat dan dihilangkan beberapa haknya dalam hukum adat yang berlaku di daerah itu.
Tahu hasilnya? Hutan Adat di KLU sekarang ini menjadi penyuplai air untuk keperluan PDAM KLU yang akhir-akhir ini meniatkan diri akan pisah dengan Kabupaten Induk Lombok Barat dalam manajemen maupun pengelolaan jaringan pipa PDAM.
Sekarang pikirkanlah, kalau Adonara ini jadi kabupaten, dan punya sistem pengelolaan PDAM sendiri, mata air mana yang kita andalkan untuk mengalirkan air ke rumah penduduk masing-masing?
Jangankan ke rumah penduduk, bahkan satu pipa untuk satu kampung pun kadang kembang kempis. Dan kalau hobi bakar membakar ini terus menjadi kebiasaan, maka marilah kita nabung dari sekarang untuk mendatangkan alat penyulingan air laut menjadi air tawar.
Atau kalau tak cukup ongkos, bukan tak mungkin, akan ada begitu banyak keributan akibat air. Sebelum terjadi hal itu, sungguh teramat baik jika kita mencegahnya terlebih dahulu. Semoga...
Selagalas, 28 Desember 2012....
Rabu, 12 Desember 2012
YA TUHAN YESUS, AKU PERCAYA ENGKAU MENGASIHI AKU BESERTA SEMUA ORANG YANG AKU KASIHI, LEBIH DARIPADA APA YANG DAPAT SAYA BAYANGKAN DI TENGAH SEGALA KETERBATASAN SAYA. KASIHANILAH KAMI, TERPUJILAH HATIMU YANG MAHAKUDUS, TERPUJILAH HATI BUNDAMU DAN JUGA BUNDA KAMI YANG TIADA BERNODA. DIMULIAKANLAH HATIMU YANG MAHARAHIM UNTUK SELAMA-LAMANYA...AMIN
Bukankah betapa indah pemandangan di senja ini kawan? Ini dibidik pada tanggal 12-12-2012. Momen yang sungguh menarik dan langka. Tapi ini hanya berlangsung sesaat saja kawan. Tidak kekal, begitu rapu. Aku hanya menatapnya sesaat dan berlari mengambil kameraku.
Bahkan dalam selang waktu kurang dari semenit itu pun pemandangan sudah banyak berubah, apalagi satu menit, 10, atau bahkan satu jam. Ingatlah sekali lagi, betapa kefanaan ini menjebak manusia, membuatnya seakan kekal, padahal ini bukan suatu yang kekal...sekali lagi bukan suatu yang kekal.
Esok juga akan ada senja, akan ada fajar, tak seperti senja hari ini atau fajar hari ini. Atau dengan kata lain....selalu berubah..Jadi jika engkau lihat sahabatmu tiba-tiba berubah dari cinta dan benci atau benci jadi cinta, janganlah engkau heran...demikian adanya dunia....
Maukah engkau meraih suatu yang kekal di tengah segala kefanaan ini. Semestinya itu menjadi suatu keharusan...agar hidupmu berarti....salam...
Kehidupan ini sungguh tiada yang kekal, seperti senja yang juga akan berlalu. Kita yakin, bahwa hari esok pun akan terbit, namun dia tak selalu terbit, karena hari esok yang akan terbit itu berlalu pula seperti senja hari ini.
Mari kita renungkan akan kefanaan hidup ini, agar hidup kita semakin nyata bagi orang lain selain diri kita sendiri. Aku tahu itu sungguh berat kawan, tapi jika Yesus itu egois, tak mungkin Dia mau mengorbankan Diri-Nya bagi pendosa seperti kita ini.
Sekarang aku bertanya kepadamu, engkau hendak mencari yang fana atau kekal...? Jawablah agar hidupmu ini berarti....salam...
Sabtu, 27 Oktober 2012
Rosario di Jejak Narmada (Ketika Izin Membangun Kembali, Tak Diberikan)
Pagi ini aku terkenang akan Kota Air Namada, Lombok Barat. Dia tak hanya kota yang indah dengan air yang melimpah serta berselimutkan hawa sejuk seperti hawa
pegunungan. Tapi di kota ini pulalah, awal mula adanya Umat Katolik di Pulau Lombok.
Tempat yang begitu indah itu, kini tinggal merana dalam kehampaan panjang, hanya karena izin yang tak lagi diberikan para penguasa setempat didukung masyarakat sekitar untuk membangunnya kembali.
Sahabat dalam grup ini, dari kalangan manapun, kuharapkan sudilah membawa dalam doa anda untuk menyelamatkan sekelumit tapak tilas sejarah tua yang pernah menjejak di tanah ini.
Narmada tak hanya urusan sebuah gereja tua, tapi juga sebuah tapak sejarah yang patut dipertahankan dan dilestarikan tidak hanya untukku, tetapi untukmu, dan untuk kita semua.
Tidak hanya umat Katolik, tapi juga semua umat manusia yang berbudi dan beradab, yang menghargai nilai kehidupan ini dan menghargai sesama sebagai umat manusia yang menyembah pada Tuhan.
Memang ada juga informasi lain yang menyatakan, misi Katolik pernah menjejakan kakinya di Tanjung, salah satu stasi di Gereja St Antonius Padua Ampenan, jauh sebelum di Narmada.
Namun pada kenyataannya, embrio Gereja Katolik baru menunjukan dirinya di Narmada. Karena dari tempat inilah sejarah mengenai keberadaan Gereja Katholik di Matatram ini dimulai dan umat terkumpul dalam jumlah cukup memadai.
Dari tempat inilah kemudian hijrah ke Karang Taruna di seputaran Kota Mataram, dan akhirnya pindah ke titik nol Kota Mataram, Jalan Pejanggik, Pusat Kota Mataram dengan nama Gereja Katholik St Maria Immaculata Mataram sekarang ini.
Untuk beberapa waktu, perkembangan gereja sungguh menggembirakan. Gereja Narmada tua di pinggir jalan Kota Air yang mulai lapuk dimakan usia, akhirnya mulai dipikirkan untuk membangun yang baru.
Di masa Gereja Katholik Mataram dipimpin Pastor Mikhael Mige Raya SVD, selain dibangun sebuah gereja di Narmada, dibangun juga Gua Maria yang ketika itu menjadi salah satu stasi di bawah Gereja Mataram.
Banyaknya kesaksian yang diperoleh di tempat ini, khususnya di Gua Maria, membuat makin banyak orang berziarah, baik sendiri-sendiri, keluarga maupun kelompok dan organisasi dalam gereja khususnya camping rohani Mudika, PMKRI maupun Pemuda Katolik.
Suasana terasa begitu tenang dan damai, bahkan sekalipun tak dijaga.
Karena hampir setiap hari, selalu saja ada yang masuk keluar di tempat ini, baik ke gereja maupun Gua Maria untuk berdoa.
Gerbang gereja ini tak butuh kunci. Karena sulit bagi orang utk melakukan suatu kejahatan terbuka di tengah keramaian.
Tempat yang cukup luas dengan posisi gereja baru dan Gua Maria di tempat paling belakang, sangat memungkinkan untuk menghalau segala gangguan yang mungkin saja datang dari arah jalan raya di bagian depan.
Apalagi paling depan ada gereja tua, menyusul tanah cukup lapang yang dipenuhi kebun buah, kemudian kolam, dan akhirnya gereja baru dan Gua Maria. (bersambung)
Suasana yang sungguh nyaman ini tetap bertahan sampai tiba masa sulit itu. Ketika meletus peristiwa yang dikenal dengan sebutan 171 (17 Januari Tahun 2000), rusuh massa yang melanda Kota Mataram dan sekitarnya termasuk Narmada, yang memporak-porandakan semuanya.
Peristiwa kelabu ini, dalam seketika saja menghancurleburkan begitu banyak benih kebaikan dan keindahan yang selama ini ditabur di Tanah Lomboq. Beberapa gereja dibakar dan dirusak. Termasuk di antaranya Gereja Narmada dan Gua Maria Narmada.
Umat pun mengungsi kemana saja utk menyelamatkan diri maupun apapun yang dapat diselamatkan. Karena disamping susana yang tidak karuan, isu menyebar ke sana kemari seperti bisikan maut yang mengancam siapa saja.
Kala itu, tak hanya orang Katholik atau Kristen yang menjadi sasaran kerusuhan saja yang dilanda cemas dan gelisah, tetapi hampir seluruh masyarakat.
Karena banyak diantara perantau-perantau dari Flores, Jawa, Manado, Sumatera khususnya Batak yang beragama Katholik maupun Protestan, tak sedikit yang bertempat tinggal dengan cara sewa atau kontrak di perkampungan Bali.
Isu ini kian menguat, karena konon, perkampungan Bali juga akan diserbu sehingga aku yang ketika itu tinggal di perkampungan Bali, ikut begagang semalam-malaman. Siapa tahu kelompok entah darimana akan datang menyerbu, dan entah mengapa harus menyerbu, dan untuk apa menyerbu.
Isu berkembang meneror warga dimana-mana, sehingga ketakutan mejalar tak terkendali. Isu sweeping KTP ikut membuat tambah resah.
HT, sarana komunikasi yang cukup efektif waktu itu, membuat isu yang beredar bertambah mengesalkan dan menyakitkan.
Orang yang semula tenang saja menjalani peristiwa ini menjadi ikut-ikutan terprovokasi, antara kian berbuat nekat atau menjadi sangat takut, seperti ibu kos tempat aku tinggal.
Ibu kos saya di Jalan Pejanggik Gang II/7 datang ke kamar kos saya dan dengan sangat meminta agar aku lekas mengungsi dari tempat itu.
Mengapa? Karena dia sungguh-sungguh takut, jangan sampai gara-gara saya, rumahnya diserbu dan dibakar perusuh yang ketika itu konon berencana menyerbu juga perkampungan Bali.
Aku memaklumi suasana psikologi ibu kos saya, meski dalam hati aku cukup yakin bahwa agak sulit bagi para perusuh untuk menerjang juga perkampungan Bali, kecuali kalau memang kiamat kecil itu akan melanda Kota Mataram.
Karena isu itu menyebutkan, di siang hari hanya rumah ibadah yang dibakar namun malam hari, orang Kristen (Jarang orang menyebut Katolik) karena orang di Lombok kala itu yang bukan Katolik, jarang tahu membedakan mana Katolik, mana Kristen Protestan, akan disweeping untuk dibunuh.
Ketakutan ini pula yang ikut menjalari perkampungan Bali, karena tak sedikit orang Katholik maupun Protestan yang ngontrak di perkampungan Bali, baik mahasiswa, pelajar maupun perantau pada umumnya.
Dan karena kencangnya isu yang beredar, apalagi isu dari mulut ke mulut, membuat keresahan itu makin memuncak. Tidak ada koordinasi lewat HP. Pagar pun hanya menerima dan harus mencari dulu telepon umum untuk konfirmasi.
Adanya hanya telepon rumah, dan itu pun mulai macet setelah tempat ibadah maupun rumah dibakar dimana-mana.
Dan di atas segala keanehan ini, aparat keamanan seakan tak berdaya, baik polisi maupun tentara, Hanya ada sekompi tentara bersenjata lengkap yang begrak sangat cekatan menuju gedung penjualan Honda Krinda di ujung Jalan Pejanggik.
Konon karena tempat usaha itu mau dibakar juga. Sampai-sampai ada seorang sahabatku asli Sasak yang berteriak lantang,’’ Lain kalau kita mau berdoa, tak perlu ke masjid atau ke gereja, tapi kita pergi ke Kantor Honda Krida. Karena kantor ini dijaga ketat dengan senjata lengkap. Jadi aman,’’ kata Lalu Agus F Wirawan.
Betapa duka hati sahabatku yang satu ini, karena ketika itu dia sedang bekerja di bisnis pariwisata dan sedang kedatangan banyak tamu asing.
Peristiwa kerusuhan tak hanya menciptakan kesusahan dan derita bagi orang yang menjadi sasaran kerusuhan tetapi hampir semua masyarakat, kecuali barangkali si sutradara kerusuhan itu sendiri.
Tapi kalau ternyata usaha rusuhnya ini tak mencapai target sebagaimana yang diharapkan, kemungkinan yang bersangkutan bersedih juga.
Semoga Tuhan Yang Mahakuasa sudi mengampuni orang ini, karena kerusakan, dukacita, dan kehilangan yang ditimbulkannya tidak kecil.
Di tempat yang lain lagi seperti Ampenan, dan pusat Kota Mataram, rumah milik orang Katholik maupun Protestan yang berada cukup jauh dari pemukiman, dibakar. Sementara isinya dijarah.
Sementara pemiliknya, ada yang mengungsi ke Polda maupun Batalyon 742/SWY di Gebang atau bahkan menumpang perahu cepat dan meluncur ke Bali. Katedral di Denpasar pun penuh dengan pengungsi. (bersambung)
Namun para pastor baik di Mataram, Pastor Hans SJ dan Pastor di Ampenan Pastor Rosarius Geli SVD, tak pernah bergeser dari tempatnya.
Romo Rius (Pastor Rosarius Gelly) berjalan dari satu tempat pengungsian ke tempat pengungsian lainnya meneguhkan hati umat.
Pastor dari Bajawa, Flores ini, yang ketika itu menjadi Pastor Paroki St Antonius Padua Ampenan, terlihat begitu kokoh pendiriannya.
Dia tak bergeser sedikit pun dari paroki yang dipimpinnya, kecuali kalau mencari “domba-dombanya” yang ketika itu pergi ke pengungsian. ‘’Saya akan tetap menyelenggarakan upacara Ekaristi, meskipun hanya satu orang umat yang datang misa,’’ demikian disampaikan Romo Rius kepada umat yang ada di pengungsian.
“Kehebatan” para bapak Gereja Katholik memang tampak sungguh nyata dan tak terbantahkan dalam peristiwa ini. Sementara di “perahu” lainnya, pemimpinnya lari begitu kencang keluar daerah dengan sarana apa saja, sementara umat dibiarkan keleleran tak karuan.
Namun malam di hari pertama terjadi kerusuhan yang melanda Mataram dan sekitarnya, seakan-akan alam pun tak mengizinkan pengungsian.
Bagaimana tidak? Cerita seorang sahabatku yang ikut mengungsikan orang ke Bali, atau ikut mengungsi juga, perahu yang ditumpangi di kawasan wisata Senggigi, Lombok Barat menuju Bali, selalu dijahajar gelombang tinggi kembali ke pantai.
Beberapa kali diupayakan namun tetap saja seperti itu. Entah mengapa sampai terjadi demikian, tiada yang tahu. Yang jelas, suasana sungguh mencekam. Yang di dalam rumah ingin keluar sementara yang di luar rumah ingin masuk. Gereja Mataram rata dengan tanah. Gereja Narmada, meski tak rata dengan tanah namun porak poranda. Rupanya letaknya yang agak berdampingan dengan perumahan penduduk, membuat perusuh ragu, jangan sampai rumah warga sekitar ikut dilalap api, karena itu dirusak serusak-rusaknya.
Kedukaan sungguh nyata terpancar dari wajah umat yang selama ini hidup berdampingan begitu damai, namun dalam sekejap saja bagai tersapu angin puyuh.
Ada seorang anggota DPRD Lombok Barat namanya Haji Bahrul Fahmi. Dia bertanya kepada saya, ‘’Yang mana gerejanya Pak Kopong? Apakah di depan Rumah Sakit Mataram?.’’ Agak lesu saya jawab.’’Ya, benar.’’
‘’Wah Pak Kopong. Gereja itu barusan saja dibakar. Pak Kopong pulang saja dulu, nanti kalau bagaimana-bagaimana, Pak Kopong bersama keluarga datang dan tinggal saja di rumah saya di Gunungsari. Sekarang Mataram sedang rusuh. Gereja-gereja dan rumah-rumah banyak yang dibakar.’’
Kulihat kecemasan sungguh kental terpancar dari wajahnya. Ada ketulusan terpancar juga dari sana, yang mengisyaratkan kepada saya, bahwa tak semua orang menghendaki adanya kerusuhan atau perbuatan yang dapat merusak NTB, khususnya Pulau Lombok, terlebih-lebih pusat Kota Mataram.
Ketika itu saya sedang liputan rutin di pusat Kota Kabupaten Lombok Barat, Giri Menang, Gerung. Maka dengan hati yang agak tidak karuan, aku pamit kepada sahabatku yang anggota dewan itu dan mempermaklumkan kepadanya, jika memungkinkan aku akan mengajak semua keluarga tinggal di rumahnya.
Dalam perjalanan pulang menuju Mataram, aku berpikir lagi, apakah kehadiranku bersama keluarga yang jumlahnya cukup banyak tak menyusahkan Haji Fahmi?
Dengan hati yang campur aduk, saya menggeber sepeda motor menuju pusat Kota Mataram.
Dari jauh kulihat kepulan asap hitam, tebal membumbung ke angkasa. Terlihat begitu dekat sampai saya mengira, itu bukan asap yang berasal dari dibakarnya Gereja Mataram.
Namun makin dekat ke sumber asap aku semakin yakin bahwa memang benar Gereja Mataram telah dibakar.
Zaman itu tak seperti zaman ini. Zaman ini, FB, BB, dan media komunikasi model tercanggih pun tersedia. Ketika itu aku hanya mengandalkan telecall pagar.
Pesan singkat yang masuk ke pagarku: Yang Namanya Kopong dan Domi (Karena wartawan Lombok Post hanya saya dan Domi) yang beragama Katholik), tak usah masuk kantor dulu.
Aku membacanya sekilas, kemudian memasukan kembali ke tasku. Pandanganku tertuju ke awan kelam di depan. Truk-truk pengangkut massa bagai kesetanan lari di atas trotoar kota.
Sisa pembakaran terlihat beterbangan menghiasi langit kota Mataram. Teriakan histeris para perusuh seperti raung kematian yang membahana memenuhi jalan-jalan.
Yang terjadi ketika itu yakni massa membakar Gereja GPIB di Jalan Bungkarno. Namun karena terlalu tinggi tak dapat dibakar. Massa hanya dapat membakar sebuah unit bangunan di belakang gereja yang cukup megah itu.
Aku pun melanjutkan perjalanan menuju pusat kota menerobos kerumunan, merobos keterasingan, karena tampaknya diantara mereka pun tak saling kenal satu sama lain.
Aku menuju kamar kontrakan yang letaknya tak jauh dari Gereja Katholik St Maria Immaculata Mataram.
Kemudian aku ambil kamera pollaroid yang tadinya kutinggalkan di tempat kos dan sengaja tak kubawa bertugas karena hanya tersisa beberapa film saja.
Aku bergegas ke Gereja Mataram dengan jalan kaki sambil berlari untuk melihat dari dekat. Lututku terasa goyah dan bara api yang menghanguskan persada Kota Mataram, menyalak ganas seakan hendak menelan semuanya.
Ketika aku sampai di tempat itu, bertepatan dengan robohnya atap aula yang paling belakang. Aku terkesima, sementara di depan maupun di belakangku, berseliweran manusia-manusia berwajah bringas yang selama ini tak pernah kulihat.
Sebab selama ini begitu ramah dan begitu akrab. Dan semua itu seakan lenyap dalam seketika saja. Aku pun terpesona melihat anggota Kodim 1606 Lombok Barat yang masih bermarkas di Mataram yang berdampingan dengan Gereja Mataram, karena Lombok Barat baru dimekarkan.
Mereka berpakaian loreng serba lengkap namun hanya berdiri ternganga saja entah menatap bangunan apa yang dibakar di depan hidungnya.
Aku benar-benar heran, hari gini, ada juga aparat yang secara berjamaah dengan tenang menyaksikan kesewenang-wenangan yang berlangsung begitu saja di depan umum dipimpin komandannya. Atau mungkin juga tentara-tentara ini tak dapat disalahkan, karena konon mereka bekerja berdasarkan garis komando alias perintah.
Sebelum ada perintah, tak boleh bergerak sembarangan, meskipun korban telah bergelimpangan di sana sini.
Barangkali garis komando jenis ini perlu diperbaharui agar tentara yang lahir dari rahim Ibu Pertiwa dan anak kandung bangsa ini, ke depan lebih mantap lagi dalam membela dan mengayomi masyarakat yang secara fisik lebih lemah dari dia. Juga kaum kecil tertindas, dan tak berdaya.
Soalnya, kalau yang kuat tak melindungi yang lemah, mau dibawa kemana negeri ini?
Di tengah segala keriuhan ini, aku teringat akan Gereja Tua Narmada, Gua Maria yang baru dibangun, tempat yang sejuk itu, yang berada di tengah-tengah warna yang berbeda.
Malam harinya baru aku memperoleh khabar bahwa gereja itu pun dirusak dan patung Bunda Maria di dalam gua pun mengalami nasib serupa.
Awalnya, konon gereja itu mau dibakar, namun melihat jaraknya yang cukup rapat dengan pemukiman pendudukan di sebelah barat gereja itu, akhirnya urung dibakar.
Namun gereja nan malang itu dirusak sampai serusak-rusaknya. Atapnya dilempari sampai genteng-genteng berhamburan.
Sudah pasti, gereja ini tak akan bisa lagi digunakan untuk tempat beribadah sebelum diperbaiki. Dan bagaimana nasib patung Bunda Maria di dalam gua?
Kabar yang tersirap, patung itu dibawa kemudian dihancurkan, bahkan konon ada perbuatan yang jauh lebih keji lagi.
Tempat yang begitu banyak melahirkan kesaksian itu, diluluhlantakan dengan tanah, seakan-akan ada kejahatan begitu besar yang telah diperbuatnya.
Namun jumlah aparat yang terbatas, lebih fokus ke Kota Mataram, sehingga Narmada seakan tenggelam dalam hiruk pikuk rusuh yang tak terkendali selama tiga hari berturut-turut, Senin, Selasa, dan Rabu.
Para perusuh, entah darimana berasal, pagi, siang, malam, tengah malam, hingga subuh, terus berkeliaran ke sana kemari membakar dan menjarah, khususnya di seputaran Kota Mataram dan Lombok Barat.
Umat Katholik dan Protestan yang ketika itu beken dengan sebutan Nasrani di NTB, karena memang demikianlah nama asli dari kedua agama besar ini, berusaha mencari selamat sendiri-sendiri ke tempat pengungsian yang dipandang aman, termasuk keluar dari Pulau Lombok, entah ke Bali, Surabaya, atau kemana saja yang dipandang aman.
Namun Rm Rius seakan tak peduli. Beliau terus berjalan dari satu pengungsian ke pengungsian lainnya, baik di Polda maupun Batalyon 742/SWY Gebang.
Rm Rius menyampaikan kepada umat, bahwa tak ada jaminan, tempat di luar Lombok lebih aman daripada Lombok kendati Lombok tengah dilanda rusuh massa.
Dari beberapa saluran televisi terlihat bagaimana Lombok yang selama ini tenang dan damai bagai surga, tiba-tiba manusia menjadi sedemikian bringas seperti kesetanan. Apa gerangan yang terjadi?
Isu lain berkembang, bahwa para pembuat rusuh tak lain orang bayaran yang telah menerima upeti entah dari siapa untuk membuat keributan, dan entah dengan tujuan apa.
Jika memang kerusuhan ini didanai orang tertentu, sungguh keji orang yang telah memprogram kerusakan atas tanah ini.
Karena orang di pulau yang dikenal dengan Pulau Seribu Masjid ini, sejak puluhan tahun silam aku berada bersama mereka, sedemikian ramah dan bersahabat, bagai saudara sendiri. Dan kenyataannya memang demikian.
Begitu lama kami membangun bersama-sama dunia pariwisata hingga menyentuh titik tertinggi dalam jumlah kunjungan, tiba-tiba, hanya dengan sekali gebrakan saja, semuanya jadi berantakan.
Dan jika benar bahwa ada yang mendanai, itu sungguh kejam, dan terlebih kejam lagi, karena sejauh ini pun tak ada yang terungkap donatur itu.
Aku lihat Gubernur NTB Harun Al Rasyid sempat mengunjungi Polda NTB dan berjabat tangan dengan kami para pengungsi atau pun yang dipaksa mengungsi dari tempat kediamannya.
Tak ada kata-kata terucap, hanya jabat tangan penuh kebingungan. Seakan-akan bertanya-tanya, mengapakah semua hal ini harus terjadi.
Kemudian pada hari ke tiga, keluarlah perintah dari Mabes Polri, untuk menembak di tempat barang siapapun juga yang membuat rusuh, membakar, maupun menjarah.
Pasukan Brimob Polda NTB yang waktu itu masih bertipe C dengan pangkat kapolda yang masih kolonel, tak memungkinkan untuk mengeluarkan perintah langsung di saat kerusuhan meletus.
Polisi hanya dengan pelor hampa dan gas air mata mengeluarkan tembakan hingga asap pekat menutup kota, namun perusuh malah kian menggila.
Datanglah para sahabatku dari kantor tempat aku bekerja. Seorang sahabatku yang begitu baik dan akrab, bahkan dengan suaminya datang ke Polda NTB membawa kopi yang disimpan dalam botol untuk disuguhkan kepada aku dan keponakan-keponakanku yang baru bisa terkumpul lengkap pada hari ke dua menjelang malam dan hari ke tiga pagi.
Sahabatku, Hj Suharyani, memang tahu betul, tiap pagi aku lebih memilih tak makan daripada belum ngopi dan rokok. Di tengah segala kesulitan ini, Dia Yang Mahaagung, mengulurkan Tangan-Nya dengan berlimpah-limpah. Syukur dan Pujian bagi Nama-Nya Amin.
Sahabatku tak hanya membawa kopi maupun jajan, dia juga menggalang teman-teman kerja di kantor untuk memberikan sekadar sumbangan untuk saya dan Dominikus Umbu Pati, yang ketika itu mengungsi ke Batalyon 742/SWY.
Sahabat-sahabat yang lain yang begitu baik dan begitu banyak, yang sulit disebutkan satu per satu, juga ikut datang melihat dan membantu kami dalam segala kesesakan itu.
Dan ada pula seorang tokoh muda Sasak kala itu, Lalu Winengan, yang memeluk aku dan mengatakan dengan tulus, ‘’Pong (Maksudnya, Kopong), ini bukan ulah saudaramu orang Sasak di sini. Mereka tidak seperti ini sejak zaman dahulu kala. Jangan marah ya Pong, kita tetap saudara,’’ ujarnya.
Aku hanya mengangguk saja, aku menyadari bahwa di tengah suasana kalut dan tak karuan seperti ini, kita harus benar-benar tahu kemana harus menggantungkan harapan.
‘’Ya, miq (Sapaan halus untuk Bangsawan Sasak), mudah-mudahan lekas reda dan semuanya kembali menjadi baik,’’ jawab saya.
Sahabat atau lebih tepatnya saudara yang lain, Noor Rahmat dari Dompu, pimpinan PT Sima Mutiara, tempat keponakan dan adik-adikku bekerja selama ini, Busrah Hasan, Kepala Dinas Perikanan NTB, juga datang menjenguk dan menghibur kami. Terpujilah Tuhan Yesus dan Bunda Maria atas segala kemurahan-Nya. Lantas aku terkenang kembali akan Gereja Narmada, gua yang sejuk yang memberikan ketenangan itu. Gereja tua yang menyimpan sejarah sangat berharga.
Bagaimanakah nasibmu? Di tengah pengungsian aku hanya merenung dan mengingat susunan demi susunan bata dan pagar yang mengelilinginya yang konon telah dirusak bahkan sebagian dirobohkan.
Aku hendak ke Narmada? Situasi masih sangat belum nyaman. Sepeda motorku kuparkir di tempat kos, dan seorang temanku yang juga redaktur di koran tempat aku bekerja Purwandi, kuminta datang dan mengambilnya untuk diurus sementara. Apalagi ketika itu bertepatan dengan habisnya perpanjangan STNK.
Lebih parah lagi, BPKB kendaraan ini, tersimpan di BTN Meninting, tempat tinggal kakakku Simon Sanga Pure yang ketika itu bertugas di Dompu.
BTN itu ditempati seorang keponakanku yang kupaksa segera meninggalkannya bersamaan dengan tibanya bala bantuan Brimob yang didatangkan dari Aceh.
Siang ditinggalkan, malamnya, rumah seisinya habis dijarah, beberapa bagian bahkan dirusak.
Yang tersisa hanya sepotong kain adat (Nowi’). Hanya sepotong kain itulah yang tak dibawa. Tapi pakaian satu buffet dan barang-barang lainnya dijarah habis, termasuk semua pakaian keponakanku selain yang melekat di badan, karena ketika itu aku dan sahabatku Aleksander Ama Reko, memang berniat menjemputnya ke Meninting sehubungan dengan isu pembantaian yang akan berlangsung malam hari. Dan ketika itu kami berpapasan dengan keponakanku Aloysius (Azis) di tengah jalan. Dia ingin pulang ke Meninting mengambil pakaiannya tapi aku larang.
Dengan sendirinya, BPKB pun dijarah dan sebagai gantinya untuk memperpanjang STNK, sahabatku itu membuat surat keterangan hilang.
Adakah yang lebih pahit dari kerusuhan, perang, dan bencana serta wabah penyakit? Mungkin ada mungkin juga tidak.
Tapi keberadaan Gereja dan Gua Narmada sekarang ini boleh dikatakan jauh lebih pahit dari rusuh massa itu sendiri.
Bagaimana tidak? Gereja ini dibangun sejak lama. Dan umat pun mulai berkembang, meski banyak yang menetap di Kota Mataram.
Umat yang semakin banyak memungkinkan untuk sekali waktu, misa juga diselenggarakan di Gereja Narmada atau Gua Narmada.
Apalagi kegiatan camping rohani Mudika, Pemuda Katholik, PMKRI, di zaman saya, kebanyakan menggunakan tempat ini.
Dan setelah kerusuhan melanda, akhirnya Gereja dan Gua Maria Narmada ikut dirusak. Setelah dirusak, umat mengungsi.
Ada yang pulang dari pengungsian, namun faktanya lebih banyak yang meninggalkan tempat dan pulang kampung atau merantau ke tempat lain.
Dengan sendirinya, umat yang makin sedikit dan berada di bawah tekanan ini, tak bisa mengurus gereja tua yang nyaris roboh itu. Bahkan ketika aku pulang dari kampung dan pergi ke gereja itu, kudapati ada yang tega mengikat kambingnya di altar.
Karena kenyatannya memang tak diurus. Pemimpin Gereja Katholik St Maria Immaculata Mataram tak bisa berbuat banyak kala itu untuk Gereja maupun Gua Narmada.
Mengapa? Karena umat yang terpusat di Kota Mataram pun kesulitan sekadar tempat beribadah, karena gerejanya telah roboh rata dengan tanah.
Pilihan sungguh sulit pun dilakukan, apakah harus membangun Gereja Narmada yang umatnya sebagian besar sudah pulang kampung dan hanya tersisa satu dua keluarga yang ketika itu menyandang nama Stasi Bintang Timur, atau membangun Gereja St Maria Immaculata Mataram di pusat kota yang tentu saja masih jauh lebih banyak umat dan membutuhkan tempat ibadah dengan segera, setelah gereja beratap sirap itu dilalap tanpa ampun.
Dan jangan lupa, umat Mataram tak seberapa banyak dan bukan dari kalangan konglomerat. Di tempat ini kebanyakan perantau yang hidupnya juga ada yang lumayan memprihatinkan.
Sebagai gereja mandiri di bawah Keuskupan Denpasar, pastor paroki Rm Rosarius yang ketika itu jadi Pastor Paroki Ampenan, dipindahkan ke Mataram.
Di bawah pimpinan Rm Rius, sumbangan untuk pembangunan gereja digalakkan. Jumlah umat yang tak terlalu banyak dengan penghasilan yang harap dimengerti, sungguh suatu yang di luar nalar, jika dapat membangun sebuah tempat ibadah yang cukup lumayan dalam waktu singkat.
Meski kesannya agak “memaksa” namun umat dengan penghasilan tertentu “dipatok” untuk menyumbang sekian-sekian guna pembangunan gereja yang habis dibakar massa itu.
Di tengah segala kekalutan ini, Gereja Narmada merana sendiri. Dari jalan, tampak atap gereja yang mulai roboh sedikit demi sedikit. Tempat itu seperti sebuah rumah tua yang ditinggalkan berabad-abad.
Namun di tengah himpitan yang luar biasa, mau tak mau, pikiran dan tenaga, serta biaya, untuk sementara terfokus ke pembangunan Gereja Mataram.
Setelah terkumpul dana baik iuran yang ditarik dari umat maupun sumbangan sukarela dari umat, pelahan namun pasti, Gereja Mataram mulai dibangun, setelah pengumpulan dana yang memakan waktu bertahun-tahun.
Peletakan batu pertama dilakukan Walikota Mataram Haji M Ruslan yang kini sudah almahrum. Beliau sempat menyatakan, jika masih diberi kesempatan, dia juga yang akan meresmikan.
Dan harapannya pun terkabul. Dia jugalah yang meresmikan setelah gereja itu selesai dan dipandang layak untuk dipakai beribadah.
Setelah berbilang tahun entah kapan, lonceng Gereja Mataram kembali berdentang. Sukacita pun terpancar dari wajah umat.
Dan selain harapan H M Ruslan, harapan Rm Rius pun terkabul. Kalaupun akan dipindah, Rm Rius yang waktu itu selain sebagai pastor Paroki Mataram juga Deken NTB berharap agar Gereja Mataram telah selesai dibangun.
Selesaikah masalahnya? Ternyata suara Bunda dari Narmada begitu memelas. Di tengah dentang lonceng Gereja Mataram yang terdengar nyaring, ada suara lirih yang menyayat hati yang datang dari Stasi Bintang Timur, yang hanya tersisa beberapa keluarga.
Namun bukan itu masalahnya, melainkan kapan gereja maupun Gua Maria yang sama-sama mengalami peristiwa pedih 171 itu akan dibangun kembali?
Suara yang mengetuk hati pun kembali menggema di mimbar gereja. Bukan mau memaksa, tapi kalau dibiarkan sampai kapan akan tetap seperti itu?
Meski masih tertatih-tatih menanggung beban pembanguan Gereja Mataram yang sebenarnya sesuai gambar belum tuntas, namun aksi pengumpulan dana untuk Gereja dan Gua Narmada mulai dilakukan.
Dengan dana yang masih sangat terbatas, dibangunlah pagar depan dan samping tempat ibadah tua itu. Tempat yang sebelumnya tampak begitu kumuh meski ada di pinggir jalan, mulai tertata dan kian cantik.
Disusul kemudian dengan rehab gereja tua (gereja asal) yang sebelumnya sempat dipakai entah siapa mengikat kambing di tempat itu.
Bangunan itu pun tampak apik dari luar, dan sumbangan yang mulai terkumpul, tampaknya akan segera diarahkan untuk pembangunan gereja di bagian belakang yang dirobohkan itu, berikut Gua Maria.
Dan ketika pembangunan sedang berjalan…aral itu tiba-tiba melintang. Oh Bunda Maria…
Informasi yang diperoleh, Camat setempat tak mau memberi izin entah karena apa. Namun suara lain yang berhembus, itu karena provokasi yang dilakukan orang tertentu.
Entah apapun ceritanya, engkau dan aku, kita, tak hanya sedang berbicara tentang sebuah tempat ibadah, melainkan sebuah sejarah yang telah ditorehkan orang-orang zaman dahulu kala di tempat ini.
Gereja di tempat ini bahkan berdiri sebelum zaman kemerdekaan, jauh lebih tua dari Gereja Mataram yang mulai ada tahun 1938.
Dengan demikian, keberadaannya pun memberi warna khusus pada sejarah perjalanan Lomboq. Jika demikian, maka betapa keji jika ada yang sekadar niat saja hendak menghapus tapak sejarah itu.
Semoga Bunda Maria berkenan membuka hati siapapun juga yang berniat menghilangkan tapak sejarah yang sungguh berharga ini.
Kiranya, Bunda Maria akan memohonkan kepada Putera-Nya untuk memberikan yang terbaik bagi seluruh umat manusia yang berkehendak baik, khususnya Gereja serta Gua Maria Narmada yang tengah dalam perjalanan meniti iman. Amin.
Selagalas, 28 Oktober 2012
Jumat, 05 Oktober 2012
Aku, Aku, dan Aku......
Banyak pesan indah tertahan di tengah jalan, dikangkangi dan tak sampai alamat. Setelah sy merenungkan, ternyata bukan soal bahasa pengantar melainkans soal hati. Kekerasan hatilah yang menimbulkan segala gejolak. Kekerasan hatilah yang menutup segala jalan, termasuk pesan damai.
Egoisme pemikiran, egoisme hati, egoisme-egoisme lain-lainnya yang telah membuat sekat yang kian hari kian tebal.
Dan pada suatu waktu, sekat itu begitu tebal, sampai-sampai suaramu yang berteriak di balik sekat, tak sanggup terdengar sama sekali.
Ketika kita memiliki sedikit saja kepekaan rasa, kita akan menyadari bahwa engkau dan aku sebenarnya hanya beda dari sisi fisik. Namun secara nurani kita berasal dari Sumber yang sama. Citra-Nya.
Bertahun-tahun, kita belajar utk saling mengenal, bahkan mungkin hanya lewat jejaring sosial. Tapi bukan tak mungkin, perkenalan yang bisa saja penuh basa-basi ini jauh lebih bermutu, ketimbang perjumpaan langsung yang sesaat namun berbalut kemunafikan.
Mari kita tanam dalam hati ini, sebuah rasa yang agung, yang mengatasi rasa suka dan tak suka. Kita bangun bangunan persahabatan yang mengatasi sekadar rasa yang dangkal itu. Melainkan, sebuah sambungan nurani yang menerbitkan pencerahan baru....dan menapak pada jalan kehidupan yang memberi pengertian bahwa, sebenarnya engkau dan aku adalah saudara, hanya dengan banggga kita harus mengakui, bahwa ternyata kita belum saling mengerti satu sama lain.
Kita juga masih berselimut ego yang begitu tebalnya, setebal muka kita yang tak lagi punya rasa malu, meskipun kita memakan apa yang bukan hak kita, menduduki apa yang bukan milik kita, merampasi orang tak berdaya, dan menimbulkan kerusakan di mana-mana dan dengan pongahnya menyatakan bahwa kita menang karena kita benar.
Sahabat dan saudaraku, kebenaran tak sedangkal itu. Kebenaran itu menyaring pelan-pelan dan halus. Hari ini engkau bolehlah tertawa, tetapi apakah itu juga jadi jaminan untuk hari esok?
Kalau engkau bukan orang beragama, paling tidak engkau mendaptkan sedikit pelajaran dari adat istiadat. Jadi meskipun tak tahu seluruhnya, sy pikir anda cukup paham konsekuensi dari tindakan anda.
Kita boleh saja berdalih banyak hal utk membenarkan diri, tapi apa yang tersembunyi dalam hati kita (Kalaupun mudah-mudahan masih punya hati ya). tentu akan membeberkan secara benderang...
Bunda Maria, di ujung perjalanan yang kian gelap gulita ini, semoga berkat doamu, janganlah mengizinkan Tangan Putera-Mu jatuh ke atas negeriku, khususnya tanahku yang kini tengah bersimbah darah Terpujilah namamu....Amin.
Sabtu, 22 September 2012
Untuk Apa Bayar Pajak?
Oleh Bernardus Kopong Gana
Beberapa tahun lalu, Flores Timur dilanda Rabies. Gigitan anjing berbisa ini menciptakan kehebohan luar biasa. Orang menjadi takut memelihara anjing termasuk lalu lalang di jalan apalagi di malam hari, karena maut bagai mengintai di setiap sudut.
Bahkan orang yang biasa memelihara anjing utk berburu pun was-was, jangan sampai anjingnya tertular rabies. Ketakutan menjalar dimana-mana di rumah penduduk dan desa-desa, takut kpad anjing, takut kpad orang yang tertular rabies, dan ketakutan2 yang mengerikan.
Apa yang dibuat pemerintah Flotim waktu itu? Orang hanya terpesona. Yang sakit atau terkena gigitan anjing, tinggal lari tunggang langgang mencari selamat dengan suntikan anti rabies, terserah mau bayar berapa, ada uang atau tidak.
Di tengah segala kepanikan yang mengerikan ini, pemerintah kita belum melakukan apapun. Masyarakat dibiarkan berusaha sendiri mencari selamat.
Ada yang lari ke Maumere karena kurangnya vaksin rabies di Larantuka, ada yang terbang ke Surabaya, dan Jakarta, atau dimana pun ada vaksin rabies guna menyelamatkan selembar nyawanya.
Semua orang kecuali kaum atheis, tentu percaya bahwa nyawa manusia ada di Tangan Tuhan. Namun bencana di depan mata seperti itu, sudah pasti masuk kategori Kejadian Luar Biasa (KLB).
Sayangnya, ketika pulang kampung sekitar tahun 2004 silam, sy hanya menyaksikan kocar-kacirnya masyrakat menyelamatkan diri dengan cara tradisional. Pertama, mungkin karena tak ada uang, berikut, panik dan tak tahu harus buat apa, berikut lagi, hanya itulah harapan yang tersisa.
Yang mengherankan, upaya utk mengatasi ha ini hampir tidak ada dari pemerintah. Rabies akhirnya tenggelam sendiri. Bantuan vaksin baru datang setelah rabies mereda dan korban sudah berjatuhan di sana-sini.
karena sudah reda, tak ada lagi yang mempermasalahkan. Ditambah keyakinan penduduk setempat yang saya rasa tak perlu sy paparkan di sini karena sy pikir semua sudah maklum. Yang belum maklum bisa tanya kalau pulang kampung.
Sekarang ini bukan rabies tapi wabah yang menimpa ternak penduduk berupa unggas. Wabah yang melanda unggas khususnya ayam ini bukan sehari atau dua hari lalu, melainkan sudah berbulan-bulan bahkan tahunan. Ayam mulai jarang terdengar berkokok ketika kami pulang baru2 ini ke kampung.
Saya tanyakan kepada masyarakat, dengan cara apa kalian menyelamatkan ayam kalian yang dilanda wabah? Mau tahu jawabannya? ''Kami tidak tahu,'' jawab mereka.
Mereka bercerita, mereka hanya ke kebun dan memungut ayam mereka yang jatuh dari atas pohon semalam, mirip memungut buah mangga matang, kemudian dikuburkan.Jika tidak, bau busuk akaan menyengat dimana-mana.
Itu berlangsung hampir setiap hari, minggu, bulan, dan tahun, hingga saat ini. Dan sampai kini pun tak ada sedikit pun reaksi dari pemerintah kita utk menolong peternak unggas di kampung-kampung.
Harga satu ekor ayam bisa mencapai lebih dari Rp 100 ribu utk ukuran yang di tempat tinggal kami saat ini, paling-paling dua ekor Rp 50 ribu.
Sy bertanya dalam hati, sebenarnya apa kerjaan SKPD di Flotim, khususnya Dinas Peternakan atau instansi lainnya yang terkait, sekiranya Peternakan dimerger dengan dinas lain?
Lantas kemana pemegang kebijakan daerah ini dalam menggerakan dinas terkait agar mengerahkan PPL yang bertugas bahkan memiliki kewajiban moral utk mengatasi hal ini?
Jika begini, saya pikir, tak ada masalah jika perlu ada seruan utk memboikot pembayaran pajak, karena pemerintah tampaknya memang telah benar2 menutup mata terhadap nasib buruk yang menimpa masyarakat, padahal hal itu bisa diatasinya bersama perangkatnya.
Apa sih susahnya membeli obat stimulan dengan memesan langsung ke Surabaya atau tempat lainnya yang menjadi sumber pakan ayam? Atau memng pemerntah kita pura2 bego?
Mengapa utk proyek yang tak menyentuh langsung hajat hidup orang banyak, justru semangatnya bukan main? Marilah buka mata, buka hati. karena masyarakat itu adalah orang tua kita, kk, adik, keluarga kita. Terima kasih dan maaf ya....jika ada yang keberatan dengan tulisan ini
Minggu, 16 September 2012
Pola Hidup, Pola Pikir, Olah Jiwa
Oleh: Bernardus Kopong Gana
Aku bangga dengan adat istiadat warisan para pendahuluku, Salah satunya, "kegiatan" yang sangat menyibukkan di saat orang meninggal dunia. Inilah barangkali salah satu warisan yang sanggup bertahan di tengah alam logika meski boleh dikata sudah hampir tak logis.
Sebenarnya, semua orang tahu, apa yang harus diperbuat terhadap orang yang sedang dilanda kedukaan. Yang tak dilanda duka tentu berupaya agar yang dilanda duka ini agak lebih ringan bebannya dan agak terhibur.
Itulah yang sebenarnya yang harus dilakukan jika menganut alam logika yang wajar, maupun adat istiadat pada umumnya. Bahwa kita saling menopang di kala susah, itu tak hanya kebaikan tapi juga kewajiban. Tapi kalau kita saling menindas dan menekan di tengah kedukaan yang melanda orang lain apalagi saudara/i kita sendiri, sulit untuk menyebutnya sebagai apa.
Adat istiadat kita memang sungguh unik. Saking uniknya, sampai dibuat bertambah "unik" dari hari ke hari. Akhirnya tak hanya unik, tapi juga menyiksa. Tak hanya menyiksa orang yang tak tertimpa kedukaan, tetapi terlebih-lebih mereka yang sedang dilanda duka nestapa.
Saya tak tahu, logika macam apa yang bisa menjelaskan, bahwa orang yang sedang susah harus melayani para tamu yang sedang tak susah. Apakah bukan sebaliknya?
Inilah keunikan lain yang sangat perlu utk dibicarakan. Sebab patut dicurigai, ada begitu banyak tambahan yang tak perlu yang dilakukan orang dari zaman ke zaman entah dengan maksud apa.
Bagaimana kalau begini, kita datang ke rumah orang yang sedang berduka, kita panggil diam2 salah seorang keluarga yang sedang berduka, kita berikan sesen dua utk skdr beli kopi gula. Maksud sy cara ini digunakan, jika kotak duka di depan rumah duka dianggap belum lazim.
Daripada barisan panjang yang hampir tak terlihat ujungnya. Hal ini kita pertahankan guna pelestarian adat tapi yg sewajarnya menurt aturan adat itu. Bukan utk aksi pamer alias gengsi.
Dan ini baru ronde-ronde awal, kita belum bicara soal ritual lainnya yang ...., ..... panjang dan berliku. Barangkali seperti kata salah seorang penulis di Kitab Injil, yang kurang lebih begini, ''jika semuanya ditulis, seisi dunia pun tak akan sanggup menampungnya.
Lantas kapankah ada penyederhanaan agar yang berduka tak semakin tercekik?
Setiap kali menulis begini, kadang terlintas di benak, seakan-akan aku tak setuju dengan ritual adat istiadat di kampung halaman. Perlu sya tegaskan di sini, bahwa aku lahir dan besar dalam asuhan adat istiadat, sehingga itu sudah menjadi darah dan daging.
Maka dari itu, bukannya mau menentang atau membangkang. Saya hanya mengajak, marilah kita tapaki kenyataan hidup yang kian hari kian pahit dan melilit ini. Bahwa di masa yang akan datang, generasi muda ini harus sekolah. Minimal mereka harus tamat SMA utk saat ini.
Lima atau 10 tahun mendatang, mgkin pendidikan yang dibutuhkan, minimal S1. Kalau dengan kondisi anak muda kita sekarang yang tamat SD sj susah dan lebih sering berkelahi dan mabuk, mau jadi apa generasi ini ke depan? Belum lagi ditambah beban adat yang sebagian besarnya mulai banyak disulap?
Saya berani katakan ini, karena aku pernah dengar pesan dari seorang bapak yang teramat bijak. Betapa sayangnya dia akan kampung halaman ini, sampai-sampai begitu banyaknya pengorbanan yang diberikan guna "mengasah" hati tunas muda agar oneka itu "Neka Peli Koda bukan tae kamak semata.''
Dari sekarang, bahkan semestinya 10 atau 20 tahun lalu, kita harus sudah memikirkan hal ini. Bahwa adat istiadat itu sebenarnya ada bukan utk mempersulit manusia melainkan membuat segalanya makin mudah.
Tapi jika kenyataannya sekarang penerapan adat istiadat yang dihajatkan utk memudahkan itu ternyata banyak dikeluhkan, berarti kita semestinya berkaca bahwa ada banyak hal yang mungkin menyimpang dari adat istiadat yang sebenarnya.
Kusodorkan tulisan singkat ini utk direnungkan bersama dan mencari solusi bersama-sama pula, khususnya bagi yang peduli. Terima kasih...
Koda Nabe Tawan..., Bura Gere Maan Lewun Tanah.
Kamis, 13 September 2012
Kamis, 02 Agustus 2012
Jumat, 29 Juni 2012
Selasa, 20 Maret 2012
IMAN
Di tengah hiruk pikuk dunia, adakah yang peduli? Adakah yang setiap hari selalu ingat bahwa napas hidup begitu berharga?
Aku ingat bahwa di suatu waktu aku begitu khusyuk berdoa, seakan-akan lebih rajin dari orang selibat. Bahkan aku berani mengkritik orang selibat yang mungkin karena suatu dan lain hal, tak sanggup menyelenggarakan ibadah tepat waktu.
Aku bertingkah seakan-akan aku manusia sempurna yang tak mungkin akan salah. Aku begitu sombong dan menganggap diriku begitu lengkap. Namun apakah artinya manusia? Adakah sesuatu yang cukup sempurna yang pernah dibuat manusia?
Kesombongan ini telah membuat aku teramat malu pada renungan di sore ini. Bahwa manusia tidak lebih hebat sama sekali. Manusia memiliki sisi yang sama saja. Mungkin di suatu waktu dan kesempatan dia nampak begitu hebat tanpa cela, namun di waktu dan sisi yang lain, tampaklah kelemahan di sana-sini. Demikianlah adanya manusia dan itu tak terbantahkan. Dengan begitu, maka hanya Tuhanlah yang patut disembah dan dipuji untuk selama-lamanya....
Dan di tengah terpaaan dunia yang kian menggila, dengan berbagai kehidupan yang tanpa peduli akan sesama bahkan antara tetangga, mungkinkah kita masih dapat menemukan sepotong kasih?
Ibarat kehidupan yang kian pahit, iman pun seakan kian pudar, karena begitu banyaknya kekejaman zaman memangsanya. Namun iman, kata Kitab Injil, sanggup memadamkan panah api si jahat....Marilah, di tengah kancah hidup ini, dan di tengah segala himpitan zaman yang tak kenal ampun...biarkanlah kasih Tuhan mekar....seperti embun yang berkilau ditimpa mentari pagi....Seperti sepoi sore yang berhembus membelai kehidupan ini...Maka segala pujian bagi Dia yang telah membuat segalanya menjadi baik dalam nama Putra-Nya, Tuhan Yesus Kristus....kini dan sepanjang masa, amin.
Jumat, 16 Maret 2012
IKLIM
Tiupan angin begitu kencang disertai hujan. Genteng rumah jatuh berhamburan. Musim lalu, angin cukup keras juga, tapi tak sehebat musim di tahun ini.
Perubahan cuaca berlangsung sangat mendadak dan tanpa isyarat sama sekali. Manusia seakan tak diberi tempat dan waktu lagi untuk merenungkan, mengapa semua ini harus terjadi.
Sebab, sebenarnya telah banyak waktu diberikan, telah berlimpah kesempatan disodorkan kepada manusia di waktu-waktu yang telah lalu. Manakala semuanya masih terpelihara, masih terjaga sedemikian indah.
Kini, ketika manusia sekan masuk dalam jaring jebakan tak berujung, maka alam yang disalahkan, Tuhan yang dituding tak lagi sayang manusia. Padahal manusia yang telah menciptakan neraka bagi dirinya sendiri dan sesamanya.
Lalu ratapan terdengar di jalan-jalan, tangisan pilu menyayat hati, menahan pedih tak terkira karena banyaknya pengkhianatan dan kedurhakaan. Derita demi derita ternyata tak juga membuat manusia sadar akan keterbatasannya.
Lalu dengan jalan apalagi manusia akan disadarkan...? Manusia enggan mengaku salah, manusia ingin selalu benar.....Padahal dalam kenyataannya, adakah manusia memiliki kebenaran...? Segeralah sadar, karena hari terus bergerak dan terus berubah...
menuju pembaharuan...Segala sesuatu akan dibuat menjadi baru....
Selagalas, 16 Maret 2012
Minggu, 11 Maret 2012
Siapakah Engkau?
Tega benar, orang yang memblokiir akun saya ya. Apakah ada permusuhan atau masalah saya dengan orang itu ya...? Ataukah tanpa sadar aku telah menyakiti dia? Jika demikian,aku minta maaf...salam,
Sabtu, 21 Januari 2012
Sekali Lagi Soal Imam Baru
oleh: Bernadus Kopong Gana
==================================================================================
Romo Eusebius Puru Duli akan disambut sebagian besar warga Desa Watoone hari ini di Pelabuhan Waiwerang, Adonara. Hanya sebagian besar warga Desa Watoone, kecuali kalau umat lain di Witihama juga menganggap perlu menyambut pastor muda yang baru ditahbiskan di Timor Leste ini.
Dan hanya sebagian warga Desa Watoone, karena ternyata ada juga org dari Desa Watoone yang tak mau menyambut pastor ini. Bahkan ada dugaan keras, orang Watoone sendirilah yang mempengaruhi pastor Witihama agar ikut-ikutan tak menyambut pastor baru.
Seantero Witihama bahkan terbengong juga, bagaimana mungkin ada juga orang Watoone sendiri yang berupaya menggagalkan upacara penyambutan imam baru dengan berbagai cara. Dan lebih payah lagi, imam paroki witihama pun ikut terbawa dalam persekongkolan mereka.
Ketidaksediaan pastor paroki Witihama menyambut imam baru, konon, ini ada hubungannya dengan kekisruhan rencana penyambutan imam baru sebelumnya. Karena memang sebelumnya sudah direncanakan utk penyambutan namun gagal melulu akibat ulah pastor yang sama.
Pastor Paroki Witihama yang mahabaik itu, minta pastor muda ini menghadap dia terlebih dahulu sebelum bertemu keluarga di Watoone. Namun karena hasratnya yang sedikit ajaib itu tak dipenuhi imam baru maupun kalangan keluarga, sang pastor bersama antek-antek pendukungnya tak bersedia ikut menyambut imam baru.
Bahkan, konon lagi, pastor ini tak memberi tempat di paroki utk diselenggarakan upacara misa penyambutan imam baru, hanya karena imam baru memilih bertemu keluarga dulu sebelum bertemu dengannya.
Berbarengan dengan itu, pastor ini pun tak bersedia memberikan peralatan misa mulai dari jubah, termasuk hosti dan lain sebgainya sehingga imam baru harus membawa sendiri hosti maupun jubah dari Larantuka untuk penyelenggaraan misa perdana.
Dan karena kapela Watoone yang baru dibangun kembali itu belum juga rampung, maka upacara misa perdana direncanakan dilaksanakan di halaman rumah imam baru. Demikianlah untuk sementara yang dapat disampaikan pada kesempatan ini.
Sekali lagi aku bertanya, seperti apa isi dalam Paroki Witihama yang pastor serta antek-anteknya memiliki pola pikir tak ubahnya iblis berujud manusia ini. Saya hanya memegang satu keyakinan: Yesus tak mungkin keliru memilih.
Tapi jika pastor paroki Witihama "sejauh" ini, maka saya bisa membuat kesimpulan bahwa tampaknya Pastor Paroki Witihama ini hendak menciptakan aliran baru di Witihama, lepas dari Keuskupan Larantuka.
Karena pada kenyataannya, Pastor Paroki Witihama tak mendengarkan pihak Keusukupan Larantuka. Dia hanya mau berjalan sendiri dengan hasratnya yang terus bergelora bersama-sama antek-anteknya yang sebagiannya berasal dari Desa Watoone itu.
Langganan:
Postingan (Atom)