Total Tayangan Halaman
Senin, 31 Oktober 2011
Menangani Malapetaka
Barangkali benar, bahwa kami memang orang primitiv. Karena itu cara penanganan yang kami lakukan terhadap berbagai malapetaka pun sungguh berbeda dengan cara penanganan yang dilakukan orang modern yang sudah tentu lebih jauh maju perkembangannya.
Ketika terjadi malapetaka di daerah lain, entah itu wabah penyakit atau bencana-bencana lain, orang berteriak keras kepada pemerintah agar segera membantu. Segera datangkan tenaga medis atau pasukan SAR atau siaga bencana, dan lain-lain.
Ini sungguh berbeda dengan daerah saya yang nun jauh di sana, di kaki Gunung Boleng (Ile Boleng), Desa Watoone, Adonara, Flores Timur.Ketika datang malapetaka atau bencana, jarang ada orang yang berteriak kepada pemerintah.
Ada beberapa kemungkinan yang melatarbelakangi, mengapa masyarakat tak berteriak kepada pemerintah. Pertama, karena masyarakat sudah terbiasa menghadapi hal seperti ini sendiri tanpa minta bantuan pemerintah, atau suara masyarakat yang sayup nun jauh di kaki bukit, tak sanggup terdengar hingga ke takhta pemerintah yang tampaknya terlampau sibuk mengurus hal-hal lain ketimbang mengurus malapetaka yang menimpa warga.
Apalagi, mengurus malapetaka yang menimpa warga hanya membuat lelah saja.Belum lagi ditambah dengan pusat pemerintahan yang ada di seberang laut, membuat teriakan itu kian sayup terdengar.
Mungkin begitu. Tak usah bicara dulu soal flu burung yang akhir-akhir ini mewabah di Adonara. Bahkan rabies yang menggila beberapa tahun bahkan belasan tahun lalu di daerah ini pun sampai sekarang belum ditangani hingga tuntas.
Itu soal rabies. apalagi soal malapetaka lain yang menimpa warga. Misalnya, sekumpulan anjing yang melahap habis hewan sekandang yang bagi orang setempat menyebutnya Aho Berongoten.
Anjing jenis ini masih menjadi misteri hingga kini.
Tak hanya binatang, bahkan manusia yang mencoba menghalanginya melahap binatang, bisa ikut mau dimakannya. Memang sejauh ini belum terdengar ada Aho Berongoten yang makan manusia. Namun demikian, hal itu bukan tak mungkin. Lihatlah, bagaimana kuda dan babi pun kadang dimakan anjng jenis ini.
Yang mengherankan, anjing jenis ini munculnya serba misterius, begitu juga menghilangnya. Mereka datang berkelompok, menyerbu kandang yang penuh dengan kambing atau domba, setelah itu tak berapa lama, kandang itu menjadi sangat sepi, karena semuanya telah dilahap habis.
Ada yang hanaya digigit sedikit saja dan ditinggalkan, namun kambing maupun domba itu mati total, sehingga tak bisa diapa-apakan. Lebih aneh lagi, pengalaman orang yang memakan kambing atau domba hasil gigitan anjing ini, mengaku kambing atau domba itu memiliki rasa tak seperti kambing atau domba pada umumnya. Rasanya terlampau hambar, sampai orang tak mau memakannya.
Sejauh itu, masyarakat kebanyakan pasrah, apalagi pemerntah. Jika dilihat-lihat, kantor pemerintah yang dihuni orang sekolah tinggi itu tampaknya jauh lebih bego dalam menyelesaikan masalah ketimbang orang kampung yang menghadapi masalah ini dengan kesahajaannya.
Jika dalam waktu cukup lama, dan anjing-anjing ini tetap saja beraksi, maka upacara kampung pun diadakan. Bagaimana prosesinya, tentulah hanya pemiliknya yang tahu. Namun fakta menunjukan, bahwa setelah adanya prosesi adat itu, anjing ini tak mengganggu lagi sampai tiba waktunya kapan-kapan.
Begitu juga dengan ayam, yang kini perkembangan teknologi penelitian menyatakan terserang wabah flu burung sehingga semuanya berguguran dari pohon-pohon seperti daun kering.
Masyarakat bukannya tak mau tahu soal itu. Namun sampai kapankah mengharapkan tenaga kesehatan hewan nongol di kampung sana untuk menyelamatkan ayam yang tersisa dari wabah ini? Fakta menunjukan bahwa petugas kesehatan baru nongol setelah ayam yang ada hanya tersisa 1 atau 2 ekor.
Mengharapkan pemerintah turun tangan dalam kasus seperti ini ibarat pungguk merindukan bulan.
Masyarakat adat pun kembali menggelar ritual dengan harapan, wabah serupa segera menjauh dari kampung halaman, namun apakah hal itu bisa menjamin, siapakah yang tahu? Dan terlebih lagi, siapakah yang peduli?
Di tengah segala kepasrahan yang kian tak menentu itu, datanglah petugas pajak mendata harta masyarakat yang makin sekarat karena panen pun gagal lantaran musim yang tak tentu.
Jangankan panen, tanam pun gagal, karena hujan yang turun tak menentu. Bibit yang tersimpan sejak musim lalu pun terancam akan "hangus", jika hujan tak kunjung turun.
Di tahun sebelumnya, kasus serupa terjadi. Bibit yang tersimpan hampir habis, karena gagal tanam. Setelah tanam, hujan tak turun, hujan turun setelah bibit hangus dibakar matahari. Dengan apakah kita harus mengumpamakan penderitaan macam ini?
Sekarang, di musim ini, petani kembali menanam sisa bibit musim lalu. Harapannya, hujan akan turun dengan baik, dan jagung yang tersisa pun bisa tumbuh, sampai berbunga dan berbuah. Namun kabar duka belum juga habis dari kampung.
Setelah hujan lebat semalaman mengguyur kampung dan para petani bersemangat menanam jagung di ladang, tiba-tiba dalam sepekan terakhir, hujan belum juga turun. Kalau begini terus, mau ambil darimana lagi bibit jagung untuk ditanam?
Di balik ketenangan wajah mereka dalam menjalani hidup, ternyata beribu misteri derita dalam dada mereka siap meledak sewaktu-waktu. Alam seakan tak bersahabat lagi. Tak hanya tumbuhan tapi juga hewan. Apakah gerangan dengan semua kejadian yang memilukan ini?
Mengharap pemerintah? Tampaknya pemerintah terlampau sibuk mengurus kedudukan. Mengurus suksesi berikut, mengurus keluarga dan kerabatnya. Tak sempat mengurus warga yang begitu banyak, yang datang demgan keluhan yang sama saja.
Kemudian kita bertanya? Apakah boleh rakyat mengeluh? Apakah boleh seorang pemimpin, petinggi, alias penggede, turun sebentar dari takhtanya untuk melihat sekilas nasib masyaraakat yang tak menentu ini?
Kini yang tersisa, masyarakat hanya andalkan singkong. Itu pun hanya dimiliki petani tertentu di kebun tertentu yang pada musim lalu, masih terpelihara dan belum sempat dicabut untuk makanan kambing atau babi.
Jika menunggu masyarakat berteriak, tampaknya masyarakat sudah tak kuat lagi. Dan jika pemimpin masih terus juga menunda langkahnya, maka datanglah kembali sewaktu-waktu dengan pasukan lengkap para penggali kubur. Mungkin itulah yang paling tepat dan memuaskan. Betapa nikmat derita hidup ini. Selagalas, 1 November 2011
Kapela Watoone
Di kampung halamanku, Desa Watoone, Kecamatan Witihama, Adonara, Flores Timur, NTT, ada sebuah kapela (tempat ibadat Umat Katolik) yang lebih kecil dari gereja (paroki). Kapela ini berdiri sejak lama atas persetujuan tetua kampung. Bahkan menurut cerita yang saya dengar, jika tanpa persetujuan tetua kampung, kapela itu tak akan bisa berdiri.
Pastor paroki Witihama ketika itu, secara khusus datang ke Desa Watoone meminta persetujuan tetua kampung di Watoone, agar berkenan merestui berdirinya kapela itu. Al hasil, kapela itu berdiri. Dan setiap waktu, apalagi kalau ada upacara keagamaan yang besar, baik misa maupun doa Rosario, kapela itu pasti penuh bahkan melimpah keluar. Maklumlah, orang Watoone, 100 persen menganut Agama Katolik.
Tidak hanya kapela Watoone, paroki Witihama yang begitu besar pun kalau orang Watoone datang misa, maka gereja akan penuh melimpah hingga ke halaman. Tapi jika orang Watoone tak datang misa, maka gereja cenderung sepi.
Belakangan ada masalah pelik yang mengganjal. Ada pastor yang tabiatnya kurang sejalan dengan orang Watoone yang sebenarnya keras namun sangat taat beragama itu. Al hasil, gereja pun jadi sepi karena orang Watoone pada umumnya mulai jarang misa di paroki.
Bahkan tak hanya paroki, kapela yang dibangun di tengah kampung pun mulai sepi pengunjung. Umat mulai ogah-ogahan karena dibuat liar oleh pastor yang sok suci. Sebegitu sepinya kapela sampai-sampai tak ada yang mengamati, jika atap, maupun pintu kapela mulai lapuk termakan usia.
Syukurlah, altar maupun patung2 terbuat dari kayu yang kelasnya lain (Lebih bagus) sehingga tak gampang rusak. Selain itu, letaknya yang di dalam sehingga jarang kena sinar matahari maupun hujan, membuat benda-benda kudus itu pun masih sangat awet.
Namun bagaimana dengan atap kapela? Begitu juga dengan dinding yang terbuat dari batu bata yang mulai dimakan bubuk? Ini perlu renovasi sebelum kapela akhirnya benar-benar roboh.
Rencana pun dibuat secara cermat untuk membangun kembali kapela, tak hanya sekadar renovasi, karena dinding maupun atap yang lapuk butuh perbaikan total.
Sejauh itu, tak ada sedikit pun perhatian dari Paroki Witihama selaku induk. Pastornya diam, dan umat se paroki pun diam. Sementara warga Desa Watoone dengan sekuat daya yang ada mau membangun kembali kapela yang nyaris roboh itu.
Meski tanpa rencana yang cukup matang namun karena adanya keinginan yang kuat untuk membangun kembali kapela maka dinding kapela itu pun dirobohkan untuk dibangun baru. Setelah dirobohkan, warga Desa Watoone, mulai berpikir kira-kira dari sumber dana manakah kapela itu dapat dibangun kembali.
Sejauh itu, Paroki Witihama tak ada suara.
Akhirnya syukur kepada Tuhan, karena ada salah seorang putra Watoone yang ketika itu menjabat Wakil Gubernur NTT, Frans Lebu Raya (sekarang Gubernur NTT). Dengan uang dari kantong sendiri, putra Watoone ini menyumbang untuk pembangunan kapela.
Maka bahan-bahan pembangunan pun diadakan, dan pembangunan pun dimulai. Sayangnya, tantangan pembangunan kapela ini tak hanya sampai di sini. Di tengah jalan, pembangunan mangkrak karena orang yang diserahi tanggung jawab untuk pengadaan bahan, ternyata hanya bisa menghabiskan uang sementara bahan bangunan tak ada. Ditambah lagi dengan tidak adanya pertanggungjawaban yang jelas.
Untuk beberapa waktu, kapela Watoone, hanya berdiri dengan dinding tanpa atap bahkan rumput liar pun mulai tumbuh mengepungnya. Sampai di sini, Paroki Witihama masih juga membisu.
Setelah terpilih jadi Gubernur NTT, Pak Frans Lebu sungguh prihatin melihat kapela yang begitu lama tak juga selesai dibangun.
Daripada terus ditunda, Pak Frans akhirnya memberikan sumbangan uang maupun tenaga manusia langsung dari luar daerah untuk mengerjakan dan menyelesaikan pembangunan kapela ini. Tukang-tukang beserta peralatan langsung didatangkan dari luar.
Pertimbangannya jelas, bukan karena tukang di kampung tak mampu, melainkan pekerjaan tukang di kampung banyak sekali halangannya. Jika ada ini dan itu, halangan ini dan itu, maka pekerjaan pun terus tertunda dan tak selesai-selesai.
Akhirnya terbetik khabar, bahwa ada sejumlah uang yang diberikan untuk pembangunan kapela yang dikelola desa. Sampai di sini, pihak Paroki Witihama yang selama ini diam membisu tiba-tiba membuka mulut tanpa malu-malu menyatakan, bahwa semestinya pembangunan Kapela Watoone harus atas sepengetahuan paroki.
Bahkan tanpa rasa mau mencoba meminta pertanggungjawaban pihak desa atas penggunaan uang untuk pembangunan kapela. Ulah paroki Witihama ini sempat membuat penduduk Watoone tertawa terbahak-bahak. Entah kemana gerangan Paroki Witihama sejak kapela itu dibongkar sampai akhirnya kini telah berdiri kembali sedemikian megah. Justru ketika mendengar bunyi uang, tiba-tiba menyalak dan ingin berperan. Aneh nian.
Sayangnya, pihak desa pun tak mau menanggapi panjang lebar, karena pihak desa merasa tak ada urusan dengan Paroki Witihama dalam hal pembangunan kapela. Selain tak ada sepeser pun sumbangan, bahkan sekadar datang melihat-lihat pembangunan pun tidak, pihak paroki juga tak pernah mau peduli selama ini. Lantas apa urusannya pihak Desa Watoone menyampaikan laporan kepada Paroki Witihama?
Sungguh menyedihkan dan teramat memalukan. Namun tampaknya pihak Paroki Witihama memang punya kekebalan khusus soal rasa malu.
Di sisi lain, pihak desa dengan tegas menyatakan, bahwa pihakdesa hanya bertanggung jawab kepada Pak Frans Lebu selaku penyandang dana. Bukan kepada Paroki Witihama yang baru bangun dari mimpi panjang. Tampaknya perlu ada sedikit investigasi, mengapa kondisi Gereja Katolik Witihama beserta perangkatnya sedemikian parah. Tampaknya orang yang ada di dalamnya sudah tak berpikir dengan sedikit lurus.
Bahkan hal ini pun berlanjut pada penerimaan imam baru dari Watoone, yang menurut pastor paroki Witihama, imam baru harus menghadap dan lapor dulu kepadanya sebelum bertemu keluarganya di Watoone.Sebenarnya apa yang telah dilakukan pastor ini dalam perjalanan seorang imam baru dari Desa Watoone, sampai menuntut "bayaran" sedemikian besar? Pelajaran macam apakah yang diterima pastor ini di seminari yang konon sangat terkenal membina orang ,memilih orang, bahkan melantik orang jadi wakil Kristus di atas dunia ini? Kalau seperti ini tabiat pastor, aku jadi ragu, apakah benar semua pastor adalah wakil Kristus. Sebab pelajaran yang saya peroleh dari Kitab Suci yang sama-sama kita pedomani, tak seperti ini. Terima kasih dan maaf.....Selagalas, 31 Oktober 2011.
Pastor paroki Witihama ketika itu, secara khusus datang ke Desa Watoone meminta persetujuan tetua kampung di Watoone, agar berkenan merestui berdirinya kapela itu. Al hasil, kapela itu berdiri. Dan setiap waktu, apalagi kalau ada upacara keagamaan yang besar, baik misa maupun doa Rosario, kapela itu pasti penuh bahkan melimpah keluar. Maklumlah, orang Watoone, 100 persen menganut Agama Katolik.
Tidak hanya kapela Watoone, paroki Witihama yang begitu besar pun kalau orang Watoone datang misa, maka gereja akan penuh melimpah hingga ke halaman. Tapi jika orang Watoone tak datang misa, maka gereja cenderung sepi.
Belakangan ada masalah pelik yang mengganjal. Ada pastor yang tabiatnya kurang sejalan dengan orang Watoone yang sebenarnya keras namun sangat taat beragama itu. Al hasil, gereja pun jadi sepi karena orang Watoone pada umumnya mulai jarang misa di paroki.
Bahkan tak hanya paroki, kapela yang dibangun di tengah kampung pun mulai sepi pengunjung. Umat mulai ogah-ogahan karena dibuat liar oleh pastor yang sok suci. Sebegitu sepinya kapela sampai-sampai tak ada yang mengamati, jika atap, maupun pintu kapela mulai lapuk termakan usia.
Syukurlah, altar maupun patung2 terbuat dari kayu yang kelasnya lain (Lebih bagus) sehingga tak gampang rusak. Selain itu, letaknya yang di dalam sehingga jarang kena sinar matahari maupun hujan, membuat benda-benda kudus itu pun masih sangat awet.
Namun bagaimana dengan atap kapela? Begitu juga dengan dinding yang terbuat dari batu bata yang mulai dimakan bubuk? Ini perlu renovasi sebelum kapela akhirnya benar-benar roboh.
Rencana pun dibuat secara cermat untuk membangun kembali kapela, tak hanya sekadar renovasi, karena dinding maupun atap yang lapuk butuh perbaikan total.
Sejauh itu, tak ada sedikit pun perhatian dari Paroki Witihama selaku induk. Pastornya diam, dan umat se paroki pun diam. Sementara warga Desa Watoone dengan sekuat daya yang ada mau membangun kembali kapela yang nyaris roboh itu.
Meski tanpa rencana yang cukup matang namun karena adanya keinginan yang kuat untuk membangun kembali kapela maka dinding kapela itu pun dirobohkan untuk dibangun baru. Setelah dirobohkan, warga Desa Watoone, mulai berpikir kira-kira dari sumber dana manakah kapela itu dapat dibangun kembali.
Sejauh itu, Paroki Witihama tak ada suara.
Akhirnya syukur kepada Tuhan, karena ada salah seorang putra Watoone yang ketika itu menjabat Wakil Gubernur NTT, Frans Lebu Raya (sekarang Gubernur NTT). Dengan uang dari kantong sendiri, putra Watoone ini menyumbang untuk pembangunan kapela.
Maka bahan-bahan pembangunan pun diadakan, dan pembangunan pun dimulai. Sayangnya, tantangan pembangunan kapela ini tak hanya sampai di sini. Di tengah jalan, pembangunan mangkrak karena orang yang diserahi tanggung jawab untuk pengadaan bahan, ternyata hanya bisa menghabiskan uang sementara bahan bangunan tak ada. Ditambah lagi dengan tidak adanya pertanggungjawaban yang jelas.
Untuk beberapa waktu, kapela Watoone, hanya berdiri dengan dinding tanpa atap bahkan rumput liar pun mulai tumbuh mengepungnya. Sampai di sini, Paroki Witihama masih juga membisu.
Setelah terpilih jadi Gubernur NTT, Pak Frans Lebu sungguh prihatin melihat kapela yang begitu lama tak juga selesai dibangun.
Daripada terus ditunda, Pak Frans akhirnya memberikan sumbangan uang maupun tenaga manusia langsung dari luar daerah untuk mengerjakan dan menyelesaikan pembangunan kapela ini. Tukang-tukang beserta peralatan langsung didatangkan dari luar.
Pertimbangannya jelas, bukan karena tukang di kampung tak mampu, melainkan pekerjaan tukang di kampung banyak sekali halangannya. Jika ada ini dan itu, halangan ini dan itu, maka pekerjaan pun terus tertunda dan tak selesai-selesai.
Akhirnya terbetik khabar, bahwa ada sejumlah uang yang diberikan untuk pembangunan kapela yang dikelola desa. Sampai di sini, pihak Paroki Witihama yang selama ini diam membisu tiba-tiba membuka mulut tanpa malu-malu menyatakan, bahwa semestinya pembangunan Kapela Watoone harus atas sepengetahuan paroki.
Bahkan tanpa rasa mau mencoba meminta pertanggungjawaban pihak desa atas penggunaan uang untuk pembangunan kapela. Ulah paroki Witihama ini sempat membuat penduduk Watoone tertawa terbahak-bahak. Entah kemana gerangan Paroki Witihama sejak kapela itu dibongkar sampai akhirnya kini telah berdiri kembali sedemikian megah. Justru ketika mendengar bunyi uang, tiba-tiba menyalak dan ingin berperan. Aneh nian.
Sayangnya, pihak desa pun tak mau menanggapi panjang lebar, karena pihak desa merasa tak ada urusan dengan Paroki Witihama dalam hal pembangunan kapela. Selain tak ada sepeser pun sumbangan, bahkan sekadar datang melihat-lihat pembangunan pun tidak, pihak paroki juga tak pernah mau peduli selama ini. Lantas apa urusannya pihak Desa Watoone menyampaikan laporan kepada Paroki Witihama?
Sungguh menyedihkan dan teramat memalukan. Namun tampaknya pihak Paroki Witihama memang punya kekebalan khusus soal rasa malu.
Di sisi lain, pihak desa dengan tegas menyatakan, bahwa pihakdesa hanya bertanggung jawab kepada Pak Frans Lebu selaku penyandang dana. Bukan kepada Paroki Witihama yang baru bangun dari mimpi panjang. Tampaknya perlu ada sedikit investigasi, mengapa kondisi Gereja Katolik Witihama beserta perangkatnya sedemikian parah. Tampaknya orang yang ada di dalamnya sudah tak berpikir dengan sedikit lurus.
Bahkan hal ini pun berlanjut pada penerimaan imam baru dari Watoone, yang menurut pastor paroki Witihama, imam baru harus menghadap dan lapor dulu kepadanya sebelum bertemu keluarganya di Watoone.Sebenarnya apa yang telah dilakukan pastor ini dalam perjalanan seorang imam baru dari Desa Watoone, sampai menuntut "bayaran" sedemikian besar? Pelajaran macam apakah yang diterima pastor ini di seminari yang konon sangat terkenal membina orang ,memilih orang, bahkan melantik orang jadi wakil Kristus di atas dunia ini? Kalau seperti ini tabiat pastor, aku jadi ragu, apakah benar semua pastor adalah wakil Kristus. Sebab pelajaran yang saya peroleh dari Kitab Suci yang sama-sama kita pedomani, tak seperti ini. Terima kasih dan maaf.....Selagalas, 31 Oktober 2011.
Minggu, 30 Oktober 2011
KOMODO
Manusia termasuk manusia di negeri ini, begitu banyak menghabiskan waktunya untuk memperoleh pengakuan orang lain. Bila perlu untuk mendapatkan pengakuan, ada orang yang siap mengeluarkan banyak biaya. Tak peduli, apakah pada akhirnya akan diakui atau tidak, yang penting habis-habisan dulu berjuang dengan segala daya upaya.Begitu pentingkah pengakuan itu?
Akhir-akhir ini, kampanye digalakan kepada seluruh masyarakat Indonesia agar mendukung Komodo untuk ditetapkan menjadi salah satu keajaiban dunia. Rupanya tak hanya kemampuan, pengakuan, atau pendidikan saja yang dibeli. Manusia bahkan mau membeli keajaiban. Jadi, jika ternyata sebuah badan dunia itu tak mengakui lantaran kurangnya dukungan SMS, maka Komodo menjadi tidak ajaib.
Tapi jika SMS memenuhi syarat, maka ajaiblah Komodo. Apa sebenarnya yang sedang dilakukan para kapitalis ini? Komodo itu sudah ada sejak ratusan bahkan jutaan tahun lalu. Dan nyata bahwa Komodo itu kini hanya ada di Pulau Komodo dan beberapa pulau kecil lainnya di Manggarai Barat, Flores, NTT, Indonesia.
Terima atau tidak, di seantero jagad raya ini, Komodo hanya bisa djumpai di Pulau Komodo, NTT. Tak ada tempat lain manapun di duniia ini yang ada komodonya. Mau diakui atau tidak, komodo tetap ada.
Yang terjadi, justru sederetan lelucon yang tampak di depan mata. Iklan TV, koran, internet, dan kampanye-kampanye agar Komodo diakui sebagai keajaiban dunia. Bahkan bila perlu dengan mengeluarkan biaya besar demi menyandang predikat itu.
Sebagai orang NTT, khususnya Pulau Flores, kita patut patut bersyukur kepada TUHAN SEMESTA ALAM bahwa alam yang indah ini menjadi tempat yang cocok bagi reptil raksasa ini untuk berkembang biak. Syukur pula bahwa hanya di Pulau Komodo lah reptil ini bisa hidup dan tak bisa dikembangbiakan di tempat lain.
Tak seperti tambang Free Port, Irian Jaya atau Batu Hijau, Sumbawa, NTB yang isinya bisa dikeruk dan dibawa ke tempat lain sesuka hati.
Jika saja Komodo ini bisa dibawa dan dikembangbiakan di tempat lain, kemungkinan besar yang tersisa di Pulau Komdo hanya rumput kering dan batu padas. Lantas sekarang, kita semua beramai-ramai meminta sebuah badan dunia untuk mendapatkan pengakuan sebagai keajaiban dunia.
Apakah hal itu begitu penting? Begitu pentingkah pengakuan itu? Pikiran sederhana saya sendiri, di tengah zaman global ini, asal promosi bisa jalan dengan baik, maka wisatawan mancanegara dari ujung dunia manapun akan berdatangan menyaksikannya, tanpa harus ada pengakuan dari badan dunia yang banyak persyaratannya itu.
Mungkin lebih tepat, jika yang menyatakan ajaib atau tidak itu yakni para wisatawan yang berkunjung ke sana, karena merekalah yang menjadi saksi langsung tentang keajaiban dunia yang tersisa. Tak harus mengumpulkan sejumlah sms. Siapkah yang akan diuntungkan dengan sms ini? Atau akan lebih baik jika dana yang ada dipakai utk promosi keliling dunia. Bahkan itu pun belum tentu habis pula.
Ini namanya memberi makan orang kaya. Apakah ada kerja sama para bedebah ini dengan masyarakat Pualu Komodo yang selama ini selalu menjaga dan memelihara sisa-sisa Komodo? Bahkan jika ada sekalipun patut dipertanyakan seperti apa.
Singkatnya, diakui atau tidak, keajaiban tetaplah keajaiban.Jadi hemat saya, tak perlulah gusar dengan hasil voting itu. Mengapa negara yang begini besar tidak PD sama sekali dengan kekayaannya yang tak ada duanya di muka bumi ini? Dengan cara bagaimana lagi agar negeri ini bisa sadar bahwa kekayaannya ini tak sanggup dibeli dengan apapun, apalagi sekadar mendapatkan pengakuan keajaiban seharga pulsa?
Bangkitlah negeriku. Engkau tak serendah itu...Kekayaanmu bahkan membuat seluruh dunia ini seakan menjadi sinting dan mencari jalan bagaimana caranya agar bisa menumpang pada keajaiban alam, flora maupun fauna. Untuk sementara sekian dulu.....Selagalas, 31 Oktober 2011
Imam Baru
Untuk menjadi seorang pastor, seseorang harus sekolah di seminari, setelah sebelumnya tentu saja harus meliwati jenjang pendidikan yang hampir sama dengan jenjang pendidikan yang pada umunya seperti TK, SD, SMP, maupun SMA. Namun khusus bagi sekolah yang satu ini, jika bukan sekolah langsung di lembaga pendidikan yang bersangkutan maka perlu meliwati suatu tahapan yang disebut persiapan bawah untuk tingkat SMP dan persiapan atas untuk tingkat SMA.
Yang sekolah di tempat ini memang patut diakui memiliki kualitas lain dari lain, selain kelebihan khusus dalam pelajaran bahasa asing yang sungguh fasih. Bagi siswa tamatan seminari, meskipun tak sampai menjadi pastor, tetap saja menghasilkan orang-orang yang memiliki kemampuan lebih. Itu tak dapat dipungkiri.
Untuk semua hal itu, secara pribadi yang bersangkutan yang bersekolah di lembaga pendidikan ini pun harus berjuang keras. Menjadi pastor tak hanya sekadar pintar secara lahiriah melulu. Bahkan jika kita kembali ke konteks iman, maka menjadi pastor adalah panggilan semata.
Meski sehebat apapun juga, kalau yang namanya panggilan tak ada maka ada saja aral yang mengganjal di tengah jalan, sampai akhirnya gagal meraih jubah panjang. Tak sedikit anak muda yang sebelumnya memendam semangat berapi-api dalam dada sedemikian kecewa setelah mendapati kenyataan bahwa dirinya memang tak ada panggilan.
Akhirnya harus gugur di tengah jalan dan terpaksa melanjutkan sekolah di SMA atau SMP tertentu atau kuliah di universitas tertentu jika memang sudah mencapai tingkatan kuliah.
Ada juga yang karena berkat panggilan akhirnya loloslah sampai tahap akhir dan bersiap untuk ditahbiskan menjadi imam, yang sebelumnya meliwati beberapa tahapan seperti frater, diakon, dan lain sebagainya.
Menjadi pastor dengan hidup selibat, sungguh suatu pilihan yang begitu sulit bahkan tak rasional bagi banyak orang. Namun siapakah yang dapat merasionalkan iman? Dapatkah ada formula yang menjelaskan, bagaimana manusia bersujud di depan patung? Demikianlah pilihan yang sulit itu dapat dilakukan banyak orang.
Ini belum lagi ditambah dengan konsekuensi selanjutnya atas pilihan itu. Seorang pastor atau imam, harus bersedia ditempatkan di mana saja di seluruh dunia di mana pun karya misi itu ada. Imam baru yang telah lama meninggalkan keluarga itu, hanya datang sekadar pamitan untuk berkarya di suatu tempat yang dia sendiri tak tahu di mana, dan entah kapan akan bertemu lagi dengan keluarga.
Sebuah pengorbanan yang sekali lagi boleh dikatakan tak masuk akal.
Kemudian dengan penjelasan singkat mengenai perjalanan yang panjang menjadi seorang imam ini, sampailah saya pada peristiwa imam baru di kampung halamanku, Desa Watoone.
Ada seorang imam baru di kampungku. Dia ditahbiskan di Manatuto, Timor-Timur. Setelah ditahbiskan, dia ingin pulang kampung untuk bertemu keluarga maupun sanak kerabat yang lain di kampungnya yang ditinggalkannya berbilang tahun guna meraih imamat.
Kepulangannya yang sungguh sederhana ini justru menjadi masalah besar di kampung halaman, seakan-akan masalah itu lebih besar dari pilihan seseorang menjadi pastor dan hidup selibat. Pastor muda ini tertahan langkahnya begitu lama untuk bertemu keluarga, hanya karena ngototnya pastor paroki tempat kami berada agar sang imam muda ini harus kembali dan "menyembah" dia dulu di paroki sebelum bertemu keluarga.
Kontan saja kemauan pastor paroki ini membuat keluarga imam baru dan orang sekampung imam muda ini meradang. Mereka ingin agar pastor muda ini kembali sebentar ke keluarga sebelum menghadap pastor paroki yang ngotot itu.
Masalah ini ternyata makin tak sederhana, karena masing-masing pihak baik keluarga dan orang sekampung imam baru maupun pastor paroki yang tak mau mengalah. Di sisi lain, imam baru ingin agar pulang terlebih dahulu ke rumah dan kampungnya sebelum ke paroki.
Masalah yang sungguh kecil dan sederhana ini membuat segala persiapan penyambutan yang dilakukan panitia penyambutan di kampung halaman sang imam muda menjadi berantakan. Entah mengapa seorang pastor paroki yang telah menempuh pendidikan panjang menjadi pastor dan hidup selibat dalam kurun waktu yang sudah cukup lama ternyata belum dapat mencapai pelajaran bagaimana caranya mengalah.
Sungguh menjadi suatu petaka, bahwa seorang pastor yang belajar tinggi dan paham banyak ayat Kitab Suci ternyata belum bisa mengatasi kemauan pribadi dengan kemauan banyak orang.
Secara pribadi saya jadi heran, sebenarnya seberapa besar pengorbanan paroki (material) sampai imam baru ini dapat ditahbiskan? Atau seberapa banyak doa yang dipanjatkan (pengorbanan spiritual) sampai imam baru ini akhirnya bisa ditahbiskan yang telah dilakukan pihak pastoral paroki?
Setahu saya, untuk mendukung anaknya menjadi seorang pastor, anggota keluarga yang sederhana ini bahkan bersedia menjadi buruh TKI di Malaysia. Bahkan itu pun masih kurang sehingga ada pihak lain yang bersedia menjadi donatur.
Aku begitu sedih melihat keluarga imam baru yang begitu sederhana yang menjadi tetangga saya. Mereka dengan keberadaan mereka yang penuh keterbatasan seakan-akan menutup mata atas ketidakberdayaan mereka dengan menyekolahkan anaknya sampai menjadi seorang pastor.
Tampaknya iblis begitu murka melihat kaum kecil ini begitu taat kepada Pemilik Kehidupan ini. Sampai-sampai segala perjuangan mereka yang tak kenal lelah itu pun masih tetap dianggap kurang, dan mereka pun harus menanggung perkara baru yang semestinya tak harus mereka tanggung.
Pastor muda ini pun terpaksa masih tertahan di Timor Leste, menunggu kepastian kapan akan bisa bertemu keluarga dan kerabat di kampung halamannya sekaligus memandang wajah pastor yang ngotot itu.
Sampai di sini aku bertanya, sampai kapankah hal ini akan berakhir, meski aku tahu juga bahwa cepat atau lambat, toh semuanya akan berakhir juga.
Mudah-mudahan kita semakin sadar bahwa bertambahnya pekerja di ladang Tuhan, akan membuat panenan tambah melimpah, bukannya membuat umat menjadi bertambah liar dan tak terkendali. Gembala yang baik semestinya mendengar suara umatnya, bukannya malah mencekik umat dengan berbagai persoalan yang sebenarnya tak perlu atau berlaku ngotot dan mau menang sendiri.
Gembala yang baik semestinya menghantar umat ke padang rumput yang hijau dan mata air yang jernih, bukan sebaliknya malah menyulap padang rumput yang hijau dan mata air yang jernih menjadi gurun. Semoga......Selagalas, 30 Oktober. ....
Jumat, 28 Oktober 2011
Isu, kadang mirip wabah penyakit. Orang yang tak tahu apapun juga kadang dituding menjadi provokator. Orang yang tenang tidur di rumahnya, kadang terusik karena isu, kemudian karena ketulusan hatinya untuk memikirkan saudaranya, atau keluarganya yang senasib dengannya, maka tanpa dapat dibendung lagi, isu yang diterima pun di-forward ke kalangan keluarga. Kemudian, keresahan pun kian bertambah dan makin tak terkendali.
Kemudian di ujung jalan yang gelap ini kita bertanya, sebenarnya siapa yang menjadi biang kerok keresahan ini? Para penegak hukum, yang dilengkapi dengan perangkat intelijen yang konon belajar hingga keluar negeri dengan anggaran negara, konon tak sanggup pula mengungkap siapa sebenarnya penyebar isu. Padahal ini hanyalah permainan barang elektronik yang sudah tentu tak mungkin tak bisa dilacak, kecuali kalau bagian cyber criminal di kepolisian ternyata sedemikian bodohnya.
Kemudian, ketidaktahuan akan biang kerok, membuat keresahan semakin bertambah-tambah, bahkan ada yang terpaksa sampai menangis-nangis dan menelepon polisi agar bersedia datang dan memberikan penanganan alias pengamanan khusus.
Jangan lupa, masyarakat ini akhirnya merasa nyaman dengan adanya aparat yang memberikan pengamanan secara khusus. Ini tentu hanya dapat dilakukan orang berduit, yang punya toko, punya barang dagangan, singkatnya pebisnis yang tak rela hasil usahanya akan habis dijarah sesuai bunyi SMS maupun selebaran yang beredar.
Di sisi lain, kita bertanya, bagaimana nasib masyarakat yang tak punya apa-apa? Bolehkah masyarakat menelepon polisi dan meminta pengamanan khusus seperti yang dilakukan para pedagang yang paling tidak berduit itu?
Satu lagi, apakah hak rasa aman dan nyaman hanya milik orang berduit, sama seperti pendidikan dan kesehatan di zaman ini? Lantas bagaimana dengan kaum kecil yang sudah minor, ditambah lagi dengan tak punya modal untuk meminta pengamanan khusus, meskipun ketakutan telah melandanya akibat isu yang beredar?
Satu lagi, sebenarnya aparat keamanan ini melindungi rakyat atau rakyat tertentu saja yang barangkali memberikan tambahan penghasilan....?
Mari kita jawab ini bersama-sama dan berupaya memperbaiki keadaan, karena hal ini tampaknya sedang berlangsung di tengah sebuah negara yang besar, merdeka, dan berdaulat...namun sebagian rakyatnya hidup dalam himpitan ketakutan karena tak punya cukup ongkos utk bayar tenaga pengamanan khusus....Semoga situasi lekas berubah menjadi lebih baik.....
Kemudian di ujung jalan yang gelap ini kita bertanya, sebenarnya siapa yang menjadi biang kerok keresahan ini? Para penegak hukum, yang dilengkapi dengan perangkat intelijen yang konon belajar hingga keluar negeri dengan anggaran negara, konon tak sanggup pula mengungkap siapa sebenarnya penyebar isu. Padahal ini hanyalah permainan barang elektronik yang sudah tentu tak mungkin tak bisa dilacak, kecuali kalau bagian cyber criminal di kepolisian ternyata sedemikian bodohnya.
Kemudian, ketidaktahuan akan biang kerok, membuat keresahan semakin bertambah-tambah, bahkan ada yang terpaksa sampai menangis-nangis dan menelepon polisi agar bersedia datang dan memberikan penanganan alias pengamanan khusus.
Jangan lupa, masyarakat ini akhirnya merasa nyaman dengan adanya aparat yang memberikan pengamanan secara khusus. Ini tentu hanya dapat dilakukan orang berduit, yang punya toko, punya barang dagangan, singkatnya pebisnis yang tak rela hasil usahanya akan habis dijarah sesuai bunyi SMS maupun selebaran yang beredar.
Di sisi lain, kita bertanya, bagaimana nasib masyarakat yang tak punya apa-apa? Bolehkah masyarakat menelepon polisi dan meminta pengamanan khusus seperti yang dilakukan para pedagang yang paling tidak berduit itu?
Satu lagi, apakah hak rasa aman dan nyaman hanya milik orang berduit, sama seperti pendidikan dan kesehatan di zaman ini? Lantas bagaimana dengan kaum kecil yang sudah minor, ditambah lagi dengan tak punya modal untuk meminta pengamanan khusus, meskipun ketakutan telah melandanya akibat isu yang beredar?
Satu lagi, sebenarnya aparat keamanan ini melindungi rakyat atau rakyat tertentu saja yang barangkali memberikan tambahan penghasilan....?
Mari kita jawab ini bersama-sama dan berupaya memperbaiki keadaan, karena hal ini tampaknya sedang berlangsung di tengah sebuah negara yang besar, merdeka, dan berdaulat...namun sebagian rakyatnya hidup dalam himpitan ketakutan karena tak punya cukup ongkos utk bayar tenaga pengamanan khusus....Semoga situasi lekas berubah menjadi lebih baik.....
Kamis, 27 Oktober 2011
Nu u Mara yang Mengganas Lagi...
Kampungku terhenyak dengan begitu banyaknya malapetaka yang datang menimpa. Jauh sebelum ini, ada wabah rabies. Dalam waktu sekian lama, orang di kampung halamanku berjuang melawan maut dengan caranya sendiri.
Bertahun bahkan belasan tahun kemudian, baru pemerintah dari antah berantah mulai memikirkan utk berbela rasa meneliti otak anjing yang mengandung rabies. Ketika itu korban telah berjatuhan. Utk urusan korban rabies ini, masyarakatku yang miskin di kampung halaman itu harus membayar sangat mahal.
Mahal yang kumaksudkan tentu saja bukan mahal menurut ukuran orang berduit yang doyan rampok uang rakyat. Bagi kalangan kaya raya, uang itu mungkin tak ada apa-apanya. Tapi bagi masyarakat di kampungku yang hidupnya hanya mengandalkan ubi kayu musiman atau kopra yang harganya sangat miring, maka untuk memperoleh uang Rp 10 ribu saja, puluhan kali mereka bolak-balik ke kebun.
Dan sekarang, ayam mulai terdengar jarang berkokok sebagaimana sebelumnya. Flu burung menyerang kawasan ini. Jangan harap pemerintah segera bertindak, sebab mereka sedang sibuk berbagi proyek. Urusan rakyat yang kalang kabut karena flu burung, urusan nanti. Sementara ayam berguguran dari pohon seperti daun kering di musim kemarau.
Kesedihan terdengar dari suara yang menggema di balik HP yang mulai kehabisan pulsa. Sementara kepada siapa mereka harus mengadukan persoalan yang mereka hadapi.
Bukan baru kali ini mereka menghadapi masalah yang begitu berat, bahkan tidak sekali dua kali tak hanya hewan piaraan tapi nyawa mereka pun ikut jadi permainan di ujung tanduk.
Sekarang, setelah ayam jarang terdengar berkokok, orang memasang telinga dengan hati yang cemas, kapan flu burung akan berlalu. Tempaan kehidupan yang keras membuat mereka pantang mengeluh, walaupun itu sebenarnya hak mereka sebagai warga negara yang semestinya mendapatkan perhatian yang sama dengan rakyat lainnya di negeri yang merdeka, berdaulat, dan konon adil dan makmur ini.
Tangis mereka seakan tenggelam. Mereka tak mengeluh lagi, mereka hanya bisa merenung dan bertanya kepada alam yang akrab dengan mereka, mengapa hal ini bisa terjadi di kampung halaman yang sangat mereka cinta. Dengan segala kepedihan hati, mereka mempersembahkan segala kerisauan hati mereka kepada PEMILIK KEHIDUPAN. Karena di tengah keberadaan mereka yang penuh keterbatasan, mereka masih percaya, bahwa TUHAN memang ada di atas segala sesuatu. Tampaknya memang sulit, tapi segala sesuatu bukan tanpa akhir.
Akhirnya, di balik segala kepenatan yang mengganjal, mereka tak lupa pula akan warisan para leluhur yang mengajari mereka untuk bersahabat dengan alam. Mungkin, sekali lagi mungkin, segala sesuatu yang menimpa ada hubungannya dengan perlakuan manusia yang kejam yang melebihi ambang batas kekejaman terhadap alam yang selalu akrab dan damai dengan mereka selama ini.
Kepolosan hati mereka mengajarkan dan menggerakan hati mereka untuk terus bertanya dan berpasrah diri, bahwa jika semua ini kehendak Dia, maka Dia pulalah yang akan mengantarkan menuju kehidupan yang jauh lebih baik, beradab dan berbudi, saling mengasihi.....Semoga...Selagalas, 27 Oktober,,2011
Kampungku terhenyak dengan begitu banyaknya malapetaka yang datang menimpa. Jauh sebelum ini, ada wabah rabies. Dalam waktu sekian lama, orang di kampung halamanku berjuang melawan maut dengan caranya sendiri.
Bertahun bahkan belasan tahun kemudian, baru pemerintah dari antah berantah mulai memikirkan utk berbela rasa meneliti otak anjing yang mengandung rabies. Ketika itu korban telah berjatuhan. Utk urusan korban rabies ini, masyarakatku yang miskin di kampung halaman itu harus membayar sangat mahal.
Mahal yang kumaksudkan tentu saja bukan mahal menurut ukuran orang berduit yang doyan rampok uang rakyat. Bagi kalangan kaya raya, uang itu mungkin tak ada apa-apanya. Tapi bagi masyarakat di kampungku yang hidupnya hanya mengandalkan ubi kayu musiman atau kopra yang harganya sangat miring, maka untuk memperoleh uang Rp 10 ribu saja, puluhan kali mereka bolak-balik ke kebun.
Dan sekarang, ayam mulai terdengar jarang berkokok sebagaimana sebelumnya. Flu burung menyerang kawasan ini. Jangan harap pemerintah segera bertindak, sebab mereka sedang sibuk berbagi proyek. Urusan rakyat yang kalang kabut karena flu burung, urusan nanti. Sementara ayam berguguran dari pohon seperti daun kering di musim kemarau.
Kesedihan terdengar dari suara yang menggema di balik HP yang mulai kehabisan pulsa. Sementara kepada siapa mereka harus mengadukan persoalan yang mereka hadapi.
Bukan baru kali ini mereka menghadapi masalah yang begitu berat, bahkan tidak sekali dua kali tak hanya hewan piaraan tapi nyawa mereka pun ikut jadi permainan di ujung tanduk.
Sekarang, setelah ayam jarang terdengar berkokok, orang memasang telinga dengan hati yang cemas, kapan flu burung akan berlalu. Tempaan kehidupan yang keras membuat mereka pantang mengeluh, walaupun itu sebenarnya hak mereka sebagai warga negara yang semestinya mendapatkan perhatian yang sama dengan rakyat lainnya di negeri yang merdeka, berdaulat, dan konon adil dan makmur ini.
Tangis mereka seakan tenggelam. Mereka tak mengeluh lagi, mereka hanya bisa merenung dan bertanya kepada alam yang akrab dengan mereka, mengapa hal ini bisa terjadi di kampung halaman yang sangat mereka cinta. Dengan segala kepedihan hati, mereka mempersembahkan segala kerisauan hati mereka kepada PEMILIK KEHIDUPAN. Karena di tengah keberadaan mereka yang penuh keterbatasan, mereka masih percaya, bahwa TUHAN memang ada di atas segala sesuatu. Tampaknya memang sulit, tapi segala sesuatu bukan tanpa akhir.
Akhirnya, di balik segala kepenatan yang mengganjal, mereka tak lupa pula akan warisan para leluhur yang mengajari mereka untuk bersahabat dengan alam. Mungkin, sekali lagi mungkin, segala sesuatu yang menimpa ada hubungannya dengan perlakuan manusia yang kejam yang melebihi ambang batas kekejaman terhadap alam yang selalu akrab dan damai dengan mereka selama ini.
Kepolosan hati mereka mengajarkan dan menggerakan hati mereka untuk terus bertanya dan berpasrah diri, bahwa jika semua ini kehendak Dia, maka Dia pulalah yang akan mengantarkan menuju kehidupan yang jauh lebih baik, beradab dan berbudi, saling mengasihi.....Semoga...Selagalas, 27 Oktober,,2011
Langganan:
Postingan (Atom)