Total Tayangan Halaman

Senin, 31 Oktober 2011

Menangani Malapetaka




Barangkali benar, bahwa kami memang orang primitiv. Karena itu cara penanganan yang kami lakukan terhadap berbagai malapetaka pun sungguh berbeda dengan cara penanganan yang dilakukan orang modern yang sudah tentu lebih jauh maju perkembangannya.
Ketika terjadi malapetaka di daerah lain, entah itu wabah penyakit atau bencana-bencana lain, orang berteriak keras kepada pemerintah agar segera membantu. Segera datangkan tenaga medis atau pasukan SAR atau siaga bencana, dan lain-lain.
Ini sungguh berbeda dengan daerah saya yang nun jauh di sana, di kaki Gunung Boleng (Ile Boleng), Desa Watoone, Adonara, Flores Timur.Ketika datang malapetaka atau bencana, jarang ada orang yang berteriak kepada pemerintah.
Ada beberapa kemungkinan yang melatarbelakangi, mengapa masyarakat tak berteriak kepada pemerintah. Pertama, karena masyarakat sudah terbiasa menghadapi hal seperti ini sendiri tanpa minta bantuan pemerintah, atau suara masyarakat yang sayup nun jauh di kaki bukit, tak sanggup terdengar hingga ke takhta pemerintah yang tampaknya terlampau sibuk mengurus hal-hal lain ketimbang mengurus malapetaka yang menimpa warga.
Apalagi, mengurus malapetaka yang menimpa warga hanya membuat lelah saja.Belum lagi ditambah dengan pusat pemerintahan yang ada di seberang laut, membuat teriakan itu kian sayup terdengar. 

Mungkin begitu. Tak usah bicara dulu soal flu burung yang akhir-akhir ini mewabah di Adonara. Bahkan rabies yang menggila beberapa tahun bahkan belasan tahun lalu di daerah ini pun sampai sekarang belum ditangani hingga tuntas.
Itu soal rabies. apalagi soal malapetaka lain yang menimpa warga. Misalnya, sekumpulan anjing yang melahap habis hewan sekandang yang bagi orang setempat menyebutnya Aho Berongoten.
Anjing jenis ini masih menjadi misteri hingga kini.
Tak hanya binatang, bahkan manusia yang mencoba menghalanginya melahap binatang, bisa ikut mau dimakannya. Memang sejauh ini belum terdengar ada Aho Berongoten yang makan manusia. Namun demikian, hal itu bukan tak mungkin. Lihatlah, bagaimana kuda dan babi pun kadang dimakan anjng jenis ini. 
Yang mengherankan, anjing jenis ini munculnya serba misterius, begitu juga menghilangnya. Mereka datang berkelompok, menyerbu kandang  yang penuh dengan kambing atau domba, setelah itu tak berapa lama, kandang itu menjadi sangat sepi, karena semuanya telah dilahap habis.
Ada yang hanaya digigit sedikit saja dan ditinggalkan, namun kambing maupun domba itu mati total, sehingga tak bisa diapa-apakan. Lebih aneh lagi, pengalaman orang yang memakan kambing atau domba hasil gigitan anjing ini, mengaku kambing atau domba itu memiliki rasa tak seperti kambing atau domba pada umumnya. Rasanya terlampau hambar, sampai orang tak mau memakannya.
Sejauh itu, masyarakat kebanyakan pasrah, apalagi pemerntah. Jika dilihat-lihat, kantor pemerintah yang dihuni orang sekolah tinggi itu tampaknya jauh lebih bego dalam menyelesaikan masalah ketimbang orang kampung yang menghadapi masalah ini dengan kesahajaannya.
Jika dalam waktu cukup lama, dan anjing-anjing ini tetap saja beraksi, maka upacara kampung pun diadakan. Bagaimana prosesinya, tentulah hanya pemiliknya yang tahu. Namun fakta menunjukan, bahwa setelah adanya prosesi adat itu, anjing ini tak mengganggu lagi sampai tiba waktunya kapan-kapan.
Begitu juga dengan ayam, yang kini perkembangan teknologi penelitian menyatakan terserang wabah flu burung sehingga semuanya berguguran dari pohon-pohon seperti daun kering.
Masyarakat bukannya tak mau tahu soal itu. Namun sampai kapankah mengharapkan tenaga kesehatan hewan nongol di kampung sana untuk menyelamatkan ayam yang tersisa dari wabah ini? Fakta menunjukan bahwa petugas kesehatan baru nongol setelah ayam yang ada hanya tersisa 1 atau 2 ekor.
Mengharapkan pemerintah turun tangan dalam kasus seperti ini ibarat pungguk merindukan bulan.
Masyarakat adat pun kembali menggelar ritual dengan harapan, wabah serupa segera menjauh dari kampung halaman, namun apakah hal itu bisa menjamin, siapakah yang tahu? Dan terlebih lagi, siapakah yang peduli?
Di tengah segala kepasrahan yang kian tak menentu itu, datanglah petugas pajak mendata harta masyarakat yang makin sekarat karena panen pun gagal lantaran musim yang tak tentu.
Jangankan panen, tanam pun gagal, karena hujan yang turun tak menentu. Bibit yang tersimpan sejak musim lalu pun terancam akan "hangus", jika hujan tak kunjung turun.
Di tahun sebelumnya, kasus serupa terjadi. Bibit yang tersimpan hampir habis, karena gagal tanam. Setelah tanam, hujan tak turun, hujan turun setelah bibit hangus dibakar matahari. Dengan apakah kita harus mengumpamakan penderitaan macam ini?
Sekarang, di musim ini, petani kembali menanam sisa bibit musim lalu. Harapannya, hujan akan turun dengan baik, dan jagung yang tersisa pun bisa tumbuh, sampai berbunga dan berbuah. Namun kabar duka belum juga habis dari kampung.
Setelah hujan lebat semalaman mengguyur kampung dan para petani bersemangat menanam jagung di ladang, tiba-tiba dalam sepekan terakhir, hujan belum juga turun. Kalau begini terus, mau ambil darimana lagi bibit jagung untuk ditanam?
Di balik ketenangan wajah mereka dalam menjalani hidup, ternyata beribu misteri derita dalam dada mereka siap meledak sewaktu-waktu. Alam seakan tak bersahabat lagi. Tak hanya tumbuhan tapi juga hewan. Apakah gerangan dengan semua kejadian yang memilukan ini?
Mengharap pemerintah? Tampaknya pemerintah terlampau sibuk mengurus kedudukan. Mengurus suksesi berikut, mengurus keluarga dan kerabatnya. Tak sempat mengurus warga yang begitu banyak, yang datang demgan keluhan yang sama saja.
Kemudian kita bertanya? Apakah boleh rakyat mengeluh? Apakah boleh seorang pemimpin, petinggi, alias penggede, turun sebentar dari takhtanya untuk melihat sekilas nasib masyaraakat yang tak menentu ini?
Kini yang tersisa, masyarakat hanya andalkan singkong. Itu pun hanya dimiliki petani tertentu di kebun tertentu yang pada musim lalu, masih terpelihara dan belum sempat dicabut untuk makanan kambing atau babi.
Jika menunggu masyarakat berteriak, tampaknya masyarakat sudah tak kuat lagi. Dan jika pemimpin masih terus juga menunda langkahnya, maka datanglah kembali sewaktu-waktu dengan pasukan lengkap para penggali kubur. Mungkin itulah yang paling tepat dan memuaskan.  Betapa nikmat derita hidup ini. Selagalas, 1 November 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar