Kerinduanku begitu nyata. pada tangkai padang kemarau yang lemah gemulai diterpa angin panas. Angin yang berdesir dari kawah yang mendidih mengingatkan aku akan asalku. Di ketandusan bumi dan hati yang dilanda kepenatan ini, aku mencoba mengasah sepotong asa.
Jiwaku meratap dalam kesunyian memohon pengampunan yang mendatangkan sejumlah luka, luka-luka di tubuhku, luka-luka di tubuh umat manusia, luka-luka di tubuh bumi yang kupijak tanpa permisi, yang kukencingi dan kuberaki saban hari.
Aku ini manusia sungguh durhaka, hatiku tak pernah ingin menyatu dengan kedukaan bumi yang ramah, yang tak pernah membalas kejahatanku dengan petaka. Namun petaka didatangkannya untuk menyadarkan aku akan kepapaanku dan ketidakberdayaanku.
Kini di persimpangan jalan, ketika matahari mulai condong ke barat, saat ketika petani hendak pulang dari ladang, dan ayam di ladang mulai mengepakan sayap menyapa malam, aku menatap langit timur yang kelam kelabu.
Manusia ternyata memang seperti kata Sang Pe-Mazmur. Hidup seperti satu giliran ronda malam. Begitu singkat, namun sebagian besarnya terdiri dari duka dan derita. Sang pe-Mazmur pun berdoa, berilah agar tahun-tahun hidup keberuntunganku seimbang dengan tahun-tahun kemalanganku.
Dari jauh kutatap lagi Puncak Boleng,selimut kabut yang melingkari lereng mulai sirna. Puncak yang gagah itu seakan memanggil pulang dalam desau semilir yang hangat penuh kasih. Penyaringan pasti akan datang, tapi mungkin bukan sekarang. Karena pengampunan itu masih ada. Walaupun hanya sedikit.
Manusia yang lemah dan tak berdaya ini, syukur kepada Tuhan jika masih sempat membuka hati menyadari kelemahannya. Karena jika disadari secara hakiki, Tuhan lebih leluasa bekerja di tengah kelemahan manusia yang sedang memohon pertolongan. Sedangkan manusia yang jahat ini saja bisa menolong, apalagi Tuhan Yang Mahabaik...Terpujilah Nama-NYA....AMIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar