Total Tayangan Halaman
Minggu, 30 Oktober 2011
Imam Baru
Untuk menjadi seorang pastor, seseorang harus sekolah di seminari, setelah sebelumnya tentu saja harus meliwati jenjang pendidikan yang hampir sama dengan jenjang pendidikan yang pada umunya seperti TK, SD, SMP, maupun SMA. Namun khusus bagi sekolah yang satu ini, jika bukan sekolah langsung di lembaga pendidikan yang bersangkutan maka perlu meliwati suatu tahapan yang disebut persiapan bawah untuk tingkat SMP dan persiapan atas untuk tingkat SMA.
Yang sekolah di tempat ini memang patut diakui memiliki kualitas lain dari lain, selain kelebihan khusus dalam pelajaran bahasa asing yang sungguh fasih. Bagi siswa tamatan seminari, meskipun tak sampai menjadi pastor, tetap saja menghasilkan orang-orang yang memiliki kemampuan lebih. Itu tak dapat dipungkiri.
Untuk semua hal itu, secara pribadi yang bersangkutan yang bersekolah di lembaga pendidikan ini pun harus berjuang keras. Menjadi pastor tak hanya sekadar pintar secara lahiriah melulu. Bahkan jika kita kembali ke konteks iman, maka menjadi pastor adalah panggilan semata.
Meski sehebat apapun juga, kalau yang namanya panggilan tak ada maka ada saja aral yang mengganjal di tengah jalan, sampai akhirnya gagal meraih jubah panjang. Tak sedikit anak muda yang sebelumnya memendam semangat berapi-api dalam dada sedemikian kecewa setelah mendapati kenyataan bahwa dirinya memang tak ada panggilan.
Akhirnya harus gugur di tengah jalan dan terpaksa melanjutkan sekolah di SMA atau SMP tertentu atau kuliah di universitas tertentu jika memang sudah mencapai tingkatan kuliah.
Ada juga yang karena berkat panggilan akhirnya loloslah sampai tahap akhir dan bersiap untuk ditahbiskan menjadi imam, yang sebelumnya meliwati beberapa tahapan seperti frater, diakon, dan lain sebagainya.
Menjadi pastor dengan hidup selibat, sungguh suatu pilihan yang begitu sulit bahkan tak rasional bagi banyak orang. Namun siapakah yang dapat merasionalkan iman? Dapatkah ada formula yang menjelaskan, bagaimana manusia bersujud di depan patung? Demikianlah pilihan yang sulit itu dapat dilakukan banyak orang.
Ini belum lagi ditambah dengan konsekuensi selanjutnya atas pilihan itu. Seorang pastor atau imam, harus bersedia ditempatkan di mana saja di seluruh dunia di mana pun karya misi itu ada. Imam baru yang telah lama meninggalkan keluarga itu, hanya datang sekadar pamitan untuk berkarya di suatu tempat yang dia sendiri tak tahu di mana, dan entah kapan akan bertemu lagi dengan keluarga.
Sebuah pengorbanan yang sekali lagi boleh dikatakan tak masuk akal.
Kemudian dengan penjelasan singkat mengenai perjalanan yang panjang menjadi seorang imam ini, sampailah saya pada peristiwa imam baru di kampung halamanku, Desa Watoone.
Ada seorang imam baru di kampungku. Dia ditahbiskan di Manatuto, Timor-Timur. Setelah ditahbiskan, dia ingin pulang kampung untuk bertemu keluarga maupun sanak kerabat yang lain di kampungnya yang ditinggalkannya berbilang tahun guna meraih imamat.
Kepulangannya yang sungguh sederhana ini justru menjadi masalah besar di kampung halaman, seakan-akan masalah itu lebih besar dari pilihan seseorang menjadi pastor dan hidup selibat. Pastor muda ini tertahan langkahnya begitu lama untuk bertemu keluarga, hanya karena ngototnya pastor paroki tempat kami berada agar sang imam muda ini harus kembali dan "menyembah" dia dulu di paroki sebelum bertemu keluarga.
Kontan saja kemauan pastor paroki ini membuat keluarga imam baru dan orang sekampung imam muda ini meradang. Mereka ingin agar pastor muda ini kembali sebentar ke keluarga sebelum menghadap pastor paroki yang ngotot itu.
Masalah ini ternyata makin tak sederhana, karena masing-masing pihak baik keluarga dan orang sekampung imam baru maupun pastor paroki yang tak mau mengalah. Di sisi lain, imam baru ingin agar pulang terlebih dahulu ke rumah dan kampungnya sebelum ke paroki.
Masalah yang sungguh kecil dan sederhana ini membuat segala persiapan penyambutan yang dilakukan panitia penyambutan di kampung halaman sang imam muda menjadi berantakan. Entah mengapa seorang pastor paroki yang telah menempuh pendidikan panjang menjadi pastor dan hidup selibat dalam kurun waktu yang sudah cukup lama ternyata belum dapat mencapai pelajaran bagaimana caranya mengalah.
Sungguh menjadi suatu petaka, bahwa seorang pastor yang belajar tinggi dan paham banyak ayat Kitab Suci ternyata belum bisa mengatasi kemauan pribadi dengan kemauan banyak orang.
Secara pribadi saya jadi heran, sebenarnya seberapa besar pengorbanan paroki (material) sampai imam baru ini dapat ditahbiskan? Atau seberapa banyak doa yang dipanjatkan (pengorbanan spiritual) sampai imam baru ini akhirnya bisa ditahbiskan yang telah dilakukan pihak pastoral paroki?
Setahu saya, untuk mendukung anaknya menjadi seorang pastor, anggota keluarga yang sederhana ini bahkan bersedia menjadi buruh TKI di Malaysia. Bahkan itu pun masih kurang sehingga ada pihak lain yang bersedia menjadi donatur.
Aku begitu sedih melihat keluarga imam baru yang begitu sederhana yang menjadi tetangga saya. Mereka dengan keberadaan mereka yang penuh keterbatasan seakan-akan menutup mata atas ketidakberdayaan mereka dengan menyekolahkan anaknya sampai menjadi seorang pastor.
Tampaknya iblis begitu murka melihat kaum kecil ini begitu taat kepada Pemilik Kehidupan ini. Sampai-sampai segala perjuangan mereka yang tak kenal lelah itu pun masih tetap dianggap kurang, dan mereka pun harus menanggung perkara baru yang semestinya tak harus mereka tanggung.
Pastor muda ini pun terpaksa masih tertahan di Timor Leste, menunggu kepastian kapan akan bisa bertemu keluarga dan kerabat di kampung halamannya sekaligus memandang wajah pastor yang ngotot itu.
Sampai di sini aku bertanya, sampai kapankah hal ini akan berakhir, meski aku tahu juga bahwa cepat atau lambat, toh semuanya akan berakhir juga.
Mudah-mudahan kita semakin sadar bahwa bertambahnya pekerja di ladang Tuhan, akan membuat panenan tambah melimpah, bukannya membuat umat menjadi bertambah liar dan tak terkendali. Gembala yang baik semestinya mendengar suara umatnya, bukannya malah mencekik umat dengan berbagai persoalan yang sebenarnya tak perlu atau berlaku ngotot dan mau menang sendiri.
Gembala yang baik semestinya menghantar umat ke padang rumput yang hijau dan mata air yang jernih, bukan sebaliknya malah menyulap padang rumput yang hijau dan mata air yang jernih menjadi gurun. Semoga......Selagalas, 30 Oktober. ....
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar