Titik sentuh perjalanan manusia, ada pada keinginannya. Manusia ingin tahu dan ingin lebih. Manusia ingin dan ingin terus. Ingin segala-galanya. Ibarat menyiram api dengan bensin, demikianlah keinginan itu kian membara dan tak terkendali.
Setelah ingin ini,dia kemudian ingin itu. Setelah ingin itu, dia ingin dan ingin lagi. Keinginan tak terbatas,sementara sarana yang memenuhi keinginan, selalu terbatas sifatnya.
Hal inilah yang membuat manusia tak puas dengan hidupnya. Dengan segala kemampuan yang dimiliki, entah otak, tubuh, atau apapun juga, manusia terus berjuang memenuhi keinginan yang satu yang bahkan akan dijadikan tangga juga untuk memenuhi keinginan lainnya yang jauh lebih dasyat.
Semakin banyak dan jauh manusia mengingini, semakin keras dan kuat pula perjuangan manusia sampai akhirnya manusia menyadari bahwa manusia hanya memburu bayangannya sendiri yang tak mungkin akan bisa digenggamnya. Karena pada dasarnya, bayangan adalah pantulan dirinya sendiri.
Bukan hanya satu, banyak filsuf maupun manusia yang telah mengalami penerangan bathin menyatakan, bahwa menaklukan dunia, cukup dengan menaklukan diri sendiri.
Namun marilah kita lihat fakta lapangan, adakah yang melakukan itu? Dan ada yang lain lagi bertanya, untuk apa saya lakukan? Memangnya saya akan menjadi kenyang dengan menaklukan diri sendiri? Memangnya saya akan punya rumah mewah dan mobil mewah jika saya lulus menaklukan diri sendiri?
Pelajaran penaklukan diri memang sungguh abstrak dan sungguh jauh dari pemenuhan nafsu dunia, sehingga upaya penaklukan diri ibarat mitos. Ada di antara manusia yang memandang jalan ini sebagai jalan yang tak masuk akal, buang waktu, dan sia-sia.
Lihatlah bagaimana kehidupan bergerak begitu cepat dan tanpa tawar menawar. Semua manusia habis-habisan merebut sepotong roti seperti anjing yang kelaparan berebut sepotong tulang.
Sementara diri yang juga sedang kelaparan, apakah harus berdiam diri, atau dengan sangat terpaksa ikut turun gelanggang merebut sepotong roti demi memenuhi nafsu lapar ini?
Manusia yang hidup memang butuh makan. Bahkan makan secukupnya menurut ukuran normal. Itu manusiawi. Jika manusia bisa juga hidup tanpa makan namun bisa kenyang, saya pikir semua manusia akan mencari cara itu. Agar saban hari tak direpotkan dengan acara masak memasak, atau pergi ke pasar untuk cari sayur, atau ribut hutan gundul, hanya karena petani memotong sebatang ranting untuk masak. Sementara pengusaha penggergaji kayu dengan mesin potong menelan seisi rimba, tak pernah dipersoalkan bahkan didukung penuh para kapitalis dan birokrat korup.
Singkatnya, jika manusia bisa hidup tanpa makan, maka salah satu keinginan, alias biang keributan bisa teratasi. Namun benarkah bisa terjadi demikian? Faktanya, semua orang yang ingin tetap hidup, harus makan. Jika dia tak makan, akan mati kelaparan. Itu hukum alam, kecuali kalau ada yang bisa mengatasi atau setidak-tidaknya menguasai hukum alam itu. Dan yang sanggup menguasai, tak perlu kampanye ke seluruh dunia kan? Karena dunia beserta segenap perangkatnya, memang kadang kurang tertarik dengan hal yang demikian.
Patut dipertanyakan, karena meskipun jalan itu ada, tak banyak yang berminat. Mengapa? Karena terlalu banyak yang harus ditanggung, terlalu banyak derita yang dipikul. Dan bahasa derita itu seakan menjadi momok yang sangat menakutkan dan meresahkan, mirip teror bom atau isu akan ada tsunami.
Padahal Penderitaan adalah racun keinginan. Orang yang menderita hidupnya, tak pernah menginginkan apa-apa, selain agar tak menderita lagi atau setidak-tidaknya memperoleh sedikit kelegaan.
Namun bagi manusia "sadar" yang ingin menderita untuk membunuh keinginan, maka saat yang demikian, adalah saat paling bahagia dalam hidupnya. Dia bersyukur atas derita yang dialaminya. Karena penderitaan itu ternyata telah membuka matanya terhadap Karunia Penguasa Alam yang tiada duanya, penaklukan keinginan.
Sekarang saya bertanya kepada anda semua yang punya waktu untuk membaca ini, seberapa besar keinginan anda? Adakah hasrat anda untuk menaklukan hasrat anda? Manakah yang lebih besar, hasrat anda ataukah hasrat anda untuk menaklukan hasrat anda?
Ini pencarian kehidupan yang hakiki. Jika anda masih ribut gara-gara sepotong roti atau sepiring nasi, sadarlah bahwa anda sebenarnya belum waktunya membaca tulisan ini. Terima kasih dan maaf jika ada yang kurang berkenan. Selagalas, 16 November 2011.
Total Tayangan Halaman
Selasa, 15 November 2011
Senin, 14 November 2011
Mujizat
Di tengah kehidupan manusia yang makin sulit, banyak kebohongan, banyak penipuan, dan lain-lain sifat tak terpuji, kasih kebanyakan orang pun menjadi dingin, dan rasa saling curiga dan upaya menjatuhkan pun kian terasa.
Berbarengan dengan itu, manusia semakin tak percaya mengenai adanya keajaiban. Bukan sekadar keajaiban-keajaiban biasa, namun hal-hal yang memang sudah selayaknya ditempatkan pada apa yang disebut sebagai mujizat
Sebab bagi manusia tertentu, sesuatu hal bukanlah keajaiban, tetapi bagi manusia yang lain lagi, sesuatu yang dianggap biasa, baginya adalah keajaiban.
Kembali kepada topik keajaiban. Saya ingin menyampaikan sebuah kesaksian yang tak main-main yang saya alami sekitar 11 tahun lalu. Dan Bukan hanya ini, tetapi beberapa yang lain, bahkan yang jauh lebih dari ini pun pernah saya alami. Namun mungkin akan diceritakan dalam kesempatan lain.
Apa yang akan saya ceritakan tak bermaksud memberitakan kepada khalayak mengenai betapa hebatnya aku melainkan, mengenai betapa besar kasih Tuhan akan manusia.
Bahwa bagi Dia, sama sekali tak ada yang mustahil. Dan itu tak sekadar kata pemanis. Bahwa dalam media apa saja, Dia bisa tampil memberikan kelegaan, kesembuhan, dan apapun juga sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya.
Di tengah krisis iman yang mendekati keruntuhan peradaban, tampaknya kebanyakan manusia kian tak percaya akan campur tangan Dia yang menjadi penguasa jagad raya ini.
Hal itu bisa terjadi, karena manusia merasa dirinya sudah bisa melakukan segala sesuatu tanpa harus dibantu atau dituntun Dia yang menjadi pemilik kehidupan. Manusia dengan segala teknologi dan kemajuannya yang spekatakuler dalam berbagai sisi, pendidikan, kesehatan, antariksa, dan lain-lain lagi, telah membuka banyak tabir rahasia alam ini.
Dengan berbagai kemampuan yang dimiliki itu, manusia seakan mengira bahwa semua dapat dilakukannya, bahkan tanpa harus menyembah Dia. Bahkan penyembahan akan Dia kadang dianggap sebagai tindakan manusia paling lemah, tidak ada kerjaan, dan telah kehilangan harapan serta buang-buang waktu.
Di tengah kecanggihan manusia yang luar biasa ini, manusia juga semakin tak percaya kepada Dia, apalagi keajaiban Karena manusia sudah bisa terbang, bisa berkomunikasi melalui udara, dan begitu banyak kemudahan lain yang oleh orang tertentu telah menyamakannya sebagai keajaiban pula. Meskipun tentu saja tak sama dengan mujizat Tuhan Yesus menyembuhkan orang lumpuh, misalnya.
Kembali kepada judul tulisan ini. Tulisan dengan pembuka yang agak bertele-tele ini sekadar menjadi salam pembuka bagi siapa pun yang berkesempatan membacanya. Bahwa mujizat itu tetap ada di tengah kecanggihan manusia yang menganggap dirinya serba bisa ini.
Di suatu malam sekitar Juli tahun 2000. Hari dan tanggal telah dilupakan. Bahkan bulan pun tak pasti. Namun yang jelas, itu terjadi di tahun 2.000. Ketika itu aku baru pulang piket malam bekerja di salah satu surat khabar di Lombok, NTB.
Di tengah kepenatan itu, aku membuka pintu rumah milik Paulus Doni Liat di BTN Tanah Haji, tempatku menginap.
Jauh sebelumnya semasa kuliah, aku juga menginap di sana, namun di tahun itu, aku kembali menginap di sana, karena adanya peristiwa rusuh masa di Mataram, 17 Januari 2000.
Dalam kondisi yang agak lelah, aku menyetel tv 14 inci di depan saya di ruang tengah. Kondisi lelah ditambah suara pembawa acara yang berapi-api saat membawakan acara siraman rohani, bukan membuatku bersemangat melainkan semakin ogah.
Oh ya, perlu saya ceritakan di sini, bahwa ketika itu aku menderita sakit di rahang, yang membuat rahang saya sulit dibuka. Setiap kali dibuka, sakitnya bukan main. karena itu saya sangat tersiksa setiap kali makan. Namun itu saya paksakan.
Rasa sakit itu telah saya derita sekitar akhir 1997 lalu.
Sepanjang waktu itu pula, saya tak bisa membersihkan rahang saya dengan baik, karena setiap kali membuka mulut, rasa sakit itu hampir tak tertahankan. Akibatnya, gigi geraham saya yang tak pernah dibersihkan itu hancur dengan sendirinya.
Penderitaan itu semakin tak tertahankan, dan aku seakan menyerah sampai malam itu.
Dengan langkah tertatih, aku bangun dan mendekati TV dan memegang tombol untuk mematikannya.
Namun mendadak, suara pembawa acara siraman rohani itu menggema di tengah kelam malam. ''Saya melihat dalam Roh, seorang pemuda yang tengah menikmati acara ini,'' katanya.
Waktu itu saya masih bujang, belum menikah, jadi saya termasuk di antara sekian pemuda yang menikmati acara siraman rohani malam itu sebagaimana yang dimaksud pembawa acara.
Jadi, aku menarik kembali tanganku dari tombol tv, kemudian pembawa acara itu melanjutkan. ''Pemuda ini sangat menderita, karena rahangnya sangat sakit setiap kali dia membuka mulutnya,'' katanya.
Saya semakin yakin bahwa di tengah malam menjelang pukul 01.00 Wita itu, mungkin satu diantara 10 juta orang yang mengalami eeperti apa yang saya alami. Karena itu aku semakin yakin, bahwa pemuda yang dimaksudkan itu adalah aku.
Pembawa acara ini melanjutkan. ''Saudaraku, Roh Kudus tengah bekerja menjamah sakit yang engkau derita itu. Rasakanlah kekuatannya yang mengalir di dalam rasa sakitmu itu. Tuhan Yesus sedang menyembuhkan engkau saudaraku. Oleh bilur-bilur-Nya, engkau telah disembuhkan,'' katanya.
Sesaat lamanya aku tertegun berdiri memandang layar kaca seakan tak percaya, ada kejadian maha hebat yang baru terjadi atas diriku yang berlangsung tak lebih dari dua menit bahkan semenit.
Kemudian pembawa acara melanjutkan. ''Terima kasih saudaraku semua. Tuhan Yesus memberkati. Oleh bilur-bilur-Nya, kamu telah disembuhkan. Terpujilah Dia untuk selama-lamanya Amin. Sampai berjumpa lagi dan selamat malam. Tuhan Yesus memberkati, Amin.''
Acara itu pun berlalu. Dengan sedikit ragu-ragu, kugerakan rahangku yang menyiksaku bertahun-tahun. Meski masih ada sedikit rasa sakit ketika itu, namun tak dapat kupungkiri bahwa rasa sakit itu jauh berkurang.
Dengan langkah pasti, kulangkahkan kakiku ke dalam kamar dan berbaring melepas penat guna melanjutkan hari-hari hidup ini keesokannya. Terselip sedikit keraguan, apakah memang aku yang disembuhkan.
Aku berdoa sebentar di kamar sebelum membaringkan diri, sambil aku gerakan rahangku yang sungguh-sungguh membuatku setengah mati itu. Siapa tahu, yang disembuhkan itu bukan saya tapi orang lain lagi, yang sependeritaan dengan saya.
Namun tak dapat kupungkiri, bahwa rasa sakit makin lama makin hilang. Dan aku pun tertidur hingga pagi hari. Ketika aku bangun pagi, aku merasakan sesuatu yang lain. Pemulihan. Aku ke dapur, aku ambil makanan di atas kompor dan memindahkan ke meja makan. Aku sendok nasi dan beberapa potong tempe. Masih dengan ragu-ragu aku mulai makan mengunyah suap demi suap.
Mujizat memang telah terjadi sepanjang malam itu. Rahangku sembuh total. Aku makan seperti biasa, seperti dulu sebelum menderita sakit di rahang itu. Bahkan kini aku bisa menikmati lagi jagung titi, makanan khas dan andalan di kampung halaman saya, Desa Watoone, Witihama, bahkan makanan pokok orang di pulauku, Pulau Adonara, Flores Timur, NTT. ''Syukur dan Pujian kepada-Mu ya Bapa, Putera,dan Roh Kudus. Syukur pada-MU atas untung dan malang, sakit dan sehat. Karena semua ini membawa kami kian dekat pada-Mu. AMIN. Selagalas, 15 November 2001.
Berbarengan dengan itu, manusia semakin tak percaya mengenai adanya keajaiban. Bukan sekadar keajaiban-keajaiban biasa, namun hal-hal yang memang sudah selayaknya ditempatkan pada apa yang disebut sebagai mujizat
Sebab bagi manusia tertentu, sesuatu hal bukanlah keajaiban, tetapi bagi manusia yang lain lagi, sesuatu yang dianggap biasa, baginya adalah keajaiban.
Kembali kepada topik keajaiban. Saya ingin menyampaikan sebuah kesaksian yang tak main-main yang saya alami sekitar 11 tahun lalu. Dan Bukan hanya ini, tetapi beberapa yang lain, bahkan yang jauh lebih dari ini pun pernah saya alami. Namun mungkin akan diceritakan dalam kesempatan lain.
Apa yang akan saya ceritakan tak bermaksud memberitakan kepada khalayak mengenai betapa hebatnya aku melainkan, mengenai betapa besar kasih Tuhan akan manusia.
Bahwa bagi Dia, sama sekali tak ada yang mustahil. Dan itu tak sekadar kata pemanis. Bahwa dalam media apa saja, Dia bisa tampil memberikan kelegaan, kesembuhan, dan apapun juga sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya.
Di tengah krisis iman yang mendekati keruntuhan peradaban, tampaknya kebanyakan manusia kian tak percaya akan campur tangan Dia yang menjadi penguasa jagad raya ini.
Hal itu bisa terjadi, karena manusia merasa dirinya sudah bisa melakukan segala sesuatu tanpa harus dibantu atau dituntun Dia yang menjadi pemilik kehidupan. Manusia dengan segala teknologi dan kemajuannya yang spekatakuler dalam berbagai sisi, pendidikan, kesehatan, antariksa, dan lain-lain lagi, telah membuka banyak tabir rahasia alam ini.
Dengan berbagai kemampuan yang dimiliki itu, manusia seakan mengira bahwa semua dapat dilakukannya, bahkan tanpa harus menyembah Dia. Bahkan penyembahan akan Dia kadang dianggap sebagai tindakan manusia paling lemah, tidak ada kerjaan, dan telah kehilangan harapan serta buang-buang waktu.
Di tengah kecanggihan manusia yang luar biasa ini, manusia juga semakin tak percaya kepada Dia, apalagi keajaiban Karena manusia sudah bisa terbang, bisa berkomunikasi melalui udara, dan begitu banyak kemudahan lain yang oleh orang tertentu telah menyamakannya sebagai keajaiban pula. Meskipun tentu saja tak sama dengan mujizat Tuhan Yesus menyembuhkan orang lumpuh, misalnya.
Kembali kepada judul tulisan ini. Tulisan dengan pembuka yang agak bertele-tele ini sekadar menjadi salam pembuka bagi siapa pun yang berkesempatan membacanya. Bahwa mujizat itu tetap ada di tengah kecanggihan manusia yang menganggap dirinya serba bisa ini.
Di suatu malam sekitar Juli tahun 2000. Hari dan tanggal telah dilupakan. Bahkan bulan pun tak pasti. Namun yang jelas, itu terjadi di tahun 2.000. Ketika itu aku baru pulang piket malam bekerja di salah satu surat khabar di Lombok, NTB.
Di tengah kepenatan itu, aku membuka pintu rumah milik Paulus Doni Liat di BTN Tanah Haji, tempatku menginap.
Jauh sebelumnya semasa kuliah, aku juga menginap di sana, namun di tahun itu, aku kembali menginap di sana, karena adanya peristiwa rusuh masa di Mataram, 17 Januari 2000.
Dalam kondisi yang agak lelah, aku menyetel tv 14 inci di depan saya di ruang tengah. Kondisi lelah ditambah suara pembawa acara yang berapi-api saat membawakan acara siraman rohani, bukan membuatku bersemangat melainkan semakin ogah.
Oh ya, perlu saya ceritakan di sini, bahwa ketika itu aku menderita sakit di rahang, yang membuat rahang saya sulit dibuka. Setiap kali dibuka, sakitnya bukan main. karena itu saya sangat tersiksa setiap kali makan. Namun itu saya paksakan.
Rasa sakit itu telah saya derita sekitar akhir 1997 lalu.
Sepanjang waktu itu pula, saya tak bisa membersihkan rahang saya dengan baik, karena setiap kali membuka mulut, rasa sakit itu hampir tak tertahankan. Akibatnya, gigi geraham saya yang tak pernah dibersihkan itu hancur dengan sendirinya.
Penderitaan itu semakin tak tertahankan, dan aku seakan menyerah sampai malam itu.
Dengan langkah tertatih, aku bangun dan mendekati TV dan memegang tombol untuk mematikannya.
Namun mendadak, suara pembawa acara siraman rohani itu menggema di tengah kelam malam. ''Saya melihat dalam Roh, seorang pemuda yang tengah menikmati acara ini,'' katanya.
Waktu itu saya masih bujang, belum menikah, jadi saya termasuk di antara sekian pemuda yang menikmati acara siraman rohani malam itu sebagaimana yang dimaksud pembawa acara.
Jadi, aku menarik kembali tanganku dari tombol tv, kemudian pembawa acara itu melanjutkan. ''Pemuda ini sangat menderita, karena rahangnya sangat sakit setiap kali dia membuka mulutnya,'' katanya.
Saya semakin yakin bahwa di tengah malam menjelang pukul 01.00 Wita itu, mungkin satu diantara 10 juta orang yang mengalami eeperti apa yang saya alami. Karena itu aku semakin yakin, bahwa pemuda yang dimaksudkan itu adalah aku.
Pembawa acara ini melanjutkan. ''Saudaraku, Roh Kudus tengah bekerja menjamah sakit yang engkau derita itu. Rasakanlah kekuatannya yang mengalir di dalam rasa sakitmu itu. Tuhan Yesus sedang menyembuhkan engkau saudaraku. Oleh bilur-bilur-Nya, engkau telah disembuhkan,'' katanya.
Sesaat lamanya aku tertegun berdiri memandang layar kaca seakan tak percaya, ada kejadian maha hebat yang baru terjadi atas diriku yang berlangsung tak lebih dari dua menit bahkan semenit.
Kemudian pembawa acara melanjutkan. ''Terima kasih saudaraku semua. Tuhan Yesus memberkati. Oleh bilur-bilur-Nya, kamu telah disembuhkan. Terpujilah Dia untuk selama-lamanya Amin. Sampai berjumpa lagi dan selamat malam. Tuhan Yesus memberkati, Amin.''
Acara itu pun berlalu. Dengan sedikit ragu-ragu, kugerakan rahangku yang menyiksaku bertahun-tahun. Meski masih ada sedikit rasa sakit ketika itu, namun tak dapat kupungkiri bahwa rasa sakit itu jauh berkurang.
Dengan langkah pasti, kulangkahkan kakiku ke dalam kamar dan berbaring melepas penat guna melanjutkan hari-hari hidup ini keesokannya. Terselip sedikit keraguan, apakah memang aku yang disembuhkan.
Aku berdoa sebentar di kamar sebelum membaringkan diri, sambil aku gerakan rahangku yang sungguh-sungguh membuatku setengah mati itu. Siapa tahu, yang disembuhkan itu bukan saya tapi orang lain lagi, yang sependeritaan dengan saya.
Namun tak dapat kupungkiri, bahwa rasa sakit makin lama makin hilang. Dan aku pun tertidur hingga pagi hari. Ketika aku bangun pagi, aku merasakan sesuatu yang lain. Pemulihan. Aku ke dapur, aku ambil makanan di atas kompor dan memindahkan ke meja makan. Aku sendok nasi dan beberapa potong tempe. Masih dengan ragu-ragu aku mulai makan mengunyah suap demi suap.
Mujizat memang telah terjadi sepanjang malam itu. Rahangku sembuh total. Aku makan seperti biasa, seperti dulu sebelum menderita sakit di rahang itu. Bahkan kini aku bisa menikmati lagi jagung titi, makanan khas dan andalan di kampung halaman saya, Desa Watoone, Witihama, bahkan makanan pokok orang di pulauku, Pulau Adonara, Flores Timur, NTT. ''Syukur dan Pujian kepada-Mu ya Bapa, Putera,dan Roh Kudus. Syukur pada-MU atas untung dan malang, sakit dan sehat. Karena semua ini membawa kami kian dekat pada-Mu. AMIN. Selagalas, 15 November 2001.
Jumat, 11 November 2011
Gunung Boleng
Kerinduanku begitu nyata. pada tangkai padang kemarau yang lemah gemulai diterpa angin panas. Angin yang berdesir dari kawah yang mendidih mengingatkan aku akan asalku. Di ketandusan bumi dan hati yang dilanda kepenatan ini, aku mencoba mengasah sepotong asa.
Jiwaku meratap dalam kesunyian memohon pengampunan yang mendatangkan sejumlah luka, luka-luka di tubuhku, luka-luka di tubuh umat manusia, luka-luka di tubuh bumi yang kupijak tanpa permisi, yang kukencingi dan kuberaki saban hari.
Aku ini manusia sungguh durhaka, hatiku tak pernah ingin menyatu dengan kedukaan bumi yang ramah, yang tak pernah membalas kejahatanku dengan petaka. Namun petaka didatangkannya untuk menyadarkan aku akan kepapaanku dan ketidakberdayaanku.
Kini di persimpangan jalan, ketika matahari mulai condong ke barat, saat ketika petani hendak pulang dari ladang, dan ayam di ladang mulai mengepakan sayap menyapa malam, aku menatap langit timur yang kelam kelabu.
Manusia ternyata memang seperti kata Sang Pe-Mazmur. Hidup seperti satu giliran ronda malam. Begitu singkat, namun sebagian besarnya terdiri dari duka dan derita. Sang pe-Mazmur pun berdoa, berilah agar tahun-tahun hidup keberuntunganku seimbang dengan tahun-tahun kemalanganku.
Dari jauh kutatap lagi Puncak Boleng,selimut kabut yang melingkari lereng mulai sirna. Puncak yang gagah itu seakan memanggil pulang dalam desau semilir yang hangat penuh kasih. Penyaringan pasti akan datang, tapi mungkin bukan sekarang. Karena pengampunan itu masih ada. Walaupun hanya sedikit.
Manusia yang lemah dan tak berdaya ini, syukur kepada Tuhan jika masih sempat membuka hati menyadari kelemahannya. Karena jika disadari secara hakiki, Tuhan lebih leluasa bekerja di tengah kelemahan manusia yang sedang memohon pertolongan. Sedangkan manusia yang jahat ini saja bisa menolong, apalagi Tuhan Yang Mahabaik...Terpujilah Nama-NYA....AMIN
Jiwaku meratap dalam kesunyian memohon pengampunan yang mendatangkan sejumlah luka, luka-luka di tubuhku, luka-luka di tubuh umat manusia, luka-luka di tubuh bumi yang kupijak tanpa permisi, yang kukencingi dan kuberaki saban hari.
Aku ini manusia sungguh durhaka, hatiku tak pernah ingin menyatu dengan kedukaan bumi yang ramah, yang tak pernah membalas kejahatanku dengan petaka. Namun petaka didatangkannya untuk menyadarkan aku akan kepapaanku dan ketidakberdayaanku.
Kini di persimpangan jalan, ketika matahari mulai condong ke barat, saat ketika petani hendak pulang dari ladang, dan ayam di ladang mulai mengepakan sayap menyapa malam, aku menatap langit timur yang kelam kelabu.
Manusia ternyata memang seperti kata Sang Pe-Mazmur. Hidup seperti satu giliran ronda malam. Begitu singkat, namun sebagian besarnya terdiri dari duka dan derita. Sang pe-Mazmur pun berdoa, berilah agar tahun-tahun hidup keberuntunganku seimbang dengan tahun-tahun kemalanganku.
Dari jauh kutatap lagi Puncak Boleng,selimut kabut yang melingkari lereng mulai sirna. Puncak yang gagah itu seakan memanggil pulang dalam desau semilir yang hangat penuh kasih. Penyaringan pasti akan datang, tapi mungkin bukan sekarang. Karena pengampunan itu masih ada. Walaupun hanya sedikit.
Manusia yang lemah dan tak berdaya ini, syukur kepada Tuhan jika masih sempat membuka hati menyadari kelemahannya. Karena jika disadari secara hakiki, Tuhan lebih leluasa bekerja di tengah kelemahan manusia yang sedang memohon pertolongan. Sedangkan manusia yang jahat ini saja bisa menolong, apalagi Tuhan Yang Mahabaik...Terpujilah Nama-NYA....AMIN
Selasa, 08 November 2011
Senin, 07 November 2011
KEBUN
Terlintas dalam benakku, akan kumanfaatkan sebidang tanah untuk menanam beraneka ragam tanaman. Mulai dari tanaman berumur pendek, hingga tanaman berumur panjang yang akan bisa dinikmati hasilnya 30 atau 50 tahun mendatang.
Atau kalau memang tak dinikamti hasilnya secara langsung, paling tidak, dalam kurun waktu yang panjang itu, dapat memberikan manfaat tidak langsung. Misalnya tanaman asam, yang bisa menghijauakan dan memberikan hawa sejuk. Pohon beringin yang daunnya bisa untuk makanan kambing, tapi juga menjadi penyuplai air tanah yang sangat efektif, karena kemampuan akar beringin menyimpan air, adalah 28o kali dari tanaman lainnya. Begitu juga tentu saja hawa segar yang diberikannya atau paling tidak aku dapat berteduh di bawahnya di kala terik.
Impianku itu bukan baru sekarang, melainkan sejak dulu, ketika aku masih duduk di SD, bahkan sebelum sekolah. Aku mengimpikan, bagaimana kalau dari akar beringin yang tumbuh lebat itu, tiba-tiba memancar keluar mata air. Tentu saja kebun saya yang sepetak itu akan menjadi sangat subur dan dapat ditanami apa saja yang lain. Begitu juga kebun-kebun yang ada di sekitarku.
Sistem pertanian tentu saja akan berubah dari ladang berpindah ke sawah berpengairan teknis. Mimpi itu sedemikian nyata, sampai sulit kubedakan antara mimpi, hayalan, dan kenyataan.
Aku ingin menanam apa saja. Tanaman yang daunnya selain memberikan kesegaran, juga daunnya dapat dimakan hewan piaraan maupun orang.
Dengan demikian, tanaman yang ditanam itu akan bernilai ganda. Misalnya, tanaman nangka. Nangka ini daunnya bisa dimakan kambing, buahnya bisa dimakan manusia, sementara bekas makan manusia itu masih bisa dimakan kambing maupun babi.
Tanaman ini sungguh efektif. Tak butuh banyak air, bisa hidup di lahan yang tandus, tumbuh subur dengan tak perlu banyak perawatan yang susah-susah. Asal mau menanam dan dapat tumbuh di awal tahun, selanjutnya akan bisa mengurus dirinya sendiri sampai menjadi besar dan berbuah.
Buah nangka memang sering dicuri. Tapi kalau saya menanamnya keliling kebun yang cukup luas ini dan sekiranya berhasil, tentu yang maling pun akan malas, karena buahnya akan terlampau banyak, tak cukup waktu dan tenaga bagi maling untuk bolak balik mencurinya setiap hari.
Impian itu begitu kuat sampai kadang mengganggu tidur malamku. Keeskokannya aku menelepon orang di kampung yang menjaga kebunku, karena aku masih ada di perantauan. Aku jelaskan segala maksudku, mengenai besarnya manfaat menanam pohon buah-buahan ini.
Namun aku dengar bahwa sejauh ini ternyata nangka itu tak pernah ditanam. Padahal bibit di bawah pohon nangka yang sudah tua itu teramat banyak, entah karena apa.
Sekiranya nasihatku diikuti, mungkin nangka itu sudah terlalu banyak buahnya sekarang. Bahkan kebunku memang sudah disulap menjadi kebun buah-buahan.
Namun dalam kebijakan kecilku ini, aku lupa bahwa orang2 di kampungku menganut kehidupan dengan tanaman semusim seperti jagung dan lain-lain. Jika kebun yang kecil ini dipakai menanam pohon buah-buahan, maka habislah sudah riwayat jagung-jagung itu. Habislah riwayat jagung yang jadi makanan pokok untuk menyongsong musim berikutnya. Jagung memang tak bagus tumbuh di bawah naungan. Jadi tinggal pilih, pohon buah-buahan atau tanaman semusim untuk kebutuhan pokok.
Angan-angan, mimpi, dan harapan memang tampak mudah, namun sulit dalam pelaksanaan, dan itu akan semakin sulit ketika berbenturan lagi dengan hal-hal yang pokok.
Aku belajar dari kehidupan yang sederhana ini. Bahwa bukan para pendahulu tak mau menanam pohon, tapi karena keterbatasan tempat membuat mereka memilih hal yang paling pokok demi kelangsungan hidup. Demikianlah pilihan sederhana yang sangat logis.
Jika ingin penghijauan yang lebih logis, mari kita tanami bukit-bukit yant tak dapat dijadikan kebun, karena di dalamnya hanya berisi bebatuan. Tetapi jika kita cukup serius, bukan tak mungkin tanaman bisa tumbuh di sana. Buktinya, setiap musim hujan, bukit-bukit selalu hijau, bahkan bukit batu sekali pun......
Atau kalau memang tak dinikamti hasilnya secara langsung, paling tidak, dalam kurun waktu yang panjang itu, dapat memberikan manfaat tidak langsung. Misalnya tanaman asam, yang bisa menghijauakan dan memberikan hawa sejuk. Pohon beringin yang daunnya bisa untuk makanan kambing, tapi juga menjadi penyuplai air tanah yang sangat efektif, karena kemampuan akar beringin menyimpan air, adalah 28o kali dari tanaman lainnya. Begitu juga tentu saja hawa segar yang diberikannya atau paling tidak aku dapat berteduh di bawahnya di kala terik.
Impianku itu bukan baru sekarang, melainkan sejak dulu, ketika aku masih duduk di SD, bahkan sebelum sekolah. Aku mengimpikan, bagaimana kalau dari akar beringin yang tumbuh lebat itu, tiba-tiba memancar keluar mata air. Tentu saja kebun saya yang sepetak itu akan menjadi sangat subur dan dapat ditanami apa saja yang lain. Begitu juga kebun-kebun yang ada di sekitarku.
Sistem pertanian tentu saja akan berubah dari ladang berpindah ke sawah berpengairan teknis. Mimpi itu sedemikian nyata, sampai sulit kubedakan antara mimpi, hayalan, dan kenyataan.
Aku ingin menanam apa saja. Tanaman yang daunnya selain memberikan kesegaran, juga daunnya dapat dimakan hewan piaraan maupun orang.
Dengan demikian, tanaman yang ditanam itu akan bernilai ganda. Misalnya, tanaman nangka. Nangka ini daunnya bisa dimakan kambing, buahnya bisa dimakan manusia, sementara bekas makan manusia itu masih bisa dimakan kambing maupun babi.
Tanaman ini sungguh efektif. Tak butuh banyak air, bisa hidup di lahan yang tandus, tumbuh subur dengan tak perlu banyak perawatan yang susah-susah. Asal mau menanam dan dapat tumbuh di awal tahun, selanjutnya akan bisa mengurus dirinya sendiri sampai menjadi besar dan berbuah.
Buah nangka memang sering dicuri. Tapi kalau saya menanamnya keliling kebun yang cukup luas ini dan sekiranya berhasil, tentu yang maling pun akan malas, karena buahnya akan terlampau banyak, tak cukup waktu dan tenaga bagi maling untuk bolak balik mencurinya setiap hari.
Impian itu begitu kuat sampai kadang mengganggu tidur malamku. Keeskokannya aku menelepon orang di kampung yang menjaga kebunku, karena aku masih ada di perantauan. Aku jelaskan segala maksudku, mengenai besarnya manfaat menanam pohon buah-buahan ini.
Namun aku dengar bahwa sejauh ini ternyata nangka itu tak pernah ditanam. Padahal bibit di bawah pohon nangka yang sudah tua itu teramat banyak, entah karena apa.
Sekiranya nasihatku diikuti, mungkin nangka itu sudah terlalu banyak buahnya sekarang. Bahkan kebunku memang sudah disulap menjadi kebun buah-buahan.
Namun dalam kebijakan kecilku ini, aku lupa bahwa orang2 di kampungku menganut kehidupan dengan tanaman semusim seperti jagung dan lain-lain. Jika kebun yang kecil ini dipakai menanam pohon buah-buahan, maka habislah sudah riwayat jagung-jagung itu. Habislah riwayat jagung yang jadi makanan pokok untuk menyongsong musim berikutnya. Jagung memang tak bagus tumbuh di bawah naungan. Jadi tinggal pilih, pohon buah-buahan atau tanaman semusim untuk kebutuhan pokok.
Angan-angan, mimpi, dan harapan memang tampak mudah, namun sulit dalam pelaksanaan, dan itu akan semakin sulit ketika berbenturan lagi dengan hal-hal yang pokok.
Aku belajar dari kehidupan yang sederhana ini. Bahwa bukan para pendahulu tak mau menanam pohon, tapi karena keterbatasan tempat membuat mereka memilih hal yang paling pokok demi kelangsungan hidup. Demikianlah pilihan sederhana yang sangat logis.
Jika ingin penghijauan yang lebih logis, mari kita tanami bukit-bukit yant tak dapat dijadikan kebun, karena di dalamnya hanya berisi bebatuan. Tetapi jika kita cukup serius, bukan tak mungkin tanaman bisa tumbuh di sana. Buktinya, setiap musim hujan, bukit-bukit selalu hijau, bahkan bukit batu sekali pun......
Jumat, 04 November 2011
YANG MASIH TERJAGA ITU
Suara-suara serak dari balik fatamorgana yang membakar ubun-ubun, makin terlihat nyata di sepanjang jalan. Kekeringan yang melanda akibat kegemaran aneh dari orang-orang aneh yang suka membakar.
Tak hanya membakar, tapi juga merusak dengan alasan, kayu itu akan dipakai merehab pondok di kebunnya, atau membuat kusen pintu dan jendela rumah, atau lebih sadis lagi, bahkan dijual untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Meski tanaman semakin kering dan meranggas, bahkan kesulitan air minum hingga puluhan bahkan ratusan tahun turun temurun, hal itu tak pernah membuat orang sadar untuk cinta akan kelestarian lingkungan.
Yang justru terjadi yakni malah keinginan dan nafsu yang kian bergelora untuk menghabiskan apa yang tersisa. Sisa-sisa pohon yang masih berdiri di tengah padang yang tandus, yang daunnya meliuk ke sana-kemnari diterpa angin panas kemarau, hendak ditamatkan pula riwayatnya demi sebuah nafsu.
Entah mengapa kegemaran merusak hutan ini justru ada di tengah manusia yang tinggal di kawasan tandus. Bukit yang gundul, tanah yang kini hilang humusnya karena lebih banyak dipakai menanam jambu mete, tak juga menyadarkan masyarakat bahwa tak hanya wabah kelaparan yang akan menimpa, tapi juga wabah kekeringan.
Memang di bagian lain dari pulau yang kecil ini, masih tersisa seonggok hutan yang menjadi penyangga air di seluruh pulau. Namun mata air yang menjadi milik pribadi, cukup menyulitkan untuk dilaksanakan pelestarian secara menyelujruh.
Belum lagi belum ada pengaturan yang jelas, sebenarnya di mana tanah pribadi dan sampai batas mana tanah yang semestinya menjadi kawasan hutan tutupan.
Marilah kita menyempatkan diri sesaat menatap Gunung Boleng yang gundul sejak dari kawasan puncak hingga pertengahan, bahkan hingga lereng dan lembah. Gunung ini cukup tinggi dengan kawasan bebas dari kegiatan usaha tani yang cukup luas.
Namun hal itu tak banyak berpengaruh, karena kawasan yang tak tersentuh itu pun dibiarkan kosong begitu saja, tak pernah ada program penghijauan atau sekadar memberi sosialisasi kepada masyarakat yang tinggal sekitar kawasan agar mau menanam satu atau dua batang pohon.
Sejauh ini peranan pemerintah hanya menyelesaikan masalah jangka pendek, yakni memasang pipa air dari tempat yang ada sumber airnya demi memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sedangkan untuk jangka panjang, tampaknya kurang diminati, karena bukan tak mungkin hal ini secara politis, tak begitu mendukung alias kurang berguna. Itu karena baik pemerintah maupun masyarakat selalu mengharapkan sesuatu yang instan. Sungguh jauh membayangkan ada pemerintah maupun masyarakat yang memiliki pemikiran secara moral mengenai tanggung jawab akan pelestarian lingkungan.
Di sisi lain, kebutuhan akan kayu juga kian mendesak dari hari ke hari. Dan jangan lupa, pohon yang ditebang sekarang untuk berbagai keperluan itu, bukan ditanam setahun atau dua tahun lalu, melainkan bertahun-tahun sebelumnya.
Setelah menghabisinya dalam sekejap, penjahat lingkungan ini tak sedikit pun tergerak hatinya untuk menggantinya dengan yang baru. Akibatnya, pohon yang hidup puluhan tahun itu lenyap begitu saja dan hari demi hari, suasana gerah maupun kekeringan kian terasa.
Sejauh ini pula tak ada batasan yang jelas, mana kawasan yang tak boleh diganggu. Akhirnya tanaman yang sudah tumbuh sejak puluhan tahun, ditebang tanpa ampun di sepanjang lereng gunung, dan berakhir hanya di dapur api untuk keperluan masak memasak.
Hal ini tentu tak akan jadi masalah, jika penebangan itu disusul dengan penggantian tanaman baru yang tentu saja cocok dengan kondisi sekitar. Tentu saja kita menanam tanaman keras yang tahan kekeringan.
Bila perlu setiap penebangan, selalu diiringi dengan perhitungan, tebang satu tanam tiga atau 10. Karena kondisi lahan yang ada, khususnya di lereng gunung yang cukup luas itu masih sangat memungkinkan untuk dilakukan.
Dengan penanaman yang cukup giat di sepanjang lereng Gunung Boleng, bukan tak mungkin bahwa dalam jangka waktu tertentu, mata air yang sebelumnya kering kerontang, pada akhirnya dapat muncul kembali. Kecuali kalau pelajaran ilmu alam yang kita peroleh di sekolah selama ini ternyata keliru.
Kita sangat patut prihatin, karena seiring makin menipisnya pohon-pohon di padang maupun sisa hutan yang lebih sering dibakar daripada diitanami, maka sejumlah satwa pun kian berkurang bahkan musnah.
Jika sekarang ini anda semua berkesempatan berjalan-jalan ke Puncak Gunung Boleng, maka anda sudah pasti akan kesulitan menjumpai kambing hutan atau babi hutan, termasuk beberapa jenis unggas yang sudah menyentuh taraf langka.
Dan yang lebih mengerikan lagi, terbetik berita dari kampung halaman, bahwa banyak anak muda yang berleha-leha di Puncak Gunung Boleng dan membuat banyak "kekacauan" di sana. Kita perlu berhati-hati akan hal ini, karena terlampau berat.
Jangan lupa, bahwa meski Gunung Boleng ini begitu kering kerontang, namun masih sangat terjaga secara ROHANI. Jadi jika membuat ulah yang macam-macam di tempat ini, saya pikir sulit bagi anda semua untuk mempertanggungjawabkannya.
Sedangkan terhadap apa yang terlihat pun (Kerusakan hutan) anda tak dapat berbuat apapun, apalagi terhadap hal yang ROHANI, yang tak terlihat. Hati-hati karena hal itu tak lama lagi. Terima kasih.
Tak hanya membakar, tapi juga merusak dengan alasan, kayu itu akan dipakai merehab pondok di kebunnya, atau membuat kusen pintu dan jendela rumah, atau lebih sadis lagi, bahkan dijual untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Meski tanaman semakin kering dan meranggas, bahkan kesulitan air minum hingga puluhan bahkan ratusan tahun turun temurun, hal itu tak pernah membuat orang sadar untuk cinta akan kelestarian lingkungan.
Yang justru terjadi yakni malah keinginan dan nafsu yang kian bergelora untuk menghabiskan apa yang tersisa. Sisa-sisa pohon yang masih berdiri di tengah padang yang tandus, yang daunnya meliuk ke sana-kemnari diterpa angin panas kemarau, hendak ditamatkan pula riwayatnya demi sebuah nafsu.
Entah mengapa kegemaran merusak hutan ini justru ada di tengah manusia yang tinggal di kawasan tandus. Bukit yang gundul, tanah yang kini hilang humusnya karena lebih banyak dipakai menanam jambu mete, tak juga menyadarkan masyarakat bahwa tak hanya wabah kelaparan yang akan menimpa, tapi juga wabah kekeringan.
Memang di bagian lain dari pulau yang kecil ini, masih tersisa seonggok hutan yang menjadi penyangga air di seluruh pulau. Namun mata air yang menjadi milik pribadi, cukup menyulitkan untuk dilaksanakan pelestarian secara menyelujruh.
Belum lagi belum ada pengaturan yang jelas, sebenarnya di mana tanah pribadi dan sampai batas mana tanah yang semestinya menjadi kawasan hutan tutupan.
Marilah kita menyempatkan diri sesaat menatap Gunung Boleng yang gundul sejak dari kawasan puncak hingga pertengahan, bahkan hingga lereng dan lembah. Gunung ini cukup tinggi dengan kawasan bebas dari kegiatan usaha tani yang cukup luas.
Namun hal itu tak banyak berpengaruh, karena kawasan yang tak tersentuh itu pun dibiarkan kosong begitu saja, tak pernah ada program penghijauan atau sekadar memberi sosialisasi kepada masyarakat yang tinggal sekitar kawasan agar mau menanam satu atau dua batang pohon.
Sejauh ini peranan pemerintah hanya menyelesaikan masalah jangka pendek, yakni memasang pipa air dari tempat yang ada sumber airnya demi memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sedangkan untuk jangka panjang, tampaknya kurang diminati, karena bukan tak mungkin hal ini secara politis, tak begitu mendukung alias kurang berguna. Itu karena baik pemerintah maupun masyarakat selalu mengharapkan sesuatu yang instan. Sungguh jauh membayangkan ada pemerintah maupun masyarakat yang memiliki pemikiran secara moral mengenai tanggung jawab akan pelestarian lingkungan.
Di sisi lain, kebutuhan akan kayu juga kian mendesak dari hari ke hari. Dan jangan lupa, pohon yang ditebang sekarang untuk berbagai keperluan itu, bukan ditanam setahun atau dua tahun lalu, melainkan bertahun-tahun sebelumnya.
Setelah menghabisinya dalam sekejap, penjahat lingkungan ini tak sedikit pun tergerak hatinya untuk menggantinya dengan yang baru. Akibatnya, pohon yang hidup puluhan tahun itu lenyap begitu saja dan hari demi hari, suasana gerah maupun kekeringan kian terasa.
Sejauh ini pula tak ada batasan yang jelas, mana kawasan yang tak boleh diganggu. Akhirnya tanaman yang sudah tumbuh sejak puluhan tahun, ditebang tanpa ampun di sepanjang lereng gunung, dan berakhir hanya di dapur api untuk keperluan masak memasak.
Hal ini tentu tak akan jadi masalah, jika penebangan itu disusul dengan penggantian tanaman baru yang tentu saja cocok dengan kondisi sekitar. Tentu saja kita menanam tanaman keras yang tahan kekeringan.
Bila perlu setiap penebangan, selalu diiringi dengan perhitungan, tebang satu tanam tiga atau 10. Karena kondisi lahan yang ada, khususnya di lereng gunung yang cukup luas itu masih sangat memungkinkan untuk dilakukan.
Dengan penanaman yang cukup giat di sepanjang lereng Gunung Boleng, bukan tak mungkin bahwa dalam jangka waktu tertentu, mata air yang sebelumnya kering kerontang, pada akhirnya dapat muncul kembali. Kecuali kalau pelajaran ilmu alam yang kita peroleh di sekolah selama ini ternyata keliru.
Kita sangat patut prihatin, karena seiring makin menipisnya pohon-pohon di padang maupun sisa hutan yang lebih sering dibakar daripada diitanami, maka sejumlah satwa pun kian berkurang bahkan musnah.
Jika sekarang ini anda semua berkesempatan berjalan-jalan ke Puncak Gunung Boleng, maka anda sudah pasti akan kesulitan menjumpai kambing hutan atau babi hutan, termasuk beberapa jenis unggas yang sudah menyentuh taraf langka.
Dan yang lebih mengerikan lagi, terbetik berita dari kampung halaman, bahwa banyak anak muda yang berleha-leha di Puncak Gunung Boleng dan membuat banyak "kekacauan" di sana. Kita perlu berhati-hati akan hal ini, karena terlampau berat.
Jangan lupa, bahwa meski Gunung Boleng ini begitu kering kerontang, namun masih sangat terjaga secara ROHANI. Jadi jika membuat ulah yang macam-macam di tempat ini, saya pikir sulit bagi anda semua untuk mempertanggungjawabkannya.
Sedangkan terhadap apa yang terlihat pun (Kerusakan hutan) anda tak dapat berbuat apapun, apalagi terhadap hal yang ROHANI, yang tak terlihat. Hati-hati karena hal itu tak lama lagi. Terima kasih.
Kamis, 03 November 2011
KAPAL RATU ROSARI
Terserah kepada sidang pembaca, apakah ini bisa dipandang sebagai suatu keanehan atau hal yang biasa-biasa saja. Yang jelas, peristiwa ini saya alami pada 5 Juli 1986 di Kota Larantuka. Persisnya di Dermaga Larantuka dan sekitarnya.
Ketika itu saya baru pulang sekolah dari SMA PGRI Larantuka. Kekurangan lokal sekolah memaksa kami yang duduk di bangku SMA untuk sekolah sore. Tepat pukul 17.45 Wita, sekolah bubaran.
Saya pulang ke Pantai Besar, rumah Pak Thomas Boro, tempat saya menumpang selama sekolah di Larantuka. Di rumah keluarga yang sangat saya kasihi karena betapa baiknya mereka dan tentu saja jasa mereka tak akan sanggup saya balas, Ama Djou Bolly sudah menunggu. Karena menurut rencana, hari itu Ama Djou Bolly bersama keluarga akan bertolak ke Pulau Seram dengan menumpang Kapal Ratu Rosari.
Satu-satunya orang yang tak percaya adalah Pak Thomas Boro. Mungkin sesuai nama Santo Thomas yang disandangnya, Pak Thomas memang benar-benar tak percaya jika belum melihat bukti. Ratu Rosari baru seminggu lalu berangkat ke Surabaya dari Dermaga Larantuka. Jadi sekarang ini paling-paling masih dalam perjalanan ke Surabaya. Tidak mungkin datang hari ini di Pelabuhan Larantuka, '' kata Pak Thomas, sang petualang sejati yang sungguh hafal jadwal keberangkatan kapal maupun motor laut di hampir semua jalur.
Namun Ama Djou Bolly tetap tampak tenang dan memberikan kepastian bahwa hari itu kapal Ratu Rosari akan bersandar di Larantuka. Ketika aku tiba di rumah Pantai Besar, Ama Djou Bolly langsung meminta kami menyiapkan segala sesuatu untuk mengantarnya ke Dermaga Larantuka bersama keluarga.
Kami pun menyiapkan segala keperluan untuk mengantar keberangkatannya. Apalagi barang yang dibawa pun cukup banyak ditambah lagi dengan rencana Ama Djou Bolly yang akan menetap dalam jangka waktu cukup lama di Pulau Seram, atau setidak-tidaknya di Provinsi Maluku.
Kami berangkat dengan penuh tanya dalam hati, apakah mungkin ada kapal yang akan mengantar keluarga ini sampai tujuan. Sebab Pak Thomas Boro sangat yakin hari itu tak ada kapal, apalagi Kapal Ratu Rosari yang baru berangkat kira-kira sepekan lalu ke Surabaya.
Setelah kami ada dalam angkutan umum yang mengantar kami ke Dermaga Larantuka, suasana begitu sepi dalam kendaraan itu. Tak ada yang berbicara atau menyampaikan sesuatu.
Sementara dari atas angkutan umum yang meliwati jalur pinggir pantai, terlihat pandangan nun jauh di sana, tak ada kapal satu pun di Dermaga Larantuka, hanya perahu nelayan yang parkir di pantai.
Dalam beberapa menit, akhirnya sampailah kami di dermaga itu. Meski dermaga ini sungguh sepi, apalagi matahari sudah makin memerah pertanda senja pun mulai tenggelam, namun Ama Djo Bolly dengan suara yang rendah tetap meminta kami mengakut barang keperluan yang akan di bawa ke kapal yang akan mengangkut mereka ke tujuan.
''Tidak ada kapal, mana ada kapal. Benar kata Pak Thomas,'' kata Kakak Simon Kopong, salah seorang yang ikut mengantar.
Kakak Elias Masan yang ikut ngantar tampak hanya pasrah, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya sedikit tersungging senyum di bibir, seakan tak percaya bahwa kapal akan datang. Namun Ama Djou Bolly tetap menyatakan, bahwa hari itu kapal akan datang.
Sinar matahari kini hanya tampak di puncak bukit Tanjung Gemuk, Adonara. Angin yang sejuk semilir mulai terasa berhembus. Kemudian dari tengah laut sana, datang sebuah kapal dengan posisi menyamping dan langsung sandar tanpa peringatan bolak balik dari anak buah kapal.
Di lambung kapal itu tertulis, Ratu Rosari dengan huruf besar, kemudian huruf agak kecil di bawahnya, Surabaya, namun semuanya huruf kapital. Meski senja telah turun namn tiang kapal masih tampak berkilat ditimpa sisa-sisa cahaya mentari senja.
Ama Djou Bolly pun bergegas menarik lengan saya dan membawa saya ke ujung dermaga yang lainnya. Di tempat itu Ama Djou Bolly memegang kedua lengan saya dan menyampaikan beberapa pesan penting, khususnya mengenai DATANGNYA DUNIA BARU ADONARA.
Setelah itu Ama Djou Bolly langsung pamitan menuju kapal itu.
Kami membantunya memasukan barang-barang berupa pakaian, termasuk mesin jahit. Dan terakhir tikar untuk alas tidur di palka kapal.
Setelah membereskan semua itu, Ama Djou Bolly kemudian melangkah mendekati pinggiran kapal. Sebentar kemudian Ama Djou menumpukan tangannya di pinggir kapal itu, kemudian tangan yang sebelah lagi dilambaikan kepada kami. Bersamaan dengan itu, kapal yang tak menurunkan jangkar itu langsung meninggalkan Dermaga Larantuka.
Dalam sekejap saja, Dermaga Larantuka yang sempat hiruk pikuk itu sedemikian sepi. Kapal itu telah bergerak ke arah Timur menantang arus Gonsalu. Dan kami pun berjalan beriringan pulang menuju angkutan umum menuju Pantai Besar.
Kakak Elias Masan sempat menanyakan, apa saja pesan Ama Djou Bolly yang disampaikan kepada saya. Saya hanya katakan, ada beberapa pesan, namun salah satunya, bahwa Ama Djou Bolly akan kembali lagi ke Adonara 10 tahun kemudian.
''Mana Ama Djou mereka dan yang lainnya,'' tanya Pak Thomas Boro ketika kami tiba di rumah Pantai Besar.
''Mereka sudah berangkat dengan Kapal Ratu Rosari tadi,'' jawabku singkat.
''Tapi tadi dari sini kami tidak lihat ada kapal yang liwat di laut sana,'' kata Pak Thomas seakan tak percaya.
Maklumlah, Pantai Besar berada di ketinggian menghadap laut lepas yang ada di depaan. Jadi jangankan kapal besar, bahkan motor dari dan ke Waiwerang, Adonara ataupun perahu nelayan pun sungguh mudah dipantau dari tempat ini.
''Tapi mereka memang sudah berangkat semuanya, dengan kapal Ratu Rosari,'' jawabku lagi menegaskan.
Dahi Pak Thomas tampak agak berkerut. Seakan tak percaya, Pak Thomas hanya bergumam, ''Bagaimana bisa begitu ya? Kapal Ratu Rosari kan belum seminggu ini ke Surabaya,'' ujarnya seakan pada diri sendiri.
Apapun yang terjadi, dan bagaimana pun terjadinya, ketika itu memang Ama Djou Bolly beserta keluarga berangkat ke Ambon. Cerita ini kusampaikan kepadamu sekadar berbagi sebuah peristiwa yang menurutku sendiri tidak lazim. Anda percaya atau tidak, itu terserah anda. Selagalas, 4 November 2011.
Ketika itu saya baru pulang sekolah dari SMA PGRI Larantuka. Kekurangan lokal sekolah memaksa kami yang duduk di bangku SMA untuk sekolah sore. Tepat pukul 17.45 Wita, sekolah bubaran.
Saya pulang ke Pantai Besar, rumah Pak Thomas Boro, tempat saya menumpang selama sekolah di Larantuka. Di rumah keluarga yang sangat saya kasihi karena betapa baiknya mereka dan tentu saja jasa mereka tak akan sanggup saya balas, Ama Djou Bolly sudah menunggu. Karena menurut rencana, hari itu Ama Djou Bolly bersama keluarga akan bertolak ke Pulau Seram dengan menumpang Kapal Ratu Rosari.
Satu-satunya orang yang tak percaya adalah Pak Thomas Boro. Mungkin sesuai nama Santo Thomas yang disandangnya, Pak Thomas memang benar-benar tak percaya jika belum melihat bukti. Ratu Rosari baru seminggu lalu berangkat ke Surabaya dari Dermaga Larantuka. Jadi sekarang ini paling-paling masih dalam perjalanan ke Surabaya. Tidak mungkin datang hari ini di Pelabuhan Larantuka, '' kata Pak Thomas, sang petualang sejati yang sungguh hafal jadwal keberangkatan kapal maupun motor laut di hampir semua jalur.
Namun Ama Djou Bolly tetap tampak tenang dan memberikan kepastian bahwa hari itu kapal Ratu Rosari akan bersandar di Larantuka. Ketika aku tiba di rumah Pantai Besar, Ama Djou Bolly langsung meminta kami menyiapkan segala sesuatu untuk mengantarnya ke Dermaga Larantuka bersama keluarga.
Kami pun menyiapkan segala keperluan untuk mengantar keberangkatannya. Apalagi barang yang dibawa pun cukup banyak ditambah lagi dengan rencana Ama Djou Bolly yang akan menetap dalam jangka waktu cukup lama di Pulau Seram, atau setidak-tidaknya di Provinsi Maluku.
Kami berangkat dengan penuh tanya dalam hati, apakah mungkin ada kapal yang akan mengantar keluarga ini sampai tujuan. Sebab Pak Thomas Boro sangat yakin hari itu tak ada kapal, apalagi Kapal Ratu Rosari yang baru berangkat kira-kira sepekan lalu ke Surabaya.
Setelah kami ada dalam angkutan umum yang mengantar kami ke Dermaga Larantuka, suasana begitu sepi dalam kendaraan itu. Tak ada yang berbicara atau menyampaikan sesuatu.
Sementara dari atas angkutan umum yang meliwati jalur pinggir pantai, terlihat pandangan nun jauh di sana, tak ada kapal satu pun di Dermaga Larantuka, hanya perahu nelayan yang parkir di pantai.
Dalam beberapa menit, akhirnya sampailah kami di dermaga itu. Meski dermaga ini sungguh sepi, apalagi matahari sudah makin memerah pertanda senja pun mulai tenggelam, namun Ama Djo Bolly dengan suara yang rendah tetap meminta kami mengakut barang keperluan yang akan di bawa ke kapal yang akan mengangkut mereka ke tujuan.
''Tidak ada kapal, mana ada kapal. Benar kata Pak Thomas,'' kata Kakak Simon Kopong, salah seorang yang ikut mengantar.
Kakak Elias Masan yang ikut ngantar tampak hanya pasrah, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya sedikit tersungging senyum di bibir, seakan tak percaya bahwa kapal akan datang. Namun Ama Djou Bolly tetap menyatakan, bahwa hari itu kapal akan datang.
Sinar matahari kini hanya tampak di puncak bukit Tanjung Gemuk, Adonara. Angin yang sejuk semilir mulai terasa berhembus. Kemudian dari tengah laut sana, datang sebuah kapal dengan posisi menyamping dan langsung sandar tanpa peringatan bolak balik dari anak buah kapal.
Di lambung kapal itu tertulis, Ratu Rosari dengan huruf besar, kemudian huruf agak kecil di bawahnya, Surabaya, namun semuanya huruf kapital. Meski senja telah turun namn tiang kapal masih tampak berkilat ditimpa sisa-sisa cahaya mentari senja.
Ama Djou Bolly pun bergegas menarik lengan saya dan membawa saya ke ujung dermaga yang lainnya. Di tempat itu Ama Djou Bolly memegang kedua lengan saya dan menyampaikan beberapa pesan penting, khususnya mengenai DATANGNYA DUNIA BARU ADONARA.
Setelah itu Ama Djou Bolly langsung pamitan menuju kapal itu.
Kami membantunya memasukan barang-barang berupa pakaian, termasuk mesin jahit. Dan terakhir tikar untuk alas tidur di palka kapal.
Setelah membereskan semua itu, Ama Djou Bolly kemudian melangkah mendekati pinggiran kapal. Sebentar kemudian Ama Djou menumpukan tangannya di pinggir kapal itu, kemudian tangan yang sebelah lagi dilambaikan kepada kami. Bersamaan dengan itu, kapal yang tak menurunkan jangkar itu langsung meninggalkan Dermaga Larantuka.
Dalam sekejap saja, Dermaga Larantuka yang sempat hiruk pikuk itu sedemikian sepi. Kapal itu telah bergerak ke arah Timur menantang arus Gonsalu. Dan kami pun berjalan beriringan pulang menuju angkutan umum menuju Pantai Besar.
Kakak Elias Masan sempat menanyakan, apa saja pesan Ama Djou Bolly yang disampaikan kepada saya. Saya hanya katakan, ada beberapa pesan, namun salah satunya, bahwa Ama Djou Bolly akan kembali lagi ke Adonara 10 tahun kemudian.
''Mana Ama Djou mereka dan yang lainnya,'' tanya Pak Thomas Boro ketika kami tiba di rumah Pantai Besar.
''Mereka sudah berangkat dengan Kapal Ratu Rosari tadi,'' jawabku singkat.
''Tapi tadi dari sini kami tidak lihat ada kapal yang liwat di laut sana,'' kata Pak Thomas seakan tak percaya.
Maklumlah, Pantai Besar berada di ketinggian menghadap laut lepas yang ada di depaan. Jadi jangankan kapal besar, bahkan motor dari dan ke Waiwerang, Adonara ataupun perahu nelayan pun sungguh mudah dipantau dari tempat ini.
''Tapi mereka memang sudah berangkat semuanya, dengan kapal Ratu Rosari,'' jawabku lagi menegaskan.
Dahi Pak Thomas tampak agak berkerut. Seakan tak percaya, Pak Thomas hanya bergumam, ''Bagaimana bisa begitu ya? Kapal Ratu Rosari kan belum seminggu ini ke Surabaya,'' ujarnya seakan pada diri sendiri.
Apapun yang terjadi, dan bagaimana pun terjadinya, ketika itu memang Ama Djou Bolly beserta keluarga berangkat ke Ambon. Cerita ini kusampaikan kepadamu sekadar berbagi sebuah peristiwa yang menurutku sendiri tidak lazim. Anda percaya atau tidak, itu terserah anda. Selagalas, 4 November 2011.
Rabu, 02 November 2011
TAPAL BATAS
Dengan darah, sejengkal tanah dipertahankan. Maka bicara tentang tanah, sama saja dengan bicara tentang darah. Hal yang sensitif ini harus diselesaikan dengan baik, jika tidak maka akan kembali kepada penyelesaian asal yakni darah.
Apa penyelesaian yang baik itu? Satu-satunya cara yang masih tersisa, selain penyelesaian dengan darah yang menjadi puncak penyelesaian setelah segala jalan tak bisa ditempuh, yakni mengurai sejarah. Jika sejarah dapat dipaparkan dengan baik, diberikan penjelasan yang hakiki, dan diletakan pada dasarnya yang wajar, maka kita akan paham, mana yang sepatutnya berhak dan mana yang tak sepatutnya berhak.
Dengan demikian, tak akan terjadi pertumpahan darah sebagaimana yang dikhawatirkan, karena batas tanah sekali lagi merupakan hal yang terlampau sensitif. Ini ditunjang lagi dengan bukti kepemilikan yang tak tertulis seperti sertifikat.
Kepemilikan atas tanah di tempat ini, berdasarkan sumpah para pendahulu yang mewariskan tanah itu. Jadi jika ada yang main-main dengan batas tanah, maka yang bersangkutan akan berurusan dengan sumpah yang melekat atas tanah itu.
Juga perlu diingat bahwa apa sumpah yang terucap, tak ada yang tahu, karena disampaikan dengan gaya lisan. Maka penyelesaian atas sengketa batas tanah pun sedemikian runyam. Bukti kepemilikan tanah akhirnya beralih pertaruhan yang murni.Jika benar maka tegak, jika salah maka gugur. Demikianlah adanya hukum adat di Adonara menyelesaikan perkara. Tapi itu dulu. Namun jika di zaman ini masih ada yang ngotot juga, bukan tak mungkin hal serupa akan terulang. Karena hal ini sepertinya sudah menjadi darah daging di Adonara.
Zaman ini, ketika hukum ditegakan dalam keadaan miring sana miring sini, yang benar dapat disalahkan, yang salah dapat dibenarkan karena berbagai cara, maka tidak demikian dengan sejarah. Zaman ini, asal ada uang maka penentu keadilan dapat disogok beberapa rupiah untuk membelokan keadilan. Maka zaman dulu, ditentukan dengan darah. Jika benar maka tetap tegak di atas tanah itu, jika salah namun tetap ngotot maka akan terkapar.
Hal yang sedang diuraikan ini bukanlah menyangkut suatu batas tanah di suatu negara yang begini luas, tetapi soal batas tanah di pulau nun jauh di sana, di Pulau Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Meski berada dalam suatu wilayah kabupaten di dalam negara ini yang telah memiliki hukum negara untuk menentukan segala hukum dan aturan soal hak milik, namun orang Adonara juga punya aturan sendiri yang sudah ada sejak dulu, entah kapan.
Yang jelas ini aturan warisan yang tetap dipegang teguh, dan tak pernah lekang dimakan zaman. Putusan hakim di dalam ruang sidang, hanya dianggap sebagai sinetron. karena dianggap telah kehilangan dasarnya yang murni?
Mengapa? Karena putusan hakim di dalam ruang sidang yang digelar di atas dunia ini, bisa berubah warna seperti bunglon sesuai situasi. Bisa putih, hitam, bahkan abu-abu.
Bagi orang Adonara, memungkiri aturan adat Adonara sama saja dengan memungkiri diri sendiri, karena setiap jengkal tanah dipertahankan dengan darah.
Aturan di atas kertas boleh ngoceh tentang kebenaran sampai ke ujung langit, tapi sanggupkah aturan itu berhadapan dengan PENGADILAN DUNIA BAWAH TANAH? Inilah yang menjadi patokan paling akhir, yang membuat orang berpikir ribuan kali jika mau melanggar batas tanah, bahkan pelanggaran-pelanggaran lainnya tergantung kadar pelanggaran.
Jika Kitab Suci telah memiliki aturan sendiri soal batas tanah, maka demikian pula aturan adat. Dan kedua aturan itu untuk masyarakat Adonara tampaknya tak terlampau berseberangan, meski aturan adat memang jauh lebih keras dan tegas jika dibandingkan kitab suci.
Kitab suci memang melarang dengan sangat tegas, namun aturan adat disertai sanksi adat yang boleh dikatakan sangat mengerikan Seperti yang diuraikan sebelumnya, tanah = darah.
Di zaman ini, ketika makin banyak orang yang sekolah dan mempelajari aturan yang dibuat negara, beserta segala cara meloloskan diri jika terlibat masalah, orang mulai mencari-cari cara juga untuk mendapatkan sesuatu yang bukan hak.
Apakah demikian juga terjadi di Adonara? Saya pikir hanya orang yang punya nyawa rangkap 10 saja seperti Rahwana yang berani melakukan hal itu. Karena sanksi adat sangat nyata, dan itu berlangsung di segala zaman.
Dapatkah seseorang atau sekelompok orang mengakui sebidang tanah apalagi suatu kawasan sebagai miliknya sementara yang bersangkutan tak tahu sama sekali sejarah atas tanah itu? Adonara tidaklah terlalu luas, dan bagaimana sejarah tanah milik masing-masing lewo yang ada di dalamnya, sungguh sangat jelas.
Jika di kemudian hari tiba-tiba ada yang mengklaim tanah itu sebagai milik tanpa latar sejarah yang jelas, maka inilah yang tampaknya menjadi cikal bakal pertumpahan darah baru di era modern.
Sementara itu, penyelesaian tapal batas dengan menggunakan aturan pemerinta/negara, tampaknya kurang bahkan tak berpengaruh di dalam hukum adat Adonara. Karena itu, penyelesaian melalui jalur pemerintah, bukannya berujung penyelesaian melainkan menambah bara di atasnya.
Satu-satunya untuk menghentikan segala kekacauan ini yakni penyelesaian secara adat istiadat, Jika zaman sebelumnya masing-masing orang berdiri di tapal batas dengan reket masing-masing untuk membuktikan kebenarannnya menurut hukum Adonara, maka ada pula jalan yang tak harus berhadapan langsung dengan reket. Yakni Sumpah di depan Nuba.
Di tempat itulah para pihak dapat mengangkat sumpah satu sama lain untuk menegaskan tapal batas masing-masing sesuai latar sejarah. Masalah yang muncul kemudian yakni, dimanakah sumpah itu akan dilaksanakan dan di depan Nuba yang mana. Jika tak ketemu lagi jalan yang sesuai maka satu-satunya jalan yakni mendirikan Oring Geraran dan Paha Eken serta peri Nobo di tapal batas yang diakui...
Lebih lanjut, kita semua tak akan sanggup menjamin, apakah yang akan terjadi kemudian. Jika bukan "ata tani maka ata geka." Itu saja. Dan lebih dari semuanya itu, akan lebih baik jika yang merasa tak tahu latar sejarah dan tak berhak, sebaiknya jauh-jauh hari mundur dan melakukan perdamaian. Karena ini jalan paling baik, tanpa korban sama sekali, selain korban beberapa ekor hewan untuk upacara perdamaian. Manakah yang anda pilih....??? Selagalas, 3 November 2011
Apa penyelesaian yang baik itu? Satu-satunya cara yang masih tersisa, selain penyelesaian dengan darah yang menjadi puncak penyelesaian setelah segala jalan tak bisa ditempuh, yakni mengurai sejarah. Jika sejarah dapat dipaparkan dengan baik, diberikan penjelasan yang hakiki, dan diletakan pada dasarnya yang wajar, maka kita akan paham, mana yang sepatutnya berhak dan mana yang tak sepatutnya berhak.
Dengan demikian, tak akan terjadi pertumpahan darah sebagaimana yang dikhawatirkan, karena batas tanah sekali lagi merupakan hal yang terlampau sensitif. Ini ditunjang lagi dengan bukti kepemilikan yang tak tertulis seperti sertifikat.
Kepemilikan atas tanah di tempat ini, berdasarkan sumpah para pendahulu yang mewariskan tanah itu. Jadi jika ada yang main-main dengan batas tanah, maka yang bersangkutan akan berurusan dengan sumpah yang melekat atas tanah itu.
Juga perlu diingat bahwa apa sumpah yang terucap, tak ada yang tahu, karena disampaikan dengan gaya lisan. Maka penyelesaian atas sengketa batas tanah pun sedemikian runyam. Bukti kepemilikan tanah akhirnya beralih pertaruhan yang murni.Jika benar maka tegak, jika salah maka gugur. Demikianlah adanya hukum adat di Adonara menyelesaikan perkara. Tapi itu dulu. Namun jika di zaman ini masih ada yang ngotot juga, bukan tak mungkin hal serupa akan terulang. Karena hal ini sepertinya sudah menjadi darah daging di Adonara.
Zaman ini, ketika hukum ditegakan dalam keadaan miring sana miring sini, yang benar dapat disalahkan, yang salah dapat dibenarkan karena berbagai cara, maka tidak demikian dengan sejarah. Zaman ini, asal ada uang maka penentu keadilan dapat disogok beberapa rupiah untuk membelokan keadilan. Maka zaman dulu, ditentukan dengan darah. Jika benar maka tetap tegak di atas tanah itu, jika salah namun tetap ngotot maka akan terkapar.
Hal yang sedang diuraikan ini bukanlah menyangkut suatu batas tanah di suatu negara yang begini luas, tetapi soal batas tanah di pulau nun jauh di sana, di Pulau Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Meski berada dalam suatu wilayah kabupaten di dalam negara ini yang telah memiliki hukum negara untuk menentukan segala hukum dan aturan soal hak milik, namun orang Adonara juga punya aturan sendiri yang sudah ada sejak dulu, entah kapan.
Yang jelas ini aturan warisan yang tetap dipegang teguh, dan tak pernah lekang dimakan zaman. Putusan hakim di dalam ruang sidang, hanya dianggap sebagai sinetron. karena dianggap telah kehilangan dasarnya yang murni?
Mengapa? Karena putusan hakim di dalam ruang sidang yang digelar di atas dunia ini, bisa berubah warna seperti bunglon sesuai situasi. Bisa putih, hitam, bahkan abu-abu.
Bagi orang Adonara, memungkiri aturan adat Adonara sama saja dengan memungkiri diri sendiri, karena setiap jengkal tanah dipertahankan dengan darah.
Aturan di atas kertas boleh ngoceh tentang kebenaran sampai ke ujung langit, tapi sanggupkah aturan itu berhadapan dengan PENGADILAN DUNIA BAWAH TANAH? Inilah yang menjadi patokan paling akhir, yang membuat orang berpikir ribuan kali jika mau melanggar batas tanah, bahkan pelanggaran-pelanggaran lainnya tergantung kadar pelanggaran.
Jika Kitab Suci telah memiliki aturan sendiri soal batas tanah, maka demikian pula aturan adat. Dan kedua aturan itu untuk masyarakat Adonara tampaknya tak terlampau berseberangan, meski aturan adat memang jauh lebih keras dan tegas jika dibandingkan kitab suci.
Kitab suci memang melarang dengan sangat tegas, namun aturan adat disertai sanksi adat yang boleh dikatakan sangat mengerikan Seperti yang diuraikan sebelumnya, tanah = darah.
Di zaman ini, ketika makin banyak orang yang sekolah dan mempelajari aturan yang dibuat negara, beserta segala cara meloloskan diri jika terlibat masalah, orang mulai mencari-cari cara juga untuk mendapatkan sesuatu yang bukan hak.
Apakah demikian juga terjadi di Adonara? Saya pikir hanya orang yang punya nyawa rangkap 10 saja seperti Rahwana yang berani melakukan hal itu. Karena sanksi adat sangat nyata, dan itu berlangsung di segala zaman.
Dapatkah seseorang atau sekelompok orang mengakui sebidang tanah apalagi suatu kawasan sebagai miliknya sementara yang bersangkutan tak tahu sama sekali sejarah atas tanah itu? Adonara tidaklah terlalu luas, dan bagaimana sejarah tanah milik masing-masing lewo yang ada di dalamnya, sungguh sangat jelas.
Jika di kemudian hari tiba-tiba ada yang mengklaim tanah itu sebagai milik tanpa latar sejarah yang jelas, maka inilah yang tampaknya menjadi cikal bakal pertumpahan darah baru di era modern.
Sementara itu, penyelesaian tapal batas dengan menggunakan aturan pemerinta/negara, tampaknya kurang bahkan tak berpengaruh di dalam hukum adat Adonara. Karena itu, penyelesaian melalui jalur pemerintah, bukannya berujung penyelesaian melainkan menambah bara di atasnya.
Satu-satunya untuk menghentikan segala kekacauan ini yakni penyelesaian secara adat istiadat, Jika zaman sebelumnya masing-masing orang berdiri di tapal batas dengan reket masing-masing untuk membuktikan kebenarannnya menurut hukum Adonara, maka ada pula jalan yang tak harus berhadapan langsung dengan reket. Yakni Sumpah di depan Nuba.
Di tempat itulah para pihak dapat mengangkat sumpah satu sama lain untuk menegaskan tapal batas masing-masing sesuai latar sejarah. Masalah yang muncul kemudian yakni, dimanakah sumpah itu akan dilaksanakan dan di depan Nuba yang mana. Jika tak ketemu lagi jalan yang sesuai maka satu-satunya jalan yakni mendirikan Oring Geraran dan Paha Eken serta peri Nobo di tapal batas yang diakui...
Lebih lanjut, kita semua tak akan sanggup menjamin, apakah yang akan terjadi kemudian. Jika bukan "ata tani maka ata geka." Itu saja. Dan lebih dari semuanya itu, akan lebih baik jika yang merasa tak tahu latar sejarah dan tak berhak, sebaiknya jauh-jauh hari mundur dan melakukan perdamaian. Karena ini jalan paling baik, tanpa korban sama sekali, selain korban beberapa ekor hewan untuk upacara perdamaian. Manakah yang anda pilih....??? Selagalas, 3 November 2011
Selasa, 01 November 2011
DUNIA BARU
Ketika manusia jatuh dalam dosa, maka Tuhan menciptakan dunia baru bagi manusia. Manusia tak lagi tinggal di Firdaus yang serba ada. Mereka didepak keluar dari taman yang menjadi impian umat manusia yang menghuni bumi sekarang ini maupun manusia di zaman jauh sebelum ini.
Terhadap manusia pertama beserta keturunannya, masih berlimpah berkat yang luar biasa. Kemudian datanglah masa kegelapan lagi. Bumi harus disucibersihkan dari manusia yang terlalu banyak yang hidupnya sudah tidak karuan.
Tuhan juga mengadili Sodom dan Gomorah dengan api. Barang siapa yang masih menghendaki apa yang ada di dalamnya dan menoleh untuk mengambil sesuatu di dalamnya, akan menjadi tiang garam.
Ada pula kota yang masih dapat diselamatkan seperti Niniwe yang mau mendengar peringatan Tuhan melalui Nabi Yunus
Manusia yang jatuh bangun dengan nafsunya yang berkobar ini, juga jatuh sangat jauh sehingga butuh pembersihan cukup total. Tuhan mengirim air bah, namun menyelamatkan Nabi Nuh beserta keluarga dan kerabatnya, termasuk segala hewan peliharaannya dan lain sebagainya.
Pembersihan demi pembersihan mulai muncul di segala zaman dalam berbagai bentuk dan ragam.Gempa bumi, perang, kelaparan,dan lain sebagainya menjadi warna lain dalam pengadilan baru untuk sebuah dunia baru.
Semua itu ada dalam Kitab Suci Injil. Lantas bagaimana dengan keseharian kita di zaman ini? Zaman ketika pemberitahuan akan hal ini telah disampaikan ribuan tahun lalu?
Bahwa akan ada dunia baru. Entah seperti apa bentuknya, dan seperti apa nanti manusia yang ada di dalamnya.
Namun patokannya, tetap sama saja dari dahulu kala, bahwa yang masuk dalam dunia baru hanyalah manusia yang lolos seleksi. Jika tak lolos seleksi, tak mungkin akan masuk dalam dunia baru.
Bicara tentang dunia baru, seakan sebuah bayang-bayang, siapakah yang tahu, dan siapakah yang menjaminnya? Namun jaminan dunia baru sangat jelas, yakni jaminan akan kehdupan yang penuh dengan kasih, suka cita, dan damai sejahtera.
Dunia baru hanya memuat hal ini. Jika masih ada pertentangan atau perselisihan maka dunia baru hanyalah berisi bayang-bayang kiamat yang datang dan perginya pun serba misterius.
Bagi manusia yang hidup dalam suasana kasih,sukacita, dan damai sejahtera, maka hari-hari hdupnya dipakai untuk menantikan apa yang disebut sebagai dunia baru itu. Dunia yang bebas dari rasa dengki, iri, dan benci. Bahkan tanpa disadarinya, sebenarnya dia sudah ada dalam dunia itu seraya menanti kepenuhan.
Dunia yang menyatukan semua hati dalam kasih sayang yang penuh. Tiada lagi saling curiga atau berprasangka. Dunia yang begitu sulit diukur takarannya dengan kondisi dunia saat ini yang penuh dengan wabah penyakit, kelaparan, perang, dan bencana-bencana.
Manusia bukan tak mungkin melangkah ke sana, namun seperti menyeberangi lautan orang butuh kapal, maka menyeberang ke dunia baru pun butuh sarana bahkan jika menganut konsep Krstiani, manusia butuh diselamatkan.
Sekarang, jika ada orang mulai berseru di padang gurun kehidupan ini, Luruskanlah Jalan Tuhan, Ratakanlah lorong-lorong. Setiap lekukan harus ditimbun. karena Dia yang telah ditetapkan sejak zaman prbakala dan para nabi, akan datang menyelamatkan dunia, janganlah manusia terus menutup telinganya dan membutakan matanya, atau membendung dengan sekuat tenaga suara itu dengan dentuman musik dari ruang dugem yang gegap gempita.
Hal itu bukan tak boleh, namun di zaman yang menjelang akan berakhir ini, perlu ada upaya memanfaatkan waktu yang tersisa untuk mendengarkan suara yang dikumandangkan sedemikian lantang dari padang gurun kehidupan ini.
Padang gurun di zaman Yohanes Pembaptis, memang benar-benar padang gurun, sebagaimana Yohanes pun makan belalang dan madu hutan. Namun bukan mustahil, kehidupan zaman ini yang dilanda krisis iman, maupun krisis hidup karena banyak orang lebih senang bermain-main di bibir maut, dapat pula diartikan sebagai padang gurun kehidupan yang sedemikian haus akan setetes kasih sayang, apalagi suka cita, dan damai sejahtera.
Siapakah suara yang berseru-seru di zaman ini, dari gurun kehidupan yang panas mencekam itu? Dengarkanlah suaranya segeralah ambil langkah sebelum semuanya terjadi, karena akan ada penyesalan panjang jika segalanya telah terjadi.
Sebagaimana Yohanes Pembabtis ditolak dan dipertanyakan kuasanya saat membaptis orang termasuk membaptis Yesus, demikian pula Yohanes Pembaptis zaman ini, yang akan datang dengan suara yang lantang dari padang gurun kehidupan, menantang para penguasa tamak, dan farisi-farisi berjubah panjang yang berbaris di loteng rumah ibadat.
Segeralah buka mata dan siagalah, karena hal ini berlangsung dalam waktu yang cukup sulit diterka. ....Demikian dan harap maklum..serta terserah padamu.....Selagalas, 2 November 2011.
Terhadap manusia pertama beserta keturunannya, masih berlimpah berkat yang luar biasa. Kemudian datanglah masa kegelapan lagi. Bumi harus disucibersihkan dari manusia yang terlalu banyak yang hidupnya sudah tidak karuan.
Tuhan juga mengadili Sodom dan Gomorah dengan api. Barang siapa yang masih menghendaki apa yang ada di dalamnya dan menoleh untuk mengambil sesuatu di dalamnya, akan menjadi tiang garam.
Ada pula kota yang masih dapat diselamatkan seperti Niniwe yang mau mendengar peringatan Tuhan melalui Nabi Yunus
Manusia yang jatuh bangun dengan nafsunya yang berkobar ini, juga jatuh sangat jauh sehingga butuh pembersihan cukup total. Tuhan mengirim air bah, namun menyelamatkan Nabi Nuh beserta keluarga dan kerabatnya, termasuk segala hewan peliharaannya dan lain sebagainya.
Pembersihan demi pembersihan mulai muncul di segala zaman dalam berbagai bentuk dan ragam.Gempa bumi, perang, kelaparan,dan lain sebagainya menjadi warna lain dalam pengadilan baru untuk sebuah dunia baru.
Semua itu ada dalam Kitab Suci Injil. Lantas bagaimana dengan keseharian kita di zaman ini? Zaman ketika pemberitahuan akan hal ini telah disampaikan ribuan tahun lalu?
Bahwa akan ada dunia baru. Entah seperti apa bentuknya, dan seperti apa nanti manusia yang ada di dalamnya.
Namun patokannya, tetap sama saja dari dahulu kala, bahwa yang masuk dalam dunia baru hanyalah manusia yang lolos seleksi. Jika tak lolos seleksi, tak mungkin akan masuk dalam dunia baru.
Bicara tentang dunia baru, seakan sebuah bayang-bayang, siapakah yang tahu, dan siapakah yang menjaminnya? Namun jaminan dunia baru sangat jelas, yakni jaminan akan kehdupan yang penuh dengan kasih, suka cita, dan damai sejahtera.
Dunia baru hanya memuat hal ini. Jika masih ada pertentangan atau perselisihan maka dunia baru hanyalah berisi bayang-bayang kiamat yang datang dan perginya pun serba misterius.
Bagi manusia yang hidup dalam suasana kasih,sukacita, dan damai sejahtera, maka hari-hari hdupnya dipakai untuk menantikan apa yang disebut sebagai dunia baru itu. Dunia yang bebas dari rasa dengki, iri, dan benci. Bahkan tanpa disadarinya, sebenarnya dia sudah ada dalam dunia itu seraya menanti kepenuhan.
Dunia yang menyatukan semua hati dalam kasih sayang yang penuh. Tiada lagi saling curiga atau berprasangka. Dunia yang begitu sulit diukur takarannya dengan kondisi dunia saat ini yang penuh dengan wabah penyakit, kelaparan, perang, dan bencana-bencana.
Manusia bukan tak mungkin melangkah ke sana, namun seperti menyeberangi lautan orang butuh kapal, maka menyeberang ke dunia baru pun butuh sarana bahkan jika menganut konsep Krstiani, manusia butuh diselamatkan.
Sekarang, jika ada orang mulai berseru di padang gurun kehidupan ini, Luruskanlah Jalan Tuhan, Ratakanlah lorong-lorong. Setiap lekukan harus ditimbun. karena Dia yang telah ditetapkan sejak zaman prbakala dan para nabi, akan datang menyelamatkan dunia, janganlah manusia terus menutup telinganya dan membutakan matanya, atau membendung dengan sekuat tenaga suara itu dengan dentuman musik dari ruang dugem yang gegap gempita.
Hal itu bukan tak boleh, namun di zaman yang menjelang akan berakhir ini, perlu ada upaya memanfaatkan waktu yang tersisa untuk mendengarkan suara yang dikumandangkan sedemikian lantang dari padang gurun kehidupan ini.
Padang gurun di zaman Yohanes Pembaptis, memang benar-benar padang gurun, sebagaimana Yohanes pun makan belalang dan madu hutan. Namun bukan mustahil, kehidupan zaman ini yang dilanda krisis iman, maupun krisis hidup karena banyak orang lebih senang bermain-main di bibir maut, dapat pula diartikan sebagai padang gurun kehidupan yang sedemikian haus akan setetes kasih sayang, apalagi suka cita, dan damai sejahtera.
Siapakah suara yang berseru-seru di zaman ini, dari gurun kehidupan yang panas mencekam itu? Dengarkanlah suaranya segeralah ambil langkah sebelum semuanya terjadi, karena akan ada penyesalan panjang jika segalanya telah terjadi.
Sebagaimana Yohanes Pembabtis ditolak dan dipertanyakan kuasanya saat membaptis orang termasuk membaptis Yesus, demikian pula Yohanes Pembaptis zaman ini, yang akan datang dengan suara yang lantang dari padang gurun kehidupan, menantang para penguasa tamak, dan farisi-farisi berjubah panjang yang berbaris di loteng rumah ibadat.
Segeralah buka mata dan siagalah, karena hal ini berlangsung dalam waktu yang cukup sulit diterka. ....Demikian dan harap maklum..serta terserah padamu.....Selagalas, 2 November 2011.
Langganan:
Postingan (Atom)