Total Tayangan Halaman

Kamis, 03 November 2011

KAPAL RATU ROSARI

Terserah kepada sidang pembaca, apakah ini bisa dipandang sebagai suatu keanehan atau hal yang biasa-biasa saja. Yang jelas, peristiwa ini saya alami pada 5 Juli 1986 di Kota Larantuka. Persisnya di Dermaga Larantuka dan sekitarnya.
Ketika itu saya baru pulang sekolah dari SMA PGRI Larantuka. Kekurangan lokal sekolah memaksa kami yang duduk di bangku SMA untuk sekolah sore. Tepat pukul 17.45 Wita, sekolah bubaran.
Saya pulang ke Pantai Besar, rumah Pak Thomas Boro, tempat saya menumpang selama sekolah di Larantuka. Di rumah keluarga yang sangat saya kasihi karena betapa baiknya mereka dan tentu saja jasa mereka tak akan sanggup saya balas, Ama Djou Bolly sudah menunggu. Karena menurut rencana, hari itu Ama Djou Bolly bersama keluarga akan bertolak ke Pulau Seram dengan menumpang Kapal Ratu Rosari.
Satu-satunya orang yang tak percaya adalah Pak Thomas Boro. Mungkin sesuai nama Santo Thomas yang disandangnya, Pak Thomas memang benar-benar tak percaya jika belum melihat bukti. Ratu Rosari baru seminggu lalu berangkat ke Surabaya dari Dermaga Larantuka. Jadi sekarang ini paling-paling masih dalam perjalanan ke Surabaya. Tidak mungkin datang hari ini di Pelabuhan Larantuka, '' kata Pak Thomas, sang petualang sejati yang sungguh hafal jadwal keberangkatan kapal maupun motor laut di hampir semua jalur.
Namun Ama Djou Bolly tetap tampak tenang dan memberikan kepastian bahwa hari itu kapal Ratu Rosari akan bersandar di Larantuka. Ketika aku tiba di rumah Pantai Besar, Ama Djou Bolly langsung meminta kami menyiapkan segala sesuatu untuk mengantarnya ke Dermaga Larantuka bersama keluarga.
Kami pun menyiapkan segala keperluan untuk mengantar keberangkatannya. Apalagi barang yang dibawa pun cukup banyak ditambah lagi dengan rencana Ama Djou Bolly yang akan menetap dalam jangka waktu cukup lama di Pulau Seram, atau setidak-tidaknya di Provinsi Maluku.
Kami berangkat dengan penuh tanya dalam hati, apakah mungkin ada kapal yang akan mengantar keluarga ini sampai tujuan. Sebab Pak Thomas Boro sangat yakin hari itu tak ada kapal, apalagi Kapal Ratu Rosari yang baru berangkat kira-kira sepekan lalu ke Surabaya.
Setelah kami ada dalam angkutan umum yang mengantar kami ke Dermaga Larantuka, suasana begitu sepi dalam kendaraan itu. Tak ada yang berbicara atau menyampaikan sesuatu.
Sementara dari atas angkutan umum yang meliwati jalur pinggir pantai, terlihat pandangan nun jauh di sana, tak ada kapal satu pun di Dermaga Larantuka, hanya perahu nelayan yang parkir di pantai.
Dalam beberapa menit, akhirnya sampailah kami di dermaga itu. Meski dermaga ini sungguh sepi, apalagi matahari sudah makin memerah pertanda senja pun mulai tenggelam, namun Ama Djo Bolly dengan suara yang rendah tetap meminta kami mengakut barang keperluan yang akan di bawa ke kapal yang akan mengangkut mereka ke tujuan.
''Tidak ada kapal, mana ada kapal. Benar kata Pak Thomas,'' kata Kakak Simon Kopong, salah seorang yang ikut mengantar.
Kakak Elias Masan yang ikut ngantar tampak hanya pasrah, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya sedikit tersungging senyum di bibir, seakan tak percaya bahwa kapal akan datang. Namun Ama Djou Bolly tetap menyatakan, bahwa hari itu kapal akan datang.
Sinar matahari kini hanya tampak di puncak bukit Tanjung Gemuk, Adonara. Angin yang sejuk semilir mulai terasa berhembus. Kemudian dari tengah laut sana, datang sebuah kapal dengan posisi menyamping dan langsung sandar tanpa peringatan bolak balik dari anak buah kapal.
Di lambung kapal itu tertulis, Ratu Rosari dengan huruf besar, kemudian huruf agak kecil di bawahnya, Surabaya, namun semuanya huruf kapital. Meski senja telah turun namn tiang kapal masih tampak berkilat ditimpa sisa-sisa cahaya mentari senja.
Ama Djou Bolly pun bergegas menarik lengan saya dan membawa saya ke ujung dermaga yang lainnya. Di tempat itu Ama Djou Bolly memegang kedua lengan saya dan menyampaikan beberapa pesan penting, khususnya mengenai DATANGNYA DUNIA BARU ADONARA.
Setelah itu Ama Djou Bolly langsung pamitan menuju kapal itu.
Kami membantunya memasukan barang-barang berupa pakaian, termasuk mesin jahit. Dan terakhir tikar untuk alas tidur di palka kapal.
Setelah membereskan semua itu, Ama Djou Bolly kemudian melangkah mendekati pinggiran kapal. Sebentar kemudian Ama Djou menumpukan tangannya di pinggir kapal itu, kemudian tangan yang sebelah lagi dilambaikan kepada kami. Bersamaan dengan itu, kapal yang tak menurunkan jangkar itu langsung meninggalkan Dermaga Larantuka.
Dalam sekejap saja, Dermaga Larantuka yang sempat hiruk pikuk itu sedemikian sepi. Kapal itu telah bergerak ke arah Timur menantang arus Gonsalu. Dan kami pun berjalan beriringan pulang menuju angkutan umum menuju Pantai Besar.
Kakak Elias Masan sempat menanyakan, apa saja pesan Ama Djou Bolly yang disampaikan kepada saya. Saya hanya katakan, ada beberapa pesan, namun salah satunya, bahwa Ama Djou Bolly akan kembali lagi ke Adonara 10 tahun kemudian.
''Mana Ama Djou mereka dan yang lainnya,'' tanya Pak Thomas Boro ketika kami tiba di rumah Pantai Besar.
''Mereka sudah berangkat dengan Kapal Ratu Rosari tadi,'' jawabku singkat.
''Tapi tadi dari sini kami tidak lihat ada kapal yang liwat di laut sana,'' kata Pak Thomas seakan tak percaya.
Maklumlah, Pantai Besar berada di ketinggian menghadap laut lepas yang ada di depaan. Jadi jangankan kapal besar, bahkan motor dari dan ke Waiwerang, Adonara ataupun perahu nelayan pun sungguh mudah dipantau dari tempat ini.
''Tapi mereka memang sudah berangkat semuanya, dengan kapal Ratu Rosari,'' jawabku lagi menegaskan.
Dahi Pak Thomas tampak agak berkerut. Seakan tak percaya, Pak Thomas hanya bergumam, ''Bagaimana bisa begitu ya? Kapal Ratu Rosari kan belum seminggu ini ke Surabaya,'' ujarnya seakan pada diri sendiri.
Apapun yang terjadi, dan bagaimana pun terjadinya, ketika itu memang Ama Djou Bolly beserta keluarga berangkat ke Ambon. Cerita ini kusampaikan kepadamu sekadar berbagi sebuah peristiwa yang menurutku sendiri tidak lazim. Anda percaya atau tidak, itu terserah anda. Selagalas, 4 November 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar