Di kampung halamanku, Desa Watoone, Kecamatan Witihama, Adonara, Flores Timur, NTT, ada sebuah kapela (tempat ibadat Umat Katolik) yang lebih kecil dari gereja (paroki). Kapela ini berdiri sejak lama atas persetujuan tetua kampung. Bahkan menurut cerita yang saya dengar, jika tanpa persetujuan tetua kampung, kapela itu tak akan bisa berdiri.
Pastor paroki Witihama ketika itu, secara khusus datang ke Desa Watoone meminta persetujuan tetua kampung di Watoone, agar berkenan merestui berdirinya kapela itu. Al hasil, kapela itu berdiri. Dan setiap waktu, apalagi kalau ada upacara keagamaan yang besar, baik misa maupun doa Rosario, kapela itu pasti penuh bahkan melimpah keluar. Maklumlah, orang Watoone, 100 persen menganut Agama Katolik.
Tidak hanya kapela Watoone, paroki Witihama yang begitu besar pun kalau orang Watoone datang misa, maka gereja akan penuh melimpah hingga ke halaman. Tapi jika orang Watoone tak datang misa, maka gereja cenderung sepi.
Belakangan ada masalah pelik yang mengganjal. Ada pastor yang tabiatnya kurang sejalan dengan orang Watoone yang sebenarnya keras namun sangat taat beragama itu. Al hasil, gereja pun jadi sepi karena orang Watoone pada umumnya mulai jarang misa di paroki.
Bahkan tak hanya paroki, kapela yang dibangun di tengah kampung pun mulai sepi pengunjung. Umat mulai ogah-ogahan karena dibuat liar oleh pastor yang sok suci. Sebegitu sepinya kapela sampai-sampai tak ada yang mengamati, jika atap, maupun pintu kapela mulai lapuk termakan usia.
Syukurlah, altar maupun patung2 terbuat dari kayu yang kelasnya lain (Lebih bagus) sehingga tak gampang rusak. Selain itu, letaknya yang di dalam sehingga jarang kena sinar matahari maupun hujan, membuat benda-benda kudus itu pun masih sangat awet.
Namun bagaimana dengan atap kapela? Begitu juga dengan dinding yang terbuat dari batu bata yang mulai dimakan bubuk? Ini perlu renovasi sebelum kapela akhirnya benar-benar roboh.
Rencana pun dibuat secara cermat untuk membangun kembali kapela, tak hanya sekadar renovasi, karena dinding maupun atap yang lapuk butuh perbaikan total.
Sejauh itu, tak ada sedikit pun perhatian dari Paroki Witihama selaku induk. Pastornya diam, dan umat se paroki pun diam. Sementara warga Desa Watoone dengan sekuat daya yang ada mau membangun kembali kapela yang nyaris roboh itu.
Meski tanpa rencana yang cukup matang namun karena adanya keinginan yang kuat untuk membangun kembali kapela maka dinding kapela itu pun dirobohkan untuk dibangun baru. Setelah dirobohkan, warga Desa Watoone, mulai berpikir kira-kira dari sumber dana manakah kapela itu dapat dibangun kembali.
Sejauh itu, Paroki Witihama tak ada suara.
Akhirnya syukur kepada Tuhan, karena ada salah seorang putra Watoone yang ketika itu menjabat Wakil Gubernur NTT, Frans Lebu Raya (sekarang Gubernur NTT). Dengan uang dari kantong sendiri, putra Watoone ini menyumbang untuk pembangunan kapela.
Maka bahan-bahan pembangunan pun diadakan, dan pembangunan pun dimulai. Sayangnya, tantangan pembangunan kapela ini tak hanya sampai di sini. Di tengah jalan, pembangunan mangkrak karena orang yang diserahi tanggung jawab untuk pengadaan bahan, ternyata hanya bisa menghabiskan uang sementara bahan bangunan tak ada. Ditambah lagi dengan tidak adanya pertanggungjawaban yang jelas.
Untuk beberapa waktu, kapela Watoone, hanya berdiri dengan dinding tanpa atap bahkan rumput liar pun mulai tumbuh mengepungnya. Sampai di sini, Paroki Witihama masih juga membisu.
Setelah terpilih jadi Gubernur NTT, Pak Frans Lebu sungguh prihatin melihat kapela yang begitu lama tak juga selesai dibangun.
Daripada terus ditunda, Pak Frans akhirnya memberikan sumbangan uang maupun tenaga manusia langsung dari luar daerah untuk mengerjakan dan menyelesaikan pembangunan kapela ini. Tukang-tukang beserta peralatan langsung didatangkan dari luar.
Pertimbangannya jelas, bukan karena tukang di kampung tak mampu, melainkan pekerjaan tukang di kampung banyak sekali halangannya. Jika ada ini dan itu, halangan ini dan itu, maka pekerjaan pun terus tertunda dan tak selesai-selesai.
Akhirnya terbetik khabar, bahwa ada sejumlah uang yang diberikan untuk pembangunan kapela yang dikelola desa. Sampai di sini, pihak Paroki Witihama yang selama ini diam membisu tiba-tiba membuka mulut tanpa malu-malu menyatakan, bahwa semestinya pembangunan Kapela Watoone harus atas sepengetahuan paroki.
Bahkan tanpa rasa mau mencoba meminta pertanggungjawaban pihak desa atas penggunaan uang untuk pembangunan kapela. Ulah paroki Witihama ini sempat membuat penduduk Watoone tertawa terbahak-bahak. Entah kemana gerangan Paroki Witihama sejak kapela itu dibongkar sampai akhirnya kini telah berdiri kembali sedemikian megah. Justru ketika mendengar bunyi uang, tiba-tiba menyalak dan ingin berperan. Aneh nian.
Sayangnya, pihak desa pun tak mau menanggapi panjang lebar, karena pihak desa merasa tak ada urusan dengan Paroki Witihama dalam hal pembangunan kapela. Selain tak ada sepeser pun sumbangan, bahkan sekadar datang melihat-lihat pembangunan pun tidak, pihak paroki juga tak pernah mau peduli selama ini. Lantas apa urusannya pihak Desa Watoone menyampaikan laporan kepada Paroki Witihama?
Sungguh menyedihkan dan teramat memalukan. Namun tampaknya pihak Paroki Witihama memang punya kekebalan khusus soal rasa malu.
Di sisi lain, pihak desa dengan tegas menyatakan, bahwa pihakdesa hanya bertanggung jawab kepada Pak Frans Lebu selaku penyandang dana. Bukan kepada Paroki Witihama yang baru bangun dari mimpi panjang. Tampaknya perlu ada sedikit investigasi, mengapa kondisi Gereja Katolik Witihama beserta perangkatnya sedemikian parah. Tampaknya orang yang ada di dalamnya sudah tak berpikir dengan sedikit lurus.
Bahkan hal ini pun berlanjut pada penerimaan imam baru dari Watoone, yang menurut pastor paroki Witihama, imam baru harus menghadap dan lapor dulu kepadanya sebelum bertemu keluarganya di Watoone.Sebenarnya apa yang telah dilakukan pastor ini dalam perjalanan seorang imam baru dari Desa Watoone, sampai menuntut "bayaran" sedemikian besar? Pelajaran macam apakah yang diterima pastor ini di seminari yang konon sangat terkenal membina orang ,memilih orang, bahkan melantik orang jadi wakil Kristus di atas dunia ini? Kalau seperti ini tabiat pastor, aku jadi ragu, apakah benar semua pastor adalah wakil Kristus. Sebab pelajaran yang saya peroleh dari Kitab Suci yang sama-sama kita pedomani, tak seperti ini. Terima kasih dan maaf.....Selagalas, 31 Oktober 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar