Total Tayangan Halaman

Jumat, 04 November 2011

YANG MASIH TERJAGA ITU

Suara-suara serak dari balik fatamorgana yang membakar ubun-ubun, makin terlihat nyata di sepanjang jalan. Kekeringan yang melanda akibat kegemaran aneh dari orang-orang aneh yang suka membakar.
Tak hanya membakar, tapi juga merusak dengan alasan, kayu itu akan dipakai merehab pondok di kebunnya, atau membuat kusen pintu dan jendela rumah, atau lebih sadis lagi, bahkan dijual untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Meski tanaman semakin kering dan meranggas, bahkan kesulitan air minum hingga puluhan bahkan ratusan tahun turun temurun, hal itu tak pernah membuat orang sadar untuk cinta akan kelestarian lingkungan.
Yang justru terjadi yakni malah keinginan dan nafsu yang kian bergelora untuk menghabiskan apa yang tersisa. Sisa-sisa pohon yang masih berdiri di tengah padang yang tandus, yang daunnya meliuk ke sana-kemnari diterpa angin panas kemarau, hendak ditamatkan pula riwayatnya demi sebuah nafsu.
Entah mengapa kegemaran merusak hutan ini justru ada di tengah manusia yang tinggal di kawasan tandus. Bukit yang gundul, tanah yang kini hilang humusnya karena lebih banyak dipakai menanam jambu mete, tak juga menyadarkan masyarakat bahwa tak hanya wabah kelaparan yang akan menimpa, tapi juga wabah kekeringan.
Memang di bagian lain dari pulau yang kecil ini, masih tersisa seonggok hutan yang menjadi penyangga air di seluruh pulau. Namun mata air yang menjadi milik pribadi, cukup menyulitkan untuk dilaksanakan pelestarian secara menyelujruh.
Belum lagi belum ada pengaturan yang jelas, sebenarnya di mana tanah pribadi dan sampai batas mana tanah yang semestinya menjadi kawasan hutan tutupan.
Marilah kita menyempatkan diri sesaat menatap Gunung Boleng yang gundul sejak dari kawasan puncak hingga pertengahan, bahkan hingga lereng dan lembah. Gunung ini cukup tinggi dengan kawasan bebas dari kegiatan usaha tani yang cukup luas.
Namun hal itu tak banyak berpengaruh, karena kawasan yang tak tersentuh itu pun dibiarkan kosong begitu saja, tak pernah ada program penghijauan atau sekadar memberi sosialisasi kepada masyarakat yang tinggal sekitar kawasan agar mau menanam satu atau dua batang pohon.
Sejauh ini peranan pemerintah hanya menyelesaikan masalah jangka pendek, yakni memasang pipa air dari tempat yang ada sumber airnya demi memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sedangkan untuk jangka panjang, tampaknya kurang diminati, karena bukan tak mungkin hal ini secara politis, tak begitu mendukung alias kurang berguna. Itu karena baik pemerintah maupun masyarakat selalu mengharapkan sesuatu yang instan. Sungguh jauh membayangkan ada pemerintah maupun masyarakat yang memiliki pemikiran secara moral mengenai tanggung jawab akan pelestarian lingkungan.
Di sisi lain, kebutuhan akan kayu juga kian mendesak dari hari ke hari. Dan jangan lupa, pohon yang ditebang sekarang untuk berbagai keperluan itu, bukan ditanam setahun atau dua tahun lalu, melainkan bertahun-tahun sebelumnya.
Setelah menghabisinya dalam sekejap, penjahat lingkungan ini tak sedikit pun tergerak hatinya untuk menggantinya dengan yang baru. Akibatnya, pohon yang hidup puluhan tahun itu lenyap begitu saja dan hari demi hari, suasana gerah maupun kekeringan kian terasa.
Sejauh ini pula tak ada batasan yang jelas, mana kawasan yang tak boleh diganggu. Akhirnya tanaman yang sudah tumbuh sejak puluhan tahun, ditebang tanpa ampun di sepanjang lereng gunung, dan berakhir hanya di dapur api untuk keperluan masak memasak.
Hal ini tentu tak akan jadi masalah, jika penebangan itu disusul dengan penggantian tanaman baru yang tentu saja cocok dengan kondisi sekitar. Tentu saja kita menanam tanaman keras yang tahan kekeringan.
Bila perlu setiap penebangan, selalu diiringi dengan perhitungan, tebang satu tanam tiga atau 10. Karena kondisi lahan yang ada, khususnya di lereng gunung yang cukup luas itu masih sangat memungkinkan untuk dilakukan.
Dengan penanaman yang cukup giat di sepanjang lereng Gunung Boleng, bukan tak mungkin bahwa dalam jangka waktu tertentu, mata air yang sebelumnya kering kerontang, pada akhirnya dapat muncul kembali. Kecuali kalau pelajaran ilmu alam yang kita peroleh di sekolah selama ini ternyata keliru.
Kita sangat patut prihatin, karena seiring makin menipisnya pohon-pohon di padang maupun sisa hutan yang lebih sering dibakar daripada diitanami, maka sejumlah satwa pun kian berkurang bahkan musnah.
Jika sekarang ini anda semua berkesempatan berjalan-jalan ke Puncak Gunung Boleng, maka anda sudah pasti akan kesulitan menjumpai kambing hutan atau babi hutan, termasuk beberapa jenis unggas yang sudah menyentuh taraf langka.
Dan yang lebih mengerikan lagi, terbetik berita dari kampung halaman, bahwa banyak anak muda yang berleha-leha di Puncak Gunung Boleng dan membuat banyak "kekacauan" di sana. Kita perlu berhati-hati akan hal ini, karena terlampau berat.
Jangan lupa, bahwa meski Gunung Boleng ini begitu kering kerontang, namun masih sangat terjaga secara ROHANI. Jadi jika membuat ulah yang macam-macam di tempat ini, saya pikir sulit bagi anda semua untuk mempertanggungjawabkannya.
Sedangkan terhadap apa yang terlihat pun (Kerusakan hutan) anda tak dapat berbuat apapun, apalagi terhadap hal yang ROHANI, yang tak terlihat. Hati-hati karena hal itu tak lama lagi. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar