Dengan darah, sejengkal tanah dipertahankan. Maka bicara tentang tanah, sama saja dengan bicara tentang darah. Hal yang sensitif ini harus diselesaikan dengan baik, jika tidak maka akan kembali kepada penyelesaian asal yakni darah.
Apa penyelesaian yang baik itu? Satu-satunya cara yang masih tersisa, selain penyelesaian dengan darah yang menjadi puncak penyelesaian setelah segala jalan tak bisa ditempuh, yakni mengurai sejarah. Jika sejarah dapat dipaparkan dengan baik, diberikan penjelasan yang hakiki, dan diletakan pada dasarnya yang wajar, maka kita akan paham, mana yang sepatutnya berhak dan mana yang tak sepatutnya berhak.
Dengan demikian, tak akan terjadi pertumpahan darah sebagaimana yang dikhawatirkan, karena batas tanah sekali lagi merupakan hal yang terlampau sensitif. Ini ditunjang lagi dengan bukti kepemilikan yang tak tertulis seperti sertifikat.
Kepemilikan atas tanah di tempat ini, berdasarkan sumpah para pendahulu yang mewariskan tanah itu. Jadi jika ada yang main-main dengan batas tanah, maka yang bersangkutan akan berurusan dengan sumpah yang melekat atas tanah itu.
Juga perlu diingat bahwa apa sumpah yang terucap, tak ada yang tahu, karena disampaikan dengan gaya lisan. Maka penyelesaian atas sengketa batas tanah pun sedemikian runyam. Bukti kepemilikan tanah akhirnya beralih pertaruhan yang murni.Jika benar maka tegak, jika salah maka gugur. Demikianlah adanya hukum adat di Adonara menyelesaikan perkara. Tapi itu dulu. Namun jika di zaman ini masih ada yang ngotot juga, bukan tak mungkin hal serupa akan terulang. Karena hal ini sepertinya sudah menjadi darah daging di Adonara.
Zaman ini, ketika hukum ditegakan dalam keadaan miring sana miring sini, yang benar dapat disalahkan, yang salah dapat dibenarkan karena berbagai cara, maka tidak demikian dengan sejarah. Zaman ini, asal ada uang maka penentu keadilan dapat disogok beberapa rupiah untuk membelokan keadilan. Maka zaman dulu, ditentukan dengan darah. Jika benar maka tetap tegak di atas tanah itu, jika salah namun tetap ngotot maka akan terkapar.
Hal yang sedang diuraikan ini bukanlah menyangkut suatu batas tanah di suatu negara yang begini luas, tetapi soal batas tanah di pulau nun jauh di sana, di Pulau Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Meski berada dalam suatu wilayah kabupaten di dalam negara ini yang telah memiliki hukum negara untuk menentukan segala hukum dan aturan soal hak milik, namun orang Adonara juga punya aturan sendiri yang sudah ada sejak dulu, entah kapan.
Yang jelas ini aturan warisan yang tetap dipegang teguh, dan tak pernah lekang dimakan zaman. Putusan hakim di dalam ruang sidang, hanya dianggap sebagai sinetron. karena dianggap telah kehilangan dasarnya yang murni?
Mengapa? Karena putusan hakim di dalam ruang sidang yang digelar di atas dunia ini, bisa berubah warna seperti bunglon sesuai situasi. Bisa putih, hitam, bahkan abu-abu.
Bagi orang Adonara, memungkiri aturan adat Adonara sama saja dengan memungkiri diri sendiri, karena setiap jengkal tanah dipertahankan dengan darah.
Aturan di atas kertas boleh ngoceh tentang kebenaran sampai ke ujung langit, tapi sanggupkah aturan itu berhadapan dengan PENGADILAN DUNIA BAWAH TANAH? Inilah yang menjadi patokan paling akhir, yang membuat orang berpikir ribuan kali jika mau melanggar batas tanah, bahkan pelanggaran-pelanggaran lainnya tergantung kadar pelanggaran.
Jika Kitab Suci telah memiliki aturan sendiri soal batas tanah, maka demikian pula aturan adat. Dan kedua aturan itu untuk masyarakat Adonara tampaknya tak terlampau berseberangan, meski aturan adat memang jauh lebih keras dan tegas jika dibandingkan kitab suci.
Kitab suci memang melarang dengan sangat tegas, namun aturan adat disertai sanksi adat yang boleh dikatakan sangat mengerikan Seperti yang diuraikan sebelumnya, tanah = darah.
Di zaman ini, ketika makin banyak orang yang sekolah dan mempelajari aturan yang dibuat negara, beserta segala cara meloloskan diri jika terlibat masalah, orang mulai mencari-cari cara juga untuk mendapatkan sesuatu yang bukan hak.
Apakah demikian juga terjadi di Adonara? Saya pikir hanya orang yang punya nyawa rangkap 10 saja seperti Rahwana yang berani melakukan hal itu. Karena sanksi adat sangat nyata, dan itu berlangsung di segala zaman.
Dapatkah seseorang atau sekelompok orang mengakui sebidang tanah apalagi suatu kawasan sebagai miliknya sementara yang bersangkutan tak tahu sama sekali sejarah atas tanah itu? Adonara tidaklah terlalu luas, dan bagaimana sejarah tanah milik masing-masing lewo yang ada di dalamnya, sungguh sangat jelas.
Jika di kemudian hari tiba-tiba ada yang mengklaim tanah itu sebagai milik tanpa latar sejarah yang jelas, maka inilah yang tampaknya menjadi cikal bakal pertumpahan darah baru di era modern.
Sementara itu, penyelesaian tapal batas dengan menggunakan aturan pemerinta/negara, tampaknya kurang bahkan tak berpengaruh di dalam hukum adat Adonara. Karena itu, penyelesaian melalui jalur pemerintah, bukannya berujung penyelesaian melainkan menambah bara di atasnya.
Satu-satunya untuk menghentikan segala kekacauan ini yakni penyelesaian secara adat istiadat, Jika zaman sebelumnya masing-masing orang berdiri di tapal batas dengan reket masing-masing untuk membuktikan kebenarannnya menurut hukum Adonara, maka ada pula jalan yang tak harus berhadapan langsung dengan reket. Yakni Sumpah di depan Nuba.
Di tempat itulah para pihak dapat mengangkat sumpah satu sama lain untuk menegaskan tapal batas masing-masing sesuai latar sejarah. Masalah yang muncul kemudian yakni, dimanakah sumpah itu akan dilaksanakan dan di depan Nuba yang mana. Jika tak ketemu lagi jalan yang sesuai maka satu-satunya jalan yakni mendirikan Oring Geraran dan Paha Eken serta peri Nobo di tapal batas yang diakui...
Lebih lanjut, kita semua tak akan sanggup menjamin, apakah yang akan terjadi kemudian. Jika bukan "ata tani maka ata geka." Itu saja. Dan lebih dari semuanya itu, akan lebih baik jika yang merasa tak tahu latar sejarah dan tak berhak, sebaiknya jauh-jauh hari mundur dan melakukan perdamaian. Karena ini jalan paling baik, tanpa korban sama sekali, selain korban beberapa ekor hewan untuk upacara perdamaian. Manakah yang anda pilih....??? Selagalas, 3 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar