Terlintas dalam benakku, akan kumanfaatkan sebidang tanah untuk menanam beraneka ragam tanaman. Mulai dari tanaman berumur pendek, hingga tanaman berumur panjang yang akan bisa dinikmati hasilnya 30 atau 50 tahun mendatang.
Atau kalau memang tak dinikamti hasilnya secara langsung, paling tidak, dalam kurun waktu yang panjang itu, dapat memberikan manfaat tidak langsung. Misalnya tanaman asam, yang bisa menghijauakan dan memberikan hawa sejuk. Pohon beringin yang daunnya bisa untuk makanan kambing, tapi juga menjadi penyuplai air tanah yang sangat efektif, karena kemampuan akar beringin menyimpan air, adalah 28o kali dari tanaman lainnya. Begitu juga tentu saja hawa segar yang diberikannya atau paling tidak aku dapat berteduh di bawahnya di kala terik.
Impianku itu bukan baru sekarang, melainkan sejak dulu, ketika aku masih duduk di SD, bahkan sebelum sekolah. Aku mengimpikan, bagaimana kalau dari akar beringin yang tumbuh lebat itu, tiba-tiba memancar keluar mata air. Tentu saja kebun saya yang sepetak itu akan menjadi sangat subur dan dapat ditanami apa saja yang lain. Begitu juga kebun-kebun yang ada di sekitarku.
Sistem pertanian tentu saja akan berubah dari ladang berpindah ke sawah berpengairan teknis. Mimpi itu sedemikian nyata, sampai sulit kubedakan antara mimpi, hayalan, dan kenyataan.
Aku ingin menanam apa saja. Tanaman yang daunnya selain memberikan kesegaran, juga daunnya dapat dimakan hewan piaraan maupun orang.
Dengan demikian, tanaman yang ditanam itu akan bernilai ganda. Misalnya, tanaman nangka. Nangka ini daunnya bisa dimakan kambing, buahnya bisa dimakan manusia, sementara bekas makan manusia itu masih bisa dimakan kambing maupun babi.
Tanaman ini sungguh efektif. Tak butuh banyak air, bisa hidup di lahan yang tandus, tumbuh subur dengan tak perlu banyak perawatan yang susah-susah. Asal mau menanam dan dapat tumbuh di awal tahun, selanjutnya akan bisa mengurus dirinya sendiri sampai menjadi besar dan berbuah.
Buah nangka memang sering dicuri. Tapi kalau saya menanamnya keliling kebun yang cukup luas ini dan sekiranya berhasil, tentu yang maling pun akan malas, karena buahnya akan terlampau banyak, tak cukup waktu dan tenaga bagi maling untuk bolak balik mencurinya setiap hari.
Impian itu begitu kuat sampai kadang mengganggu tidur malamku. Keeskokannya aku menelepon orang di kampung yang menjaga kebunku, karena aku masih ada di perantauan. Aku jelaskan segala maksudku, mengenai besarnya manfaat menanam pohon buah-buahan ini.
Namun aku dengar bahwa sejauh ini ternyata nangka itu tak pernah ditanam. Padahal bibit di bawah pohon nangka yang sudah tua itu teramat banyak, entah karena apa.
Sekiranya nasihatku diikuti, mungkin nangka itu sudah terlalu banyak buahnya sekarang. Bahkan kebunku memang sudah disulap menjadi kebun buah-buahan.
Namun dalam kebijakan kecilku ini, aku lupa bahwa orang2 di kampungku menganut kehidupan dengan tanaman semusim seperti jagung dan lain-lain. Jika kebun yang kecil ini dipakai menanam pohon buah-buahan, maka habislah sudah riwayat jagung-jagung itu. Habislah riwayat jagung yang jadi makanan pokok untuk menyongsong musim berikutnya. Jagung memang tak bagus tumbuh di bawah naungan. Jadi tinggal pilih, pohon buah-buahan atau tanaman semusim untuk kebutuhan pokok.
Angan-angan, mimpi, dan harapan memang tampak mudah, namun sulit dalam pelaksanaan, dan itu akan semakin sulit ketika berbenturan lagi dengan hal-hal yang pokok.
Aku belajar dari kehidupan yang sederhana ini. Bahwa bukan para pendahulu tak mau menanam pohon, tapi karena keterbatasan tempat membuat mereka memilih hal yang paling pokok demi kelangsungan hidup. Demikianlah pilihan sederhana yang sangat logis.
Jika ingin penghijauan yang lebih logis, mari kita tanami bukit-bukit yant tak dapat dijadikan kebun, karena di dalamnya hanya berisi bebatuan. Tetapi jika kita cukup serius, bukan tak mungkin tanaman bisa tumbuh di sana. Buktinya, setiap musim hujan, bukit-bukit selalu hijau, bahkan bukit batu sekali pun......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar