Nu u Mara yang Mengganas Lagi...
Kampungku terhenyak dengan begitu banyaknya malapetaka yang datang menimpa. Jauh sebelum ini, ada wabah rabies. Dalam waktu sekian lama, orang di kampung halamanku berjuang melawan maut dengan caranya sendiri.
Bertahun bahkan belasan tahun kemudian, baru pemerintah dari antah berantah mulai memikirkan utk berbela rasa meneliti otak anjing yang mengandung rabies. Ketika itu korban telah berjatuhan. Utk urusan korban rabies ini, masyarakatku yang miskin di kampung halaman itu harus membayar sangat mahal.
Mahal yang kumaksudkan tentu saja bukan mahal menurut ukuran orang berduit yang doyan rampok uang rakyat. Bagi kalangan kaya raya, uang itu mungkin tak ada apa-apanya. Tapi bagi masyarakat di kampungku yang hidupnya hanya mengandalkan ubi kayu musiman atau kopra yang harganya sangat miring, maka untuk memperoleh uang Rp 10 ribu saja, puluhan kali mereka bolak-balik ke kebun.
Dan sekarang, ayam mulai terdengar jarang berkokok sebagaimana sebelumnya. Flu burung menyerang kawasan ini. Jangan harap pemerintah segera bertindak, sebab mereka sedang sibuk berbagi proyek. Urusan rakyat yang kalang kabut karena flu burung, urusan nanti. Sementara ayam berguguran dari pohon seperti daun kering di musim kemarau.
Kesedihan terdengar dari suara yang menggema di balik HP yang mulai kehabisan pulsa. Sementara kepada siapa mereka harus mengadukan persoalan yang mereka hadapi.
Bukan baru kali ini mereka menghadapi masalah yang begitu berat, bahkan tidak sekali dua kali tak hanya hewan piaraan tapi nyawa mereka pun ikut jadi permainan di ujung tanduk.
Sekarang, setelah ayam jarang terdengar berkokok, orang memasang telinga dengan hati yang cemas, kapan flu burung akan berlalu. Tempaan kehidupan yang keras membuat mereka pantang mengeluh, walaupun itu sebenarnya hak mereka sebagai warga negara yang semestinya mendapatkan perhatian yang sama dengan rakyat lainnya di negeri yang merdeka, berdaulat, dan konon adil dan makmur ini.
Tangis mereka seakan tenggelam. Mereka tak mengeluh lagi, mereka hanya bisa merenung dan bertanya kepada alam yang akrab dengan mereka, mengapa hal ini bisa terjadi di kampung halaman yang sangat mereka cinta. Dengan segala kepedihan hati, mereka mempersembahkan segala kerisauan hati mereka kepada PEMILIK KEHIDUPAN. Karena di tengah keberadaan mereka yang penuh keterbatasan, mereka masih percaya, bahwa TUHAN memang ada di atas segala sesuatu. Tampaknya memang sulit, tapi segala sesuatu bukan tanpa akhir.
Akhirnya, di balik segala kepenatan yang mengganjal, mereka tak lupa pula akan warisan para leluhur yang mengajari mereka untuk bersahabat dengan alam. Mungkin, sekali lagi mungkin, segala sesuatu yang menimpa ada hubungannya dengan perlakuan manusia yang kejam yang melebihi ambang batas kekejaman terhadap alam yang selalu akrab dan damai dengan mereka selama ini.
Kepolosan hati mereka mengajarkan dan menggerakan hati mereka untuk terus bertanya dan berpasrah diri, bahwa jika semua ini kehendak Dia, maka Dia pulalah yang akan mengantarkan menuju kehidupan yang jauh lebih baik, beradab dan berbudi, saling mengasihi.....Semoga...Selagalas, 27 Oktober,,2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar