Total Tayangan Halaman
Minggu, 18 Desember 2011
Pujian Perantau
Di tempatku berada yang kini jauh di balik tasik, aku memandang ke ufuk timur. Ke tempat aku berasal, melangkahkan kaki sejak muda belia dengan segunung semangat memenuhi dadaku.
Aku mengira, aku akan sanggup mengarungi belantara kehidupan ini sendiri. Hari ini, ketika gaung Natal makin keras terdengar di telinga, aku terkenang akan kampung halamanku nun jauh di sana.
Setiap menjelang Natal seperti sekarang ini, aku selalu pergi ke kebun, menengok kebun pisang yang buahnya mulai ranum, buah-buahan lainnya yang mungkin ada, karena musim mangga telah lewat.
Tak lupa pula aku bawa beberapa ubi kayu yang aku cabut di kebun sendiri, termasuk jagung muda yang ditumbangkan angin musim.
Semua itu kubawa pulang kemudian sibuk sebentar di dapur ala kadarnya untuk merayakan Natal gaya kampung.
Sementara itu di pusat kampung sana, riuh rendah terdengar irama musik dari gong dan beduk berbarengan.
Orang hedung di tengah hujan yang mengguyur, tak peduli sakit flu atau encok. Semua penyakit itu seakan tak kuasa menahan laju kebahagiaan yang memenuhi dada kami.
Di saat seperti itu, tarian Hedung selalu digelar sebagai upacara penyambutan Natal ala kampung. Tak mewah sekali, tapi lebih condong ke arah upacara adat.
Jumlah penghuni kampung yang dari waktu ke waktu makin banyak, membuat setiap kali pesta selalu ada tambahan beberapa ekor hewan semacam babi atau kambing yang dibantai.
Asyiknya, tua muda, laki wanita hingga anak-anak, berbaur jadi satu dalam pesta itu. Dengan pesta ala kampung yang penuh kesederhanaan, semuanya berjalan dengan penuh kekeluargaan.
Terkadang aku membayangkan, apakah Yesus berpesta seperti itu juga di kampung-Nya ketika menyambut suatu hari besar.
Entah mengapa aku merasa begitu bahagia kala itu. Padahal semuanya berlangsung di tengah kesederhanaan yang tak tergambarkan. Bahkan kadang-kadang kami begitu kesulitan sekadar air minum.
Aku bertanya-tanya, sebenarnya apa sih yang membuat orang begitu merasa bahagia, bebas lepas menyambut Natal? Pesta yang mewah, makanan berlimpah, atau apa sebenarnya? Jika yang terakhir yang kusebutkan ini adalah jawabannya, sungguh aneh jika hatiku bagai terperangkap kerinduan akan upacara menyambut Natal di kampungku.
Kemudian, di hari menjelang upacara peringatan akan kedatangan-Nya untuk yang ke sekian kalinya ini, hatiku bagai terhentak-hentak mendendangkan lagu gereja dengan bahasa kampung.
Kata-kata itu terus menyerap ke dalam, ke relung-relung yang paling dalam. Mengingatkan dan mengingatkan lagi tentang diri, tentang asal, tentang hidup, tentang suka maupun duka. Bahwa hidup ini memang sementara, bahwa segalanya ternyata tak kekal. Semuanya selalu silih berganti. Pergi dan datang, panas dan dingin, tawa dan tangis.
Nuraniku seakan teraduk-aduk. Aku berjuang mencapai suatu kedamaian hati. Karena ada yang mengatakan, bahwa damai abadi itu bisa dicapai juga selagi masih hidup. Entah ya entah tidak, yang jelas bahwa Putra Allah yang akan kita sambut telah menyampaikan hal itu bahkan telah menunjukan contoh yang sangat praktis.
Pengorbanan, cinta, kasih yang tak berkesudahan, derita yang tiada tara hingga akhir demi Cinta hingga kerahiman yang tak terbatas demi taat kepada Bapa dan cinta kepada umat manusia yang percaya.
Kemudian dari jauh, di tanah asing ini, aku hanya bisa mengucapkan Selamat Natal bersama kuntum doa yang kurajut sendiri, jadi mungkin tak begitu rapi. Kutitipkan itu dalam bisikan rinduku buatmu yang mau membuka hati akan Kasih Yang Sejati itu.
Semoga umat manusia membuka hati akan Yang Sejati itu….Amin
Jumat, 16 Desember 2011
Sekitar Tapal Batas Lobar-KLU
Kawasan di sekitar tempat ini sedemikian indah dan makin tertata. Jika tak ada yang usil, tentu perkembangan wisata daerah ini akan sangat maju...seperti yang telah lalu. Perkembangan pariwisata nyaris menyamai Bali
Kamis, 15 Desember 2011
Rabu, 14 Desember 2011
Minggu, 11 Desember 2011
Di Keteduhan Fajar Pagi
oleh: Bernadus Kopong Gana
Daunnya melengkung nyaris menyentuh tanah, anak-anak Lewo Tanah bergelantungan pada ujungnya. Kemudian tampak seorang paru baya. Dengan sorot mata penuh kedamaian menatap anak-anak yang sulit diatur itu.
Yang mengherankan, anak-anak yang tadinya asyik bergelantungan di pucuk Asam yang tangkainya nyaris menyentuh tanah, langsung menghentikan aksinya. Mereka langsung menatap kepada bapak yang masih cukup muda itu.
Dan dengan pandangan menyesal, mereka langsung datang mendekati bapak yang masih muda itu, menjabat tangannya dan mencium tangannya.
Bapak itu tak marah sama sekali akan kelakuan anak-anak yang baru mau tumbuh besar itu. Namun tatapannya yang penuh wibawa, seakan mengguncang hati mereka. Maka bagai dikomando, mereka langsung minta maaf dan berlaku sopan.
Inilah salah satu bagian kecil dari suasana di kampung halamanku nun jauh di sana. Kerinduan di dada terasa kian tak terbendung. Kadang aku mempersalahkan diriku sendiri, karena betapa banyaknya alasan yang kubuat untuk membenarkan diri,agar belum bisa pulang ke kampung untuk bersua dengan sanak kerabat, meski semua alasan yang tampaknya dibuat-buat itu memang cukup cocok dengan fakta hidup yang ada.
Di bawah pohon asam inilah kami senantiasa sering berkumpul. Tua muda, laki wanita, bahkan anak-anak. Kami berkumpul dan bersenda gurau termasuk berbagi air mata, bahkan sampai tak mengenal waktu maupun rasa lapar. Kami makan dari Koda dan menu dari kiri, yang membuat kami tumbuh menjadi besar...dalam ketabahan akan derita hidup ini, dalam keindahan karya tangan Sang Pencipta dan dalam kedamaian yang diwartakan Putra Allah Penebus Dunia. Kami bertekad membangun kedamaian itu dari sini. Kedamaian yang terus bertumbuh dan berkembang hingga ke ujung-ujung bumi, melalui koda dasar dan asli. Damai Sejati, Damai yang Kekal Abadi. Damai yang akan mempersatukan seluruh umat manusia menjadi ibu dan bapak, kakak dan adik, tua maupun muda. Manakala yang muda menghormati yang tua dan yang tua merangkul yang muda, kemudian yang tua maupun yang muda bersatu hati berpadu jiwa mengabdi kepada yang telah tiada namun senantiasa ada.
Di bawah naungan Tobi Puken inilah, perdamaian itu akan dibangun dan diletakan dasarnya, Damai Abadi, PERDAMAIAN MUTLAK.
Batas Hutan, Sandubaya, Cakranegara, Kota Mataram, 12 Desember 2011
Yang mengherankan, anak-anak yang tadinya asyik bergelantungan di pucuk Asam yang tangkainya nyaris menyentuh tanah, langsung menghentikan aksinya. Mereka langsung menatap kepada bapak yang masih cukup muda itu.
Dan dengan pandangan menyesal, mereka langsung datang mendekati bapak yang masih muda itu, menjabat tangannya dan mencium tangannya.
Bapak itu tak marah sama sekali akan kelakuan anak-anak yang baru mau tumbuh besar itu. Namun tatapannya yang penuh wibawa, seakan mengguncang hati mereka. Maka bagai dikomando, mereka langsung minta maaf dan berlaku sopan.
Inilah salah satu bagian kecil dari suasana di kampung halamanku nun jauh di sana. Kerinduan di dada terasa kian tak terbendung. Kadang aku mempersalahkan diriku sendiri, karena betapa banyaknya alasan yang kubuat untuk membenarkan diri,agar belum bisa pulang ke kampung untuk bersua dengan sanak kerabat, meski semua alasan yang tampaknya dibuat-buat itu memang cukup cocok dengan fakta hidup yang ada.
Di bawah pohon asam inilah kami senantiasa sering berkumpul. Tua muda, laki wanita, bahkan anak-anak. Kami berkumpul dan bersenda gurau termasuk berbagi air mata, bahkan sampai tak mengenal waktu maupun rasa lapar. Kami makan dari Koda dan menu dari kiri, yang membuat kami tumbuh menjadi besar...dalam ketabahan akan derita hidup ini, dalam keindahan karya tangan Sang Pencipta dan dalam kedamaian yang diwartakan Putra Allah Penebus Dunia. Kami bertekad membangun kedamaian itu dari sini. Kedamaian yang terus bertumbuh dan berkembang hingga ke ujung-ujung bumi, melalui koda dasar dan asli. Damai Sejati, Damai yang Kekal Abadi. Damai yang akan mempersatukan seluruh umat manusia menjadi ibu dan bapak, kakak dan adik, tua maupun muda. Manakala yang muda menghormati yang tua dan yang tua merangkul yang muda, kemudian yang tua maupun yang muda bersatu hati berpadu jiwa mengabdi kepada yang telah tiada namun senantiasa ada.
Di bawah naungan Tobi Puken inilah, perdamaian itu akan dibangun dan diletakan dasarnya, Damai Abadi, PERDAMAIAN MUTLAK.
Batas Hutan, Sandubaya, Cakranegara, Kota Mataram, 12 Desember 2011
Sabtu, 10 Desember 2011
Indulgensia Milenium
Oleh: Bernadus Kopong Gana
Ketika Basilica St Petrus berdiri di Roma, umat Nasrani kekurangan dana. Basilica itu direncanakan untuk didirikan sedemikian megah, sehingga butuh dana teramat banyak.
Kemudian segala upaya dilakukan pihak gereja.
Salah satunya dengan penggalian dana dengan berbagai cara, bahkan cara-cara yang belakangan dipandang kalangan umat sudah tak patut.
Dari sinilah kemudian muncul begitu banyak gerakan. Dari semua gerakan itu, gerakan yang paling besar dan memporak-porandakan umat Nasrani menjadi berkeping-keping yakni gereja reformasi di bawah komando Martin Luther King.
Pimpinan Gereja Witenberg, Jerman ini, menempel 95 dalil di depan pintu gereja lokal itu, sekaligus menyatakan “perang” melawan Roma.
Takhta Vatikan pun diguncangnya dengan pernyataan tegas keluar dari Gereja Nasrani di bawah paus kemudian membentuk aliran sendiri yang disebutnya Protestan. Setelah itu, muncul aliran baru, mulai dari Anglikan di Prancis, Ortodoks Rusia, dan lain-lain.
Inti masalah Luther menyatakan keluar, karena protes kerasnya terhadap surat indulgensia (Surat Pengampunan Dosa).
Bahwa, jika ada umat yang ingin diampuni dosanya, maka harus menyerahkan sejumlah uang. Dan, uang itu akan dipakai untuk membangun Basilica St Petrus. Jika tak beli surat itu, maka dosa tak diampuni.
Panjangnya perjalanan sejarah gereja yang menapak pada lembah kelam kehidupan, sudah banyak memberi pelajaran bahwa uang menjadi sumber segala kejahatan dan malapetaka, bahkan menjadi sumber keruntuhan gereja, meski pada akhirnya dapat bangkit kembali.
Petaka di abad yang telah lalu itu, tampaknya beranak pinak. Benarlah jika ada kata-kata, setelah kalah di Padang Gurun, iblis mundur dari Yesus, sambil menunggu kesempatan lain untuk beraksi lagi.
Memasuki era digital dengan label gereja mandiri, maka segala sesuatu khususnya karya misi, menjadi tanggung jawab umat separoki. Tak peduli apakah umat itu miskin, melarat, kelaparan atau gelandangan, yang jelas, rumah tangga paroki harus tersedia agar pastor jangan sampai kelaparan.
Gereja di awal tahun 1980, mungkin karena kebutuhan belum terlalu banyak, cukup derma satu kali saja. Derma itu cukup untuk berbagai kebutuhan pastoral. Pastor juga tak harus pakai mobil. HP juga belum ada. Cukup telepon di gereja saja. Telepon satu-satunya untuk situasi teramat penting.
Kemudian tahun 1985 ke atas, makin banyak yang lain-lain selain derma.Ada rumah tangga paroki, dengan dalih gereja mandiri, dan lain-lain pula.
Menginjak tahun 1990-an, iuran-iuran seperti debu yang beterbangan di udara. Yang tak perlu harus iuran, dibuat menjadi iruran semua. Apalagi kalau ada gawe gereja yang membutuhkan sedikit jajan, atau makan siang.
Itu belum lagi ditambah dengan iuran di tingkat lingkungan atau KBG dan lain-lain. Yang penting iuran dan iuran terus.
Sejauh itu, umat seakan tak ada hak untuk menanyakan untuk apa saja dan untuk siapa saja. Kita semua tentu bergembira melihat banyaknya kemajuan di gereja, bangku yang bagus, altar yang keren, balkon yang megah, menara yang menjulang, fasilitas pastor yang menyamai kalangan pimpinan perusahaan yang bonafide meski ada di antara umat yang jalan kaki.
Tak mengapa, pastor kan banyak kesibukan, melayani banyak umat. Hanya kadang-kadang juga terlihat bahwa umat yang kurang berada, tak perlu banyak berharap.
Sementara itu, marilah kita bertanya, akan jadi apakah akhir dari semua ini? Bukankah kita memupuk pertentangan demi pertentangan yang makin hari makin membumbung tingggi?
Memasuki milenium baru, perubahan makin sinting. Jangankan rumah tangga paroki, jangankan iuran, jangankan ongkos misa khusus, bahkan permandian, sambut baru, apalagi nikah, lebih besar nilainya daripada pajak kendaraan bermotor.
Sebagai umat manusia khususnya Umat Katolik, tentu saja segala pemberian baik derma, iuran, dan lain-lain, dilakukan dengan latar belakang iman.
Tapi kalau urusan dipermandikan untuk masuk menjadi warga gereja saja harus bayar, hemat saya, hal ini tak ada bedanya dengan indulgensia zaman baru. Atau barangkali lebih tepat diberi nama Indulgensia Milenium.
Yang saya tahu, Yesus berpesan dan memberi kuasa kepada para murid-Nya agar mewartakan khabar sukacita hingga ke ujung-ujung bumi. Baptislah mereka Dalam Nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus.
Namun yang aku jumpai di zaman milenium ini, para penyebar warta sukacita ini menimbulkan kesukaran, keguncangan, dan dukacita dimana-mana dengan ulah kebijakannya yang tak beda dengan ulah iblis berujud manusia.
Saya kurang percaya bahwa Yesus bisa memilih seorang murid atau orang pilihan yang belakangan mencekik umat dengan kebijakan untuk membayar jika ingin mengikuti Yesus.
Sungguh beda dengan tawaran Yesus kepada para murid-Nya zaman itu. ‘’Datanglah wahai kamu sekalian yang berbeban berat, maka akan Aku ringankan.’’
Bunyi Injil itu rupanya sudah berubah di era digital milenium ini. ‘’Jika ingin mengikuti aku, bayarlah sejumlah uang.’’ Benar-benar di tengah neraka.
Marilah kita waspada, karena mungkin semua ini pertanda awal, yang menunjuk pada peristiwa lama, peristiwa umat tercerai berai hanya karena duit. Tragis sekali.
Maaf…. dan renungkanlah jika berkesempatan.
Selag Alas, Sandubaya, Cakranegara, 10 Desember 2011
Ketika Basilica St Petrus berdiri di Roma, umat Nasrani kekurangan dana. Basilica itu direncanakan untuk didirikan sedemikian megah, sehingga butuh dana teramat banyak.
Kemudian segala upaya dilakukan pihak gereja.
Salah satunya dengan penggalian dana dengan berbagai cara, bahkan cara-cara yang belakangan dipandang kalangan umat sudah tak patut.
Dari sinilah kemudian muncul begitu banyak gerakan. Dari semua gerakan itu, gerakan yang paling besar dan memporak-porandakan umat Nasrani menjadi berkeping-keping yakni gereja reformasi di bawah komando Martin Luther King.
Pimpinan Gereja Witenberg, Jerman ini, menempel 95 dalil di depan pintu gereja lokal itu, sekaligus menyatakan “perang” melawan Roma.
Takhta Vatikan pun diguncangnya dengan pernyataan tegas keluar dari Gereja Nasrani di bawah paus kemudian membentuk aliran sendiri yang disebutnya Protestan. Setelah itu, muncul aliran baru, mulai dari Anglikan di Prancis, Ortodoks Rusia, dan lain-lain.
Inti masalah Luther menyatakan keluar, karena protes kerasnya terhadap surat indulgensia (Surat Pengampunan Dosa).
Bahwa, jika ada umat yang ingin diampuni dosanya, maka harus menyerahkan sejumlah uang. Dan, uang itu akan dipakai untuk membangun Basilica St Petrus. Jika tak beli surat itu, maka dosa tak diampuni.
Panjangnya perjalanan sejarah gereja yang menapak pada lembah kelam kehidupan, sudah banyak memberi pelajaran bahwa uang menjadi sumber segala kejahatan dan malapetaka, bahkan menjadi sumber keruntuhan gereja, meski pada akhirnya dapat bangkit kembali.
Petaka di abad yang telah lalu itu, tampaknya beranak pinak. Benarlah jika ada kata-kata, setelah kalah di Padang Gurun, iblis mundur dari Yesus, sambil menunggu kesempatan lain untuk beraksi lagi.
Memasuki era digital dengan label gereja mandiri, maka segala sesuatu khususnya karya misi, menjadi tanggung jawab umat separoki. Tak peduli apakah umat itu miskin, melarat, kelaparan atau gelandangan, yang jelas, rumah tangga paroki harus tersedia agar pastor jangan sampai kelaparan.
Gereja di awal tahun 1980, mungkin karena kebutuhan belum terlalu banyak, cukup derma satu kali saja. Derma itu cukup untuk berbagai kebutuhan pastoral. Pastor juga tak harus pakai mobil. HP juga belum ada. Cukup telepon di gereja saja. Telepon satu-satunya untuk situasi teramat penting.
Kemudian tahun 1985 ke atas, makin banyak yang lain-lain selain derma.Ada rumah tangga paroki, dengan dalih gereja mandiri, dan lain-lain pula.
Menginjak tahun 1990-an, iuran-iuran seperti debu yang beterbangan di udara. Yang tak perlu harus iuran, dibuat menjadi iruran semua. Apalagi kalau ada gawe gereja yang membutuhkan sedikit jajan, atau makan siang.
Itu belum lagi ditambah dengan iuran di tingkat lingkungan atau KBG dan lain-lain. Yang penting iuran dan iuran terus.
Sejauh itu, umat seakan tak ada hak untuk menanyakan untuk apa saja dan untuk siapa saja. Kita semua tentu bergembira melihat banyaknya kemajuan di gereja, bangku yang bagus, altar yang keren, balkon yang megah, menara yang menjulang, fasilitas pastor yang menyamai kalangan pimpinan perusahaan yang bonafide meski ada di antara umat yang jalan kaki.
Tak mengapa, pastor kan banyak kesibukan, melayani banyak umat. Hanya kadang-kadang juga terlihat bahwa umat yang kurang berada, tak perlu banyak berharap.
Sementara itu, marilah kita bertanya, akan jadi apakah akhir dari semua ini? Bukankah kita memupuk pertentangan demi pertentangan yang makin hari makin membumbung tingggi?
Memasuki milenium baru, perubahan makin sinting. Jangankan rumah tangga paroki, jangankan iuran, jangankan ongkos misa khusus, bahkan permandian, sambut baru, apalagi nikah, lebih besar nilainya daripada pajak kendaraan bermotor.
Sebagai umat manusia khususnya Umat Katolik, tentu saja segala pemberian baik derma, iuran, dan lain-lain, dilakukan dengan latar belakang iman.
Tapi kalau urusan dipermandikan untuk masuk menjadi warga gereja saja harus bayar, hemat saya, hal ini tak ada bedanya dengan indulgensia zaman baru. Atau barangkali lebih tepat diberi nama Indulgensia Milenium.
Yang saya tahu, Yesus berpesan dan memberi kuasa kepada para murid-Nya agar mewartakan khabar sukacita hingga ke ujung-ujung bumi. Baptislah mereka Dalam Nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus.
Namun yang aku jumpai di zaman milenium ini, para penyebar warta sukacita ini menimbulkan kesukaran, keguncangan, dan dukacita dimana-mana dengan ulah kebijakannya yang tak beda dengan ulah iblis berujud manusia.
Saya kurang percaya bahwa Yesus bisa memilih seorang murid atau orang pilihan yang belakangan mencekik umat dengan kebijakan untuk membayar jika ingin mengikuti Yesus.
Sungguh beda dengan tawaran Yesus kepada para murid-Nya zaman itu. ‘’Datanglah wahai kamu sekalian yang berbeban berat, maka akan Aku ringankan.’’
Bunyi Injil itu rupanya sudah berubah di era digital milenium ini. ‘’Jika ingin mengikuti aku, bayarlah sejumlah uang.’’ Benar-benar di tengah neraka.
Marilah kita waspada, karena mungkin semua ini pertanda awal, yang menunjuk pada peristiwa lama, peristiwa umat tercerai berai hanya karena duit. Tragis sekali.
Maaf…. dan renungkanlah jika berkesempatan.
Selag Alas, Sandubaya, Cakranegara, 10 Desember 2011
Selasa, 15 November 2011
KEINGINAN
Titik sentuh perjalanan manusia, ada pada keinginannya. Manusia ingin tahu dan ingin lebih. Manusia ingin dan ingin terus. Ingin segala-galanya. Ibarat menyiram api dengan bensin, demikianlah keinginan itu kian membara dan tak terkendali.
Setelah ingin ini,dia kemudian ingin itu. Setelah ingin itu, dia ingin dan ingin lagi. Keinginan tak terbatas,sementara sarana yang memenuhi keinginan, selalu terbatas sifatnya.
Hal inilah yang membuat manusia tak puas dengan hidupnya. Dengan segala kemampuan yang dimiliki, entah otak, tubuh, atau apapun juga, manusia terus berjuang memenuhi keinginan yang satu yang bahkan akan dijadikan tangga juga untuk memenuhi keinginan lainnya yang jauh lebih dasyat.
Semakin banyak dan jauh manusia mengingini, semakin keras dan kuat pula perjuangan manusia sampai akhirnya manusia menyadari bahwa manusia hanya memburu bayangannya sendiri yang tak mungkin akan bisa digenggamnya. Karena pada dasarnya, bayangan adalah pantulan dirinya sendiri.
Bukan hanya satu, banyak filsuf maupun manusia yang telah mengalami penerangan bathin menyatakan, bahwa menaklukan dunia, cukup dengan menaklukan diri sendiri.
Namun marilah kita lihat fakta lapangan, adakah yang melakukan itu? Dan ada yang lain lagi bertanya, untuk apa saya lakukan? Memangnya saya akan menjadi kenyang dengan menaklukan diri sendiri? Memangnya saya akan punya rumah mewah dan mobil mewah jika saya lulus menaklukan diri sendiri?
Pelajaran penaklukan diri memang sungguh abstrak dan sungguh jauh dari pemenuhan nafsu dunia, sehingga upaya penaklukan diri ibarat mitos. Ada di antara manusia yang memandang jalan ini sebagai jalan yang tak masuk akal, buang waktu, dan sia-sia.
Lihatlah bagaimana kehidupan bergerak begitu cepat dan tanpa tawar menawar. Semua manusia habis-habisan merebut sepotong roti seperti anjing yang kelaparan berebut sepotong tulang.
Sementara diri yang juga sedang kelaparan, apakah harus berdiam diri, atau dengan sangat terpaksa ikut turun gelanggang merebut sepotong roti demi memenuhi nafsu lapar ini?
Manusia yang hidup memang butuh makan. Bahkan makan secukupnya menurut ukuran normal. Itu manusiawi. Jika manusia bisa juga hidup tanpa makan namun bisa kenyang, saya pikir semua manusia akan mencari cara itu. Agar saban hari tak direpotkan dengan acara masak memasak, atau pergi ke pasar untuk cari sayur, atau ribut hutan gundul, hanya karena petani memotong sebatang ranting untuk masak. Sementara pengusaha penggergaji kayu dengan mesin potong menelan seisi rimba, tak pernah dipersoalkan bahkan didukung penuh para kapitalis dan birokrat korup.
Singkatnya, jika manusia bisa hidup tanpa makan, maka salah satu keinginan, alias biang keributan bisa teratasi. Namun benarkah bisa terjadi demikian? Faktanya, semua orang yang ingin tetap hidup, harus makan. Jika dia tak makan, akan mati kelaparan. Itu hukum alam, kecuali kalau ada yang bisa mengatasi atau setidak-tidaknya menguasai hukum alam itu. Dan yang sanggup menguasai, tak perlu kampanye ke seluruh dunia kan? Karena dunia beserta segenap perangkatnya, memang kadang kurang tertarik dengan hal yang demikian.
Patut dipertanyakan, karena meskipun jalan itu ada, tak banyak yang berminat. Mengapa? Karena terlalu banyak yang harus ditanggung, terlalu banyak derita yang dipikul. Dan bahasa derita itu seakan menjadi momok yang sangat menakutkan dan meresahkan, mirip teror bom atau isu akan ada tsunami.
Padahal Penderitaan adalah racun keinginan. Orang yang menderita hidupnya, tak pernah menginginkan apa-apa, selain agar tak menderita lagi atau setidak-tidaknya memperoleh sedikit kelegaan.
Namun bagi manusia "sadar" yang ingin menderita untuk membunuh keinginan, maka saat yang demikian, adalah saat paling bahagia dalam hidupnya. Dia bersyukur atas derita yang dialaminya. Karena penderitaan itu ternyata telah membuka matanya terhadap Karunia Penguasa Alam yang tiada duanya, penaklukan keinginan.
Sekarang saya bertanya kepada anda semua yang punya waktu untuk membaca ini, seberapa besar keinginan anda? Adakah hasrat anda untuk menaklukan hasrat anda? Manakah yang lebih besar, hasrat anda ataukah hasrat anda untuk menaklukan hasrat anda?
Ini pencarian kehidupan yang hakiki. Jika anda masih ribut gara-gara sepotong roti atau sepiring nasi, sadarlah bahwa anda sebenarnya belum waktunya membaca tulisan ini. Terima kasih dan maaf jika ada yang kurang berkenan. Selagalas, 16 November 2011.
Setelah ingin ini,dia kemudian ingin itu. Setelah ingin itu, dia ingin dan ingin lagi. Keinginan tak terbatas,sementara sarana yang memenuhi keinginan, selalu terbatas sifatnya.
Hal inilah yang membuat manusia tak puas dengan hidupnya. Dengan segala kemampuan yang dimiliki, entah otak, tubuh, atau apapun juga, manusia terus berjuang memenuhi keinginan yang satu yang bahkan akan dijadikan tangga juga untuk memenuhi keinginan lainnya yang jauh lebih dasyat.
Semakin banyak dan jauh manusia mengingini, semakin keras dan kuat pula perjuangan manusia sampai akhirnya manusia menyadari bahwa manusia hanya memburu bayangannya sendiri yang tak mungkin akan bisa digenggamnya. Karena pada dasarnya, bayangan adalah pantulan dirinya sendiri.
Bukan hanya satu, banyak filsuf maupun manusia yang telah mengalami penerangan bathin menyatakan, bahwa menaklukan dunia, cukup dengan menaklukan diri sendiri.
Namun marilah kita lihat fakta lapangan, adakah yang melakukan itu? Dan ada yang lain lagi bertanya, untuk apa saya lakukan? Memangnya saya akan menjadi kenyang dengan menaklukan diri sendiri? Memangnya saya akan punya rumah mewah dan mobil mewah jika saya lulus menaklukan diri sendiri?
Pelajaran penaklukan diri memang sungguh abstrak dan sungguh jauh dari pemenuhan nafsu dunia, sehingga upaya penaklukan diri ibarat mitos. Ada di antara manusia yang memandang jalan ini sebagai jalan yang tak masuk akal, buang waktu, dan sia-sia.
Lihatlah bagaimana kehidupan bergerak begitu cepat dan tanpa tawar menawar. Semua manusia habis-habisan merebut sepotong roti seperti anjing yang kelaparan berebut sepotong tulang.
Sementara diri yang juga sedang kelaparan, apakah harus berdiam diri, atau dengan sangat terpaksa ikut turun gelanggang merebut sepotong roti demi memenuhi nafsu lapar ini?
Manusia yang hidup memang butuh makan. Bahkan makan secukupnya menurut ukuran normal. Itu manusiawi. Jika manusia bisa juga hidup tanpa makan namun bisa kenyang, saya pikir semua manusia akan mencari cara itu. Agar saban hari tak direpotkan dengan acara masak memasak, atau pergi ke pasar untuk cari sayur, atau ribut hutan gundul, hanya karena petani memotong sebatang ranting untuk masak. Sementara pengusaha penggergaji kayu dengan mesin potong menelan seisi rimba, tak pernah dipersoalkan bahkan didukung penuh para kapitalis dan birokrat korup.
Singkatnya, jika manusia bisa hidup tanpa makan, maka salah satu keinginan, alias biang keributan bisa teratasi. Namun benarkah bisa terjadi demikian? Faktanya, semua orang yang ingin tetap hidup, harus makan. Jika dia tak makan, akan mati kelaparan. Itu hukum alam, kecuali kalau ada yang bisa mengatasi atau setidak-tidaknya menguasai hukum alam itu. Dan yang sanggup menguasai, tak perlu kampanye ke seluruh dunia kan? Karena dunia beserta segenap perangkatnya, memang kadang kurang tertarik dengan hal yang demikian.
Patut dipertanyakan, karena meskipun jalan itu ada, tak banyak yang berminat. Mengapa? Karena terlalu banyak yang harus ditanggung, terlalu banyak derita yang dipikul. Dan bahasa derita itu seakan menjadi momok yang sangat menakutkan dan meresahkan, mirip teror bom atau isu akan ada tsunami.
Padahal Penderitaan adalah racun keinginan. Orang yang menderita hidupnya, tak pernah menginginkan apa-apa, selain agar tak menderita lagi atau setidak-tidaknya memperoleh sedikit kelegaan.
Namun bagi manusia "sadar" yang ingin menderita untuk membunuh keinginan, maka saat yang demikian, adalah saat paling bahagia dalam hidupnya. Dia bersyukur atas derita yang dialaminya. Karena penderitaan itu ternyata telah membuka matanya terhadap Karunia Penguasa Alam yang tiada duanya, penaklukan keinginan.
Sekarang saya bertanya kepada anda semua yang punya waktu untuk membaca ini, seberapa besar keinginan anda? Adakah hasrat anda untuk menaklukan hasrat anda? Manakah yang lebih besar, hasrat anda ataukah hasrat anda untuk menaklukan hasrat anda?
Ini pencarian kehidupan yang hakiki. Jika anda masih ribut gara-gara sepotong roti atau sepiring nasi, sadarlah bahwa anda sebenarnya belum waktunya membaca tulisan ini. Terima kasih dan maaf jika ada yang kurang berkenan. Selagalas, 16 November 2011.
Senin, 14 November 2011
Mujizat
Di tengah kehidupan manusia yang makin sulit, banyak kebohongan, banyak penipuan, dan lain-lain sifat tak terpuji, kasih kebanyakan orang pun menjadi dingin, dan rasa saling curiga dan upaya menjatuhkan pun kian terasa.
Berbarengan dengan itu, manusia semakin tak percaya mengenai adanya keajaiban. Bukan sekadar keajaiban-keajaiban biasa, namun hal-hal yang memang sudah selayaknya ditempatkan pada apa yang disebut sebagai mujizat
Sebab bagi manusia tertentu, sesuatu hal bukanlah keajaiban, tetapi bagi manusia yang lain lagi, sesuatu yang dianggap biasa, baginya adalah keajaiban.
Kembali kepada topik keajaiban. Saya ingin menyampaikan sebuah kesaksian yang tak main-main yang saya alami sekitar 11 tahun lalu. Dan Bukan hanya ini, tetapi beberapa yang lain, bahkan yang jauh lebih dari ini pun pernah saya alami. Namun mungkin akan diceritakan dalam kesempatan lain.
Apa yang akan saya ceritakan tak bermaksud memberitakan kepada khalayak mengenai betapa hebatnya aku melainkan, mengenai betapa besar kasih Tuhan akan manusia.
Bahwa bagi Dia, sama sekali tak ada yang mustahil. Dan itu tak sekadar kata pemanis. Bahwa dalam media apa saja, Dia bisa tampil memberikan kelegaan, kesembuhan, dan apapun juga sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya.
Di tengah krisis iman yang mendekati keruntuhan peradaban, tampaknya kebanyakan manusia kian tak percaya akan campur tangan Dia yang menjadi penguasa jagad raya ini.
Hal itu bisa terjadi, karena manusia merasa dirinya sudah bisa melakukan segala sesuatu tanpa harus dibantu atau dituntun Dia yang menjadi pemilik kehidupan. Manusia dengan segala teknologi dan kemajuannya yang spekatakuler dalam berbagai sisi, pendidikan, kesehatan, antariksa, dan lain-lain lagi, telah membuka banyak tabir rahasia alam ini.
Dengan berbagai kemampuan yang dimiliki itu, manusia seakan mengira bahwa semua dapat dilakukannya, bahkan tanpa harus menyembah Dia. Bahkan penyembahan akan Dia kadang dianggap sebagai tindakan manusia paling lemah, tidak ada kerjaan, dan telah kehilangan harapan serta buang-buang waktu.
Di tengah kecanggihan manusia yang luar biasa ini, manusia juga semakin tak percaya kepada Dia, apalagi keajaiban Karena manusia sudah bisa terbang, bisa berkomunikasi melalui udara, dan begitu banyak kemudahan lain yang oleh orang tertentu telah menyamakannya sebagai keajaiban pula. Meskipun tentu saja tak sama dengan mujizat Tuhan Yesus menyembuhkan orang lumpuh, misalnya.
Kembali kepada judul tulisan ini. Tulisan dengan pembuka yang agak bertele-tele ini sekadar menjadi salam pembuka bagi siapa pun yang berkesempatan membacanya. Bahwa mujizat itu tetap ada di tengah kecanggihan manusia yang menganggap dirinya serba bisa ini.
Di suatu malam sekitar Juli tahun 2000. Hari dan tanggal telah dilupakan. Bahkan bulan pun tak pasti. Namun yang jelas, itu terjadi di tahun 2.000. Ketika itu aku baru pulang piket malam bekerja di salah satu surat khabar di Lombok, NTB.
Di tengah kepenatan itu, aku membuka pintu rumah milik Paulus Doni Liat di BTN Tanah Haji, tempatku menginap.
Jauh sebelumnya semasa kuliah, aku juga menginap di sana, namun di tahun itu, aku kembali menginap di sana, karena adanya peristiwa rusuh masa di Mataram, 17 Januari 2000.
Dalam kondisi yang agak lelah, aku menyetel tv 14 inci di depan saya di ruang tengah. Kondisi lelah ditambah suara pembawa acara yang berapi-api saat membawakan acara siraman rohani, bukan membuatku bersemangat melainkan semakin ogah.
Oh ya, perlu saya ceritakan di sini, bahwa ketika itu aku menderita sakit di rahang, yang membuat rahang saya sulit dibuka. Setiap kali dibuka, sakitnya bukan main. karena itu saya sangat tersiksa setiap kali makan. Namun itu saya paksakan.
Rasa sakit itu telah saya derita sekitar akhir 1997 lalu.
Sepanjang waktu itu pula, saya tak bisa membersihkan rahang saya dengan baik, karena setiap kali membuka mulut, rasa sakit itu hampir tak tertahankan. Akibatnya, gigi geraham saya yang tak pernah dibersihkan itu hancur dengan sendirinya.
Penderitaan itu semakin tak tertahankan, dan aku seakan menyerah sampai malam itu.
Dengan langkah tertatih, aku bangun dan mendekati TV dan memegang tombol untuk mematikannya.
Namun mendadak, suara pembawa acara siraman rohani itu menggema di tengah kelam malam. ''Saya melihat dalam Roh, seorang pemuda yang tengah menikmati acara ini,'' katanya.
Waktu itu saya masih bujang, belum menikah, jadi saya termasuk di antara sekian pemuda yang menikmati acara siraman rohani malam itu sebagaimana yang dimaksud pembawa acara.
Jadi, aku menarik kembali tanganku dari tombol tv, kemudian pembawa acara itu melanjutkan. ''Pemuda ini sangat menderita, karena rahangnya sangat sakit setiap kali dia membuka mulutnya,'' katanya.
Saya semakin yakin bahwa di tengah malam menjelang pukul 01.00 Wita itu, mungkin satu diantara 10 juta orang yang mengalami eeperti apa yang saya alami. Karena itu aku semakin yakin, bahwa pemuda yang dimaksudkan itu adalah aku.
Pembawa acara ini melanjutkan. ''Saudaraku, Roh Kudus tengah bekerja menjamah sakit yang engkau derita itu. Rasakanlah kekuatannya yang mengalir di dalam rasa sakitmu itu. Tuhan Yesus sedang menyembuhkan engkau saudaraku. Oleh bilur-bilur-Nya, engkau telah disembuhkan,'' katanya.
Sesaat lamanya aku tertegun berdiri memandang layar kaca seakan tak percaya, ada kejadian maha hebat yang baru terjadi atas diriku yang berlangsung tak lebih dari dua menit bahkan semenit.
Kemudian pembawa acara melanjutkan. ''Terima kasih saudaraku semua. Tuhan Yesus memberkati. Oleh bilur-bilur-Nya, kamu telah disembuhkan. Terpujilah Dia untuk selama-lamanya Amin. Sampai berjumpa lagi dan selamat malam. Tuhan Yesus memberkati, Amin.''
Acara itu pun berlalu. Dengan sedikit ragu-ragu, kugerakan rahangku yang menyiksaku bertahun-tahun. Meski masih ada sedikit rasa sakit ketika itu, namun tak dapat kupungkiri bahwa rasa sakit itu jauh berkurang.
Dengan langkah pasti, kulangkahkan kakiku ke dalam kamar dan berbaring melepas penat guna melanjutkan hari-hari hidup ini keesokannya. Terselip sedikit keraguan, apakah memang aku yang disembuhkan.
Aku berdoa sebentar di kamar sebelum membaringkan diri, sambil aku gerakan rahangku yang sungguh-sungguh membuatku setengah mati itu. Siapa tahu, yang disembuhkan itu bukan saya tapi orang lain lagi, yang sependeritaan dengan saya.
Namun tak dapat kupungkiri, bahwa rasa sakit makin lama makin hilang. Dan aku pun tertidur hingga pagi hari. Ketika aku bangun pagi, aku merasakan sesuatu yang lain. Pemulihan. Aku ke dapur, aku ambil makanan di atas kompor dan memindahkan ke meja makan. Aku sendok nasi dan beberapa potong tempe. Masih dengan ragu-ragu aku mulai makan mengunyah suap demi suap.
Mujizat memang telah terjadi sepanjang malam itu. Rahangku sembuh total. Aku makan seperti biasa, seperti dulu sebelum menderita sakit di rahang itu. Bahkan kini aku bisa menikmati lagi jagung titi, makanan khas dan andalan di kampung halaman saya, Desa Watoone, Witihama, bahkan makanan pokok orang di pulauku, Pulau Adonara, Flores Timur, NTT. ''Syukur dan Pujian kepada-Mu ya Bapa, Putera,dan Roh Kudus. Syukur pada-MU atas untung dan malang, sakit dan sehat. Karena semua ini membawa kami kian dekat pada-Mu. AMIN. Selagalas, 15 November 2001.
Berbarengan dengan itu, manusia semakin tak percaya mengenai adanya keajaiban. Bukan sekadar keajaiban-keajaiban biasa, namun hal-hal yang memang sudah selayaknya ditempatkan pada apa yang disebut sebagai mujizat
Sebab bagi manusia tertentu, sesuatu hal bukanlah keajaiban, tetapi bagi manusia yang lain lagi, sesuatu yang dianggap biasa, baginya adalah keajaiban.
Kembali kepada topik keajaiban. Saya ingin menyampaikan sebuah kesaksian yang tak main-main yang saya alami sekitar 11 tahun lalu. Dan Bukan hanya ini, tetapi beberapa yang lain, bahkan yang jauh lebih dari ini pun pernah saya alami. Namun mungkin akan diceritakan dalam kesempatan lain.
Apa yang akan saya ceritakan tak bermaksud memberitakan kepada khalayak mengenai betapa hebatnya aku melainkan, mengenai betapa besar kasih Tuhan akan manusia.
Bahwa bagi Dia, sama sekali tak ada yang mustahil. Dan itu tak sekadar kata pemanis. Bahwa dalam media apa saja, Dia bisa tampil memberikan kelegaan, kesembuhan, dan apapun juga sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya.
Di tengah krisis iman yang mendekati keruntuhan peradaban, tampaknya kebanyakan manusia kian tak percaya akan campur tangan Dia yang menjadi penguasa jagad raya ini.
Hal itu bisa terjadi, karena manusia merasa dirinya sudah bisa melakukan segala sesuatu tanpa harus dibantu atau dituntun Dia yang menjadi pemilik kehidupan. Manusia dengan segala teknologi dan kemajuannya yang spekatakuler dalam berbagai sisi, pendidikan, kesehatan, antariksa, dan lain-lain lagi, telah membuka banyak tabir rahasia alam ini.
Dengan berbagai kemampuan yang dimiliki itu, manusia seakan mengira bahwa semua dapat dilakukannya, bahkan tanpa harus menyembah Dia. Bahkan penyembahan akan Dia kadang dianggap sebagai tindakan manusia paling lemah, tidak ada kerjaan, dan telah kehilangan harapan serta buang-buang waktu.
Di tengah kecanggihan manusia yang luar biasa ini, manusia juga semakin tak percaya kepada Dia, apalagi keajaiban Karena manusia sudah bisa terbang, bisa berkomunikasi melalui udara, dan begitu banyak kemudahan lain yang oleh orang tertentu telah menyamakannya sebagai keajaiban pula. Meskipun tentu saja tak sama dengan mujizat Tuhan Yesus menyembuhkan orang lumpuh, misalnya.
Kembali kepada judul tulisan ini. Tulisan dengan pembuka yang agak bertele-tele ini sekadar menjadi salam pembuka bagi siapa pun yang berkesempatan membacanya. Bahwa mujizat itu tetap ada di tengah kecanggihan manusia yang menganggap dirinya serba bisa ini.
Di suatu malam sekitar Juli tahun 2000. Hari dan tanggal telah dilupakan. Bahkan bulan pun tak pasti. Namun yang jelas, itu terjadi di tahun 2.000. Ketika itu aku baru pulang piket malam bekerja di salah satu surat khabar di Lombok, NTB.
Di tengah kepenatan itu, aku membuka pintu rumah milik Paulus Doni Liat di BTN Tanah Haji, tempatku menginap.
Jauh sebelumnya semasa kuliah, aku juga menginap di sana, namun di tahun itu, aku kembali menginap di sana, karena adanya peristiwa rusuh masa di Mataram, 17 Januari 2000.
Dalam kondisi yang agak lelah, aku menyetel tv 14 inci di depan saya di ruang tengah. Kondisi lelah ditambah suara pembawa acara yang berapi-api saat membawakan acara siraman rohani, bukan membuatku bersemangat melainkan semakin ogah.
Oh ya, perlu saya ceritakan di sini, bahwa ketika itu aku menderita sakit di rahang, yang membuat rahang saya sulit dibuka. Setiap kali dibuka, sakitnya bukan main. karena itu saya sangat tersiksa setiap kali makan. Namun itu saya paksakan.
Rasa sakit itu telah saya derita sekitar akhir 1997 lalu.
Sepanjang waktu itu pula, saya tak bisa membersihkan rahang saya dengan baik, karena setiap kali membuka mulut, rasa sakit itu hampir tak tertahankan. Akibatnya, gigi geraham saya yang tak pernah dibersihkan itu hancur dengan sendirinya.
Penderitaan itu semakin tak tertahankan, dan aku seakan menyerah sampai malam itu.
Dengan langkah tertatih, aku bangun dan mendekati TV dan memegang tombol untuk mematikannya.
Namun mendadak, suara pembawa acara siraman rohani itu menggema di tengah kelam malam. ''Saya melihat dalam Roh, seorang pemuda yang tengah menikmati acara ini,'' katanya.
Waktu itu saya masih bujang, belum menikah, jadi saya termasuk di antara sekian pemuda yang menikmati acara siraman rohani malam itu sebagaimana yang dimaksud pembawa acara.
Jadi, aku menarik kembali tanganku dari tombol tv, kemudian pembawa acara itu melanjutkan. ''Pemuda ini sangat menderita, karena rahangnya sangat sakit setiap kali dia membuka mulutnya,'' katanya.
Saya semakin yakin bahwa di tengah malam menjelang pukul 01.00 Wita itu, mungkin satu diantara 10 juta orang yang mengalami eeperti apa yang saya alami. Karena itu aku semakin yakin, bahwa pemuda yang dimaksudkan itu adalah aku.
Pembawa acara ini melanjutkan. ''Saudaraku, Roh Kudus tengah bekerja menjamah sakit yang engkau derita itu. Rasakanlah kekuatannya yang mengalir di dalam rasa sakitmu itu. Tuhan Yesus sedang menyembuhkan engkau saudaraku. Oleh bilur-bilur-Nya, engkau telah disembuhkan,'' katanya.
Sesaat lamanya aku tertegun berdiri memandang layar kaca seakan tak percaya, ada kejadian maha hebat yang baru terjadi atas diriku yang berlangsung tak lebih dari dua menit bahkan semenit.
Kemudian pembawa acara melanjutkan. ''Terima kasih saudaraku semua. Tuhan Yesus memberkati. Oleh bilur-bilur-Nya, kamu telah disembuhkan. Terpujilah Dia untuk selama-lamanya Amin. Sampai berjumpa lagi dan selamat malam. Tuhan Yesus memberkati, Amin.''
Acara itu pun berlalu. Dengan sedikit ragu-ragu, kugerakan rahangku yang menyiksaku bertahun-tahun. Meski masih ada sedikit rasa sakit ketika itu, namun tak dapat kupungkiri bahwa rasa sakit itu jauh berkurang.
Dengan langkah pasti, kulangkahkan kakiku ke dalam kamar dan berbaring melepas penat guna melanjutkan hari-hari hidup ini keesokannya. Terselip sedikit keraguan, apakah memang aku yang disembuhkan.
Aku berdoa sebentar di kamar sebelum membaringkan diri, sambil aku gerakan rahangku yang sungguh-sungguh membuatku setengah mati itu. Siapa tahu, yang disembuhkan itu bukan saya tapi orang lain lagi, yang sependeritaan dengan saya.
Namun tak dapat kupungkiri, bahwa rasa sakit makin lama makin hilang. Dan aku pun tertidur hingga pagi hari. Ketika aku bangun pagi, aku merasakan sesuatu yang lain. Pemulihan. Aku ke dapur, aku ambil makanan di atas kompor dan memindahkan ke meja makan. Aku sendok nasi dan beberapa potong tempe. Masih dengan ragu-ragu aku mulai makan mengunyah suap demi suap.
Mujizat memang telah terjadi sepanjang malam itu. Rahangku sembuh total. Aku makan seperti biasa, seperti dulu sebelum menderita sakit di rahang itu. Bahkan kini aku bisa menikmati lagi jagung titi, makanan khas dan andalan di kampung halaman saya, Desa Watoone, Witihama, bahkan makanan pokok orang di pulauku, Pulau Adonara, Flores Timur, NTT. ''Syukur dan Pujian kepada-Mu ya Bapa, Putera,dan Roh Kudus. Syukur pada-MU atas untung dan malang, sakit dan sehat. Karena semua ini membawa kami kian dekat pada-Mu. AMIN. Selagalas, 15 November 2001.
Jumat, 11 November 2011
Gunung Boleng
Kerinduanku begitu nyata. pada tangkai padang kemarau yang lemah gemulai diterpa angin panas. Angin yang berdesir dari kawah yang mendidih mengingatkan aku akan asalku. Di ketandusan bumi dan hati yang dilanda kepenatan ini, aku mencoba mengasah sepotong asa.
Jiwaku meratap dalam kesunyian memohon pengampunan yang mendatangkan sejumlah luka, luka-luka di tubuhku, luka-luka di tubuh umat manusia, luka-luka di tubuh bumi yang kupijak tanpa permisi, yang kukencingi dan kuberaki saban hari.
Aku ini manusia sungguh durhaka, hatiku tak pernah ingin menyatu dengan kedukaan bumi yang ramah, yang tak pernah membalas kejahatanku dengan petaka. Namun petaka didatangkannya untuk menyadarkan aku akan kepapaanku dan ketidakberdayaanku.
Kini di persimpangan jalan, ketika matahari mulai condong ke barat, saat ketika petani hendak pulang dari ladang, dan ayam di ladang mulai mengepakan sayap menyapa malam, aku menatap langit timur yang kelam kelabu.
Manusia ternyata memang seperti kata Sang Pe-Mazmur. Hidup seperti satu giliran ronda malam. Begitu singkat, namun sebagian besarnya terdiri dari duka dan derita. Sang pe-Mazmur pun berdoa, berilah agar tahun-tahun hidup keberuntunganku seimbang dengan tahun-tahun kemalanganku.
Dari jauh kutatap lagi Puncak Boleng,selimut kabut yang melingkari lereng mulai sirna. Puncak yang gagah itu seakan memanggil pulang dalam desau semilir yang hangat penuh kasih. Penyaringan pasti akan datang, tapi mungkin bukan sekarang. Karena pengampunan itu masih ada. Walaupun hanya sedikit.
Manusia yang lemah dan tak berdaya ini, syukur kepada Tuhan jika masih sempat membuka hati menyadari kelemahannya. Karena jika disadari secara hakiki, Tuhan lebih leluasa bekerja di tengah kelemahan manusia yang sedang memohon pertolongan. Sedangkan manusia yang jahat ini saja bisa menolong, apalagi Tuhan Yang Mahabaik...Terpujilah Nama-NYA....AMIN
Jiwaku meratap dalam kesunyian memohon pengampunan yang mendatangkan sejumlah luka, luka-luka di tubuhku, luka-luka di tubuh umat manusia, luka-luka di tubuh bumi yang kupijak tanpa permisi, yang kukencingi dan kuberaki saban hari.
Aku ini manusia sungguh durhaka, hatiku tak pernah ingin menyatu dengan kedukaan bumi yang ramah, yang tak pernah membalas kejahatanku dengan petaka. Namun petaka didatangkannya untuk menyadarkan aku akan kepapaanku dan ketidakberdayaanku.
Kini di persimpangan jalan, ketika matahari mulai condong ke barat, saat ketika petani hendak pulang dari ladang, dan ayam di ladang mulai mengepakan sayap menyapa malam, aku menatap langit timur yang kelam kelabu.
Manusia ternyata memang seperti kata Sang Pe-Mazmur. Hidup seperti satu giliran ronda malam. Begitu singkat, namun sebagian besarnya terdiri dari duka dan derita. Sang pe-Mazmur pun berdoa, berilah agar tahun-tahun hidup keberuntunganku seimbang dengan tahun-tahun kemalanganku.
Dari jauh kutatap lagi Puncak Boleng,selimut kabut yang melingkari lereng mulai sirna. Puncak yang gagah itu seakan memanggil pulang dalam desau semilir yang hangat penuh kasih. Penyaringan pasti akan datang, tapi mungkin bukan sekarang. Karena pengampunan itu masih ada. Walaupun hanya sedikit.
Manusia yang lemah dan tak berdaya ini, syukur kepada Tuhan jika masih sempat membuka hati menyadari kelemahannya. Karena jika disadari secara hakiki, Tuhan lebih leluasa bekerja di tengah kelemahan manusia yang sedang memohon pertolongan. Sedangkan manusia yang jahat ini saja bisa menolong, apalagi Tuhan Yang Mahabaik...Terpujilah Nama-NYA....AMIN
Selasa, 08 November 2011
Senin, 07 November 2011
KEBUN
Terlintas dalam benakku, akan kumanfaatkan sebidang tanah untuk menanam beraneka ragam tanaman. Mulai dari tanaman berumur pendek, hingga tanaman berumur panjang yang akan bisa dinikmati hasilnya 30 atau 50 tahun mendatang.
Atau kalau memang tak dinikamti hasilnya secara langsung, paling tidak, dalam kurun waktu yang panjang itu, dapat memberikan manfaat tidak langsung. Misalnya tanaman asam, yang bisa menghijauakan dan memberikan hawa sejuk. Pohon beringin yang daunnya bisa untuk makanan kambing, tapi juga menjadi penyuplai air tanah yang sangat efektif, karena kemampuan akar beringin menyimpan air, adalah 28o kali dari tanaman lainnya. Begitu juga tentu saja hawa segar yang diberikannya atau paling tidak aku dapat berteduh di bawahnya di kala terik.
Impianku itu bukan baru sekarang, melainkan sejak dulu, ketika aku masih duduk di SD, bahkan sebelum sekolah. Aku mengimpikan, bagaimana kalau dari akar beringin yang tumbuh lebat itu, tiba-tiba memancar keluar mata air. Tentu saja kebun saya yang sepetak itu akan menjadi sangat subur dan dapat ditanami apa saja yang lain. Begitu juga kebun-kebun yang ada di sekitarku.
Sistem pertanian tentu saja akan berubah dari ladang berpindah ke sawah berpengairan teknis. Mimpi itu sedemikian nyata, sampai sulit kubedakan antara mimpi, hayalan, dan kenyataan.
Aku ingin menanam apa saja. Tanaman yang daunnya selain memberikan kesegaran, juga daunnya dapat dimakan hewan piaraan maupun orang.
Dengan demikian, tanaman yang ditanam itu akan bernilai ganda. Misalnya, tanaman nangka. Nangka ini daunnya bisa dimakan kambing, buahnya bisa dimakan manusia, sementara bekas makan manusia itu masih bisa dimakan kambing maupun babi.
Tanaman ini sungguh efektif. Tak butuh banyak air, bisa hidup di lahan yang tandus, tumbuh subur dengan tak perlu banyak perawatan yang susah-susah. Asal mau menanam dan dapat tumbuh di awal tahun, selanjutnya akan bisa mengurus dirinya sendiri sampai menjadi besar dan berbuah.
Buah nangka memang sering dicuri. Tapi kalau saya menanamnya keliling kebun yang cukup luas ini dan sekiranya berhasil, tentu yang maling pun akan malas, karena buahnya akan terlampau banyak, tak cukup waktu dan tenaga bagi maling untuk bolak balik mencurinya setiap hari.
Impian itu begitu kuat sampai kadang mengganggu tidur malamku. Keeskokannya aku menelepon orang di kampung yang menjaga kebunku, karena aku masih ada di perantauan. Aku jelaskan segala maksudku, mengenai besarnya manfaat menanam pohon buah-buahan ini.
Namun aku dengar bahwa sejauh ini ternyata nangka itu tak pernah ditanam. Padahal bibit di bawah pohon nangka yang sudah tua itu teramat banyak, entah karena apa.
Sekiranya nasihatku diikuti, mungkin nangka itu sudah terlalu banyak buahnya sekarang. Bahkan kebunku memang sudah disulap menjadi kebun buah-buahan.
Namun dalam kebijakan kecilku ini, aku lupa bahwa orang2 di kampungku menganut kehidupan dengan tanaman semusim seperti jagung dan lain-lain. Jika kebun yang kecil ini dipakai menanam pohon buah-buahan, maka habislah sudah riwayat jagung-jagung itu. Habislah riwayat jagung yang jadi makanan pokok untuk menyongsong musim berikutnya. Jagung memang tak bagus tumbuh di bawah naungan. Jadi tinggal pilih, pohon buah-buahan atau tanaman semusim untuk kebutuhan pokok.
Angan-angan, mimpi, dan harapan memang tampak mudah, namun sulit dalam pelaksanaan, dan itu akan semakin sulit ketika berbenturan lagi dengan hal-hal yang pokok.
Aku belajar dari kehidupan yang sederhana ini. Bahwa bukan para pendahulu tak mau menanam pohon, tapi karena keterbatasan tempat membuat mereka memilih hal yang paling pokok demi kelangsungan hidup. Demikianlah pilihan sederhana yang sangat logis.
Jika ingin penghijauan yang lebih logis, mari kita tanami bukit-bukit yant tak dapat dijadikan kebun, karena di dalamnya hanya berisi bebatuan. Tetapi jika kita cukup serius, bukan tak mungkin tanaman bisa tumbuh di sana. Buktinya, setiap musim hujan, bukit-bukit selalu hijau, bahkan bukit batu sekali pun......
Atau kalau memang tak dinikamti hasilnya secara langsung, paling tidak, dalam kurun waktu yang panjang itu, dapat memberikan manfaat tidak langsung. Misalnya tanaman asam, yang bisa menghijauakan dan memberikan hawa sejuk. Pohon beringin yang daunnya bisa untuk makanan kambing, tapi juga menjadi penyuplai air tanah yang sangat efektif, karena kemampuan akar beringin menyimpan air, adalah 28o kali dari tanaman lainnya. Begitu juga tentu saja hawa segar yang diberikannya atau paling tidak aku dapat berteduh di bawahnya di kala terik.
Impianku itu bukan baru sekarang, melainkan sejak dulu, ketika aku masih duduk di SD, bahkan sebelum sekolah. Aku mengimpikan, bagaimana kalau dari akar beringin yang tumbuh lebat itu, tiba-tiba memancar keluar mata air. Tentu saja kebun saya yang sepetak itu akan menjadi sangat subur dan dapat ditanami apa saja yang lain. Begitu juga kebun-kebun yang ada di sekitarku.
Sistem pertanian tentu saja akan berubah dari ladang berpindah ke sawah berpengairan teknis. Mimpi itu sedemikian nyata, sampai sulit kubedakan antara mimpi, hayalan, dan kenyataan.
Aku ingin menanam apa saja. Tanaman yang daunnya selain memberikan kesegaran, juga daunnya dapat dimakan hewan piaraan maupun orang.
Dengan demikian, tanaman yang ditanam itu akan bernilai ganda. Misalnya, tanaman nangka. Nangka ini daunnya bisa dimakan kambing, buahnya bisa dimakan manusia, sementara bekas makan manusia itu masih bisa dimakan kambing maupun babi.
Tanaman ini sungguh efektif. Tak butuh banyak air, bisa hidup di lahan yang tandus, tumbuh subur dengan tak perlu banyak perawatan yang susah-susah. Asal mau menanam dan dapat tumbuh di awal tahun, selanjutnya akan bisa mengurus dirinya sendiri sampai menjadi besar dan berbuah.
Buah nangka memang sering dicuri. Tapi kalau saya menanamnya keliling kebun yang cukup luas ini dan sekiranya berhasil, tentu yang maling pun akan malas, karena buahnya akan terlampau banyak, tak cukup waktu dan tenaga bagi maling untuk bolak balik mencurinya setiap hari.
Impian itu begitu kuat sampai kadang mengganggu tidur malamku. Keeskokannya aku menelepon orang di kampung yang menjaga kebunku, karena aku masih ada di perantauan. Aku jelaskan segala maksudku, mengenai besarnya manfaat menanam pohon buah-buahan ini.
Namun aku dengar bahwa sejauh ini ternyata nangka itu tak pernah ditanam. Padahal bibit di bawah pohon nangka yang sudah tua itu teramat banyak, entah karena apa.
Sekiranya nasihatku diikuti, mungkin nangka itu sudah terlalu banyak buahnya sekarang. Bahkan kebunku memang sudah disulap menjadi kebun buah-buahan.
Namun dalam kebijakan kecilku ini, aku lupa bahwa orang2 di kampungku menganut kehidupan dengan tanaman semusim seperti jagung dan lain-lain. Jika kebun yang kecil ini dipakai menanam pohon buah-buahan, maka habislah sudah riwayat jagung-jagung itu. Habislah riwayat jagung yang jadi makanan pokok untuk menyongsong musim berikutnya. Jagung memang tak bagus tumbuh di bawah naungan. Jadi tinggal pilih, pohon buah-buahan atau tanaman semusim untuk kebutuhan pokok.
Angan-angan, mimpi, dan harapan memang tampak mudah, namun sulit dalam pelaksanaan, dan itu akan semakin sulit ketika berbenturan lagi dengan hal-hal yang pokok.
Aku belajar dari kehidupan yang sederhana ini. Bahwa bukan para pendahulu tak mau menanam pohon, tapi karena keterbatasan tempat membuat mereka memilih hal yang paling pokok demi kelangsungan hidup. Demikianlah pilihan sederhana yang sangat logis.
Jika ingin penghijauan yang lebih logis, mari kita tanami bukit-bukit yant tak dapat dijadikan kebun, karena di dalamnya hanya berisi bebatuan. Tetapi jika kita cukup serius, bukan tak mungkin tanaman bisa tumbuh di sana. Buktinya, setiap musim hujan, bukit-bukit selalu hijau, bahkan bukit batu sekali pun......
Jumat, 04 November 2011
YANG MASIH TERJAGA ITU
Suara-suara serak dari balik fatamorgana yang membakar ubun-ubun, makin terlihat nyata di sepanjang jalan. Kekeringan yang melanda akibat kegemaran aneh dari orang-orang aneh yang suka membakar.
Tak hanya membakar, tapi juga merusak dengan alasan, kayu itu akan dipakai merehab pondok di kebunnya, atau membuat kusen pintu dan jendela rumah, atau lebih sadis lagi, bahkan dijual untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Meski tanaman semakin kering dan meranggas, bahkan kesulitan air minum hingga puluhan bahkan ratusan tahun turun temurun, hal itu tak pernah membuat orang sadar untuk cinta akan kelestarian lingkungan.
Yang justru terjadi yakni malah keinginan dan nafsu yang kian bergelora untuk menghabiskan apa yang tersisa. Sisa-sisa pohon yang masih berdiri di tengah padang yang tandus, yang daunnya meliuk ke sana-kemnari diterpa angin panas kemarau, hendak ditamatkan pula riwayatnya demi sebuah nafsu.
Entah mengapa kegemaran merusak hutan ini justru ada di tengah manusia yang tinggal di kawasan tandus. Bukit yang gundul, tanah yang kini hilang humusnya karena lebih banyak dipakai menanam jambu mete, tak juga menyadarkan masyarakat bahwa tak hanya wabah kelaparan yang akan menimpa, tapi juga wabah kekeringan.
Memang di bagian lain dari pulau yang kecil ini, masih tersisa seonggok hutan yang menjadi penyangga air di seluruh pulau. Namun mata air yang menjadi milik pribadi, cukup menyulitkan untuk dilaksanakan pelestarian secara menyelujruh.
Belum lagi belum ada pengaturan yang jelas, sebenarnya di mana tanah pribadi dan sampai batas mana tanah yang semestinya menjadi kawasan hutan tutupan.
Marilah kita menyempatkan diri sesaat menatap Gunung Boleng yang gundul sejak dari kawasan puncak hingga pertengahan, bahkan hingga lereng dan lembah. Gunung ini cukup tinggi dengan kawasan bebas dari kegiatan usaha tani yang cukup luas.
Namun hal itu tak banyak berpengaruh, karena kawasan yang tak tersentuh itu pun dibiarkan kosong begitu saja, tak pernah ada program penghijauan atau sekadar memberi sosialisasi kepada masyarakat yang tinggal sekitar kawasan agar mau menanam satu atau dua batang pohon.
Sejauh ini peranan pemerintah hanya menyelesaikan masalah jangka pendek, yakni memasang pipa air dari tempat yang ada sumber airnya demi memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sedangkan untuk jangka panjang, tampaknya kurang diminati, karena bukan tak mungkin hal ini secara politis, tak begitu mendukung alias kurang berguna. Itu karena baik pemerintah maupun masyarakat selalu mengharapkan sesuatu yang instan. Sungguh jauh membayangkan ada pemerintah maupun masyarakat yang memiliki pemikiran secara moral mengenai tanggung jawab akan pelestarian lingkungan.
Di sisi lain, kebutuhan akan kayu juga kian mendesak dari hari ke hari. Dan jangan lupa, pohon yang ditebang sekarang untuk berbagai keperluan itu, bukan ditanam setahun atau dua tahun lalu, melainkan bertahun-tahun sebelumnya.
Setelah menghabisinya dalam sekejap, penjahat lingkungan ini tak sedikit pun tergerak hatinya untuk menggantinya dengan yang baru. Akibatnya, pohon yang hidup puluhan tahun itu lenyap begitu saja dan hari demi hari, suasana gerah maupun kekeringan kian terasa.
Sejauh ini pula tak ada batasan yang jelas, mana kawasan yang tak boleh diganggu. Akhirnya tanaman yang sudah tumbuh sejak puluhan tahun, ditebang tanpa ampun di sepanjang lereng gunung, dan berakhir hanya di dapur api untuk keperluan masak memasak.
Hal ini tentu tak akan jadi masalah, jika penebangan itu disusul dengan penggantian tanaman baru yang tentu saja cocok dengan kondisi sekitar. Tentu saja kita menanam tanaman keras yang tahan kekeringan.
Bila perlu setiap penebangan, selalu diiringi dengan perhitungan, tebang satu tanam tiga atau 10. Karena kondisi lahan yang ada, khususnya di lereng gunung yang cukup luas itu masih sangat memungkinkan untuk dilakukan.
Dengan penanaman yang cukup giat di sepanjang lereng Gunung Boleng, bukan tak mungkin bahwa dalam jangka waktu tertentu, mata air yang sebelumnya kering kerontang, pada akhirnya dapat muncul kembali. Kecuali kalau pelajaran ilmu alam yang kita peroleh di sekolah selama ini ternyata keliru.
Kita sangat patut prihatin, karena seiring makin menipisnya pohon-pohon di padang maupun sisa hutan yang lebih sering dibakar daripada diitanami, maka sejumlah satwa pun kian berkurang bahkan musnah.
Jika sekarang ini anda semua berkesempatan berjalan-jalan ke Puncak Gunung Boleng, maka anda sudah pasti akan kesulitan menjumpai kambing hutan atau babi hutan, termasuk beberapa jenis unggas yang sudah menyentuh taraf langka.
Dan yang lebih mengerikan lagi, terbetik berita dari kampung halaman, bahwa banyak anak muda yang berleha-leha di Puncak Gunung Boleng dan membuat banyak "kekacauan" di sana. Kita perlu berhati-hati akan hal ini, karena terlampau berat.
Jangan lupa, bahwa meski Gunung Boleng ini begitu kering kerontang, namun masih sangat terjaga secara ROHANI. Jadi jika membuat ulah yang macam-macam di tempat ini, saya pikir sulit bagi anda semua untuk mempertanggungjawabkannya.
Sedangkan terhadap apa yang terlihat pun (Kerusakan hutan) anda tak dapat berbuat apapun, apalagi terhadap hal yang ROHANI, yang tak terlihat. Hati-hati karena hal itu tak lama lagi. Terima kasih.
Tak hanya membakar, tapi juga merusak dengan alasan, kayu itu akan dipakai merehab pondok di kebunnya, atau membuat kusen pintu dan jendela rumah, atau lebih sadis lagi, bahkan dijual untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Meski tanaman semakin kering dan meranggas, bahkan kesulitan air minum hingga puluhan bahkan ratusan tahun turun temurun, hal itu tak pernah membuat orang sadar untuk cinta akan kelestarian lingkungan.
Yang justru terjadi yakni malah keinginan dan nafsu yang kian bergelora untuk menghabiskan apa yang tersisa. Sisa-sisa pohon yang masih berdiri di tengah padang yang tandus, yang daunnya meliuk ke sana-kemnari diterpa angin panas kemarau, hendak ditamatkan pula riwayatnya demi sebuah nafsu.
Entah mengapa kegemaran merusak hutan ini justru ada di tengah manusia yang tinggal di kawasan tandus. Bukit yang gundul, tanah yang kini hilang humusnya karena lebih banyak dipakai menanam jambu mete, tak juga menyadarkan masyarakat bahwa tak hanya wabah kelaparan yang akan menimpa, tapi juga wabah kekeringan.
Memang di bagian lain dari pulau yang kecil ini, masih tersisa seonggok hutan yang menjadi penyangga air di seluruh pulau. Namun mata air yang menjadi milik pribadi, cukup menyulitkan untuk dilaksanakan pelestarian secara menyelujruh.
Belum lagi belum ada pengaturan yang jelas, sebenarnya di mana tanah pribadi dan sampai batas mana tanah yang semestinya menjadi kawasan hutan tutupan.
Marilah kita menyempatkan diri sesaat menatap Gunung Boleng yang gundul sejak dari kawasan puncak hingga pertengahan, bahkan hingga lereng dan lembah. Gunung ini cukup tinggi dengan kawasan bebas dari kegiatan usaha tani yang cukup luas.
Namun hal itu tak banyak berpengaruh, karena kawasan yang tak tersentuh itu pun dibiarkan kosong begitu saja, tak pernah ada program penghijauan atau sekadar memberi sosialisasi kepada masyarakat yang tinggal sekitar kawasan agar mau menanam satu atau dua batang pohon.
Sejauh ini peranan pemerintah hanya menyelesaikan masalah jangka pendek, yakni memasang pipa air dari tempat yang ada sumber airnya demi memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sedangkan untuk jangka panjang, tampaknya kurang diminati, karena bukan tak mungkin hal ini secara politis, tak begitu mendukung alias kurang berguna. Itu karena baik pemerintah maupun masyarakat selalu mengharapkan sesuatu yang instan. Sungguh jauh membayangkan ada pemerintah maupun masyarakat yang memiliki pemikiran secara moral mengenai tanggung jawab akan pelestarian lingkungan.
Di sisi lain, kebutuhan akan kayu juga kian mendesak dari hari ke hari. Dan jangan lupa, pohon yang ditebang sekarang untuk berbagai keperluan itu, bukan ditanam setahun atau dua tahun lalu, melainkan bertahun-tahun sebelumnya.
Setelah menghabisinya dalam sekejap, penjahat lingkungan ini tak sedikit pun tergerak hatinya untuk menggantinya dengan yang baru. Akibatnya, pohon yang hidup puluhan tahun itu lenyap begitu saja dan hari demi hari, suasana gerah maupun kekeringan kian terasa.
Sejauh ini pula tak ada batasan yang jelas, mana kawasan yang tak boleh diganggu. Akhirnya tanaman yang sudah tumbuh sejak puluhan tahun, ditebang tanpa ampun di sepanjang lereng gunung, dan berakhir hanya di dapur api untuk keperluan masak memasak.
Hal ini tentu tak akan jadi masalah, jika penebangan itu disusul dengan penggantian tanaman baru yang tentu saja cocok dengan kondisi sekitar. Tentu saja kita menanam tanaman keras yang tahan kekeringan.
Bila perlu setiap penebangan, selalu diiringi dengan perhitungan, tebang satu tanam tiga atau 10. Karena kondisi lahan yang ada, khususnya di lereng gunung yang cukup luas itu masih sangat memungkinkan untuk dilakukan.
Dengan penanaman yang cukup giat di sepanjang lereng Gunung Boleng, bukan tak mungkin bahwa dalam jangka waktu tertentu, mata air yang sebelumnya kering kerontang, pada akhirnya dapat muncul kembali. Kecuali kalau pelajaran ilmu alam yang kita peroleh di sekolah selama ini ternyata keliru.
Kita sangat patut prihatin, karena seiring makin menipisnya pohon-pohon di padang maupun sisa hutan yang lebih sering dibakar daripada diitanami, maka sejumlah satwa pun kian berkurang bahkan musnah.
Jika sekarang ini anda semua berkesempatan berjalan-jalan ke Puncak Gunung Boleng, maka anda sudah pasti akan kesulitan menjumpai kambing hutan atau babi hutan, termasuk beberapa jenis unggas yang sudah menyentuh taraf langka.
Dan yang lebih mengerikan lagi, terbetik berita dari kampung halaman, bahwa banyak anak muda yang berleha-leha di Puncak Gunung Boleng dan membuat banyak "kekacauan" di sana. Kita perlu berhati-hati akan hal ini, karena terlampau berat.
Jangan lupa, bahwa meski Gunung Boleng ini begitu kering kerontang, namun masih sangat terjaga secara ROHANI. Jadi jika membuat ulah yang macam-macam di tempat ini, saya pikir sulit bagi anda semua untuk mempertanggungjawabkannya.
Sedangkan terhadap apa yang terlihat pun (Kerusakan hutan) anda tak dapat berbuat apapun, apalagi terhadap hal yang ROHANI, yang tak terlihat. Hati-hati karena hal itu tak lama lagi. Terima kasih.
Kamis, 03 November 2011
KAPAL RATU ROSARI
Terserah kepada sidang pembaca, apakah ini bisa dipandang sebagai suatu keanehan atau hal yang biasa-biasa saja. Yang jelas, peristiwa ini saya alami pada 5 Juli 1986 di Kota Larantuka. Persisnya di Dermaga Larantuka dan sekitarnya.
Ketika itu saya baru pulang sekolah dari SMA PGRI Larantuka. Kekurangan lokal sekolah memaksa kami yang duduk di bangku SMA untuk sekolah sore. Tepat pukul 17.45 Wita, sekolah bubaran.
Saya pulang ke Pantai Besar, rumah Pak Thomas Boro, tempat saya menumpang selama sekolah di Larantuka. Di rumah keluarga yang sangat saya kasihi karena betapa baiknya mereka dan tentu saja jasa mereka tak akan sanggup saya balas, Ama Djou Bolly sudah menunggu. Karena menurut rencana, hari itu Ama Djou Bolly bersama keluarga akan bertolak ke Pulau Seram dengan menumpang Kapal Ratu Rosari.
Satu-satunya orang yang tak percaya adalah Pak Thomas Boro. Mungkin sesuai nama Santo Thomas yang disandangnya, Pak Thomas memang benar-benar tak percaya jika belum melihat bukti. Ratu Rosari baru seminggu lalu berangkat ke Surabaya dari Dermaga Larantuka. Jadi sekarang ini paling-paling masih dalam perjalanan ke Surabaya. Tidak mungkin datang hari ini di Pelabuhan Larantuka, '' kata Pak Thomas, sang petualang sejati yang sungguh hafal jadwal keberangkatan kapal maupun motor laut di hampir semua jalur.
Namun Ama Djou Bolly tetap tampak tenang dan memberikan kepastian bahwa hari itu kapal Ratu Rosari akan bersandar di Larantuka. Ketika aku tiba di rumah Pantai Besar, Ama Djou Bolly langsung meminta kami menyiapkan segala sesuatu untuk mengantarnya ke Dermaga Larantuka bersama keluarga.
Kami pun menyiapkan segala keperluan untuk mengantar keberangkatannya. Apalagi barang yang dibawa pun cukup banyak ditambah lagi dengan rencana Ama Djou Bolly yang akan menetap dalam jangka waktu cukup lama di Pulau Seram, atau setidak-tidaknya di Provinsi Maluku.
Kami berangkat dengan penuh tanya dalam hati, apakah mungkin ada kapal yang akan mengantar keluarga ini sampai tujuan. Sebab Pak Thomas Boro sangat yakin hari itu tak ada kapal, apalagi Kapal Ratu Rosari yang baru berangkat kira-kira sepekan lalu ke Surabaya.
Setelah kami ada dalam angkutan umum yang mengantar kami ke Dermaga Larantuka, suasana begitu sepi dalam kendaraan itu. Tak ada yang berbicara atau menyampaikan sesuatu.
Sementara dari atas angkutan umum yang meliwati jalur pinggir pantai, terlihat pandangan nun jauh di sana, tak ada kapal satu pun di Dermaga Larantuka, hanya perahu nelayan yang parkir di pantai.
Dalam beberapa menit, akhirnya sampailah kami di dermaga itu. Meski dermaga ini sungguh sepi, apalagi matahari sudah makin memerah pertanda senja pun mulai tenggelam, namun Ama Djo Bolly dengan suara yang rendah tetap meminta kami mengakut barang keperluan yang akan di bawa ke kapal yang akan mengangkut mereka ke tujuan.
''Tidak ada kapal, mana ada kapal. Benar kata Pak Thomas,'' kata Kakak Simon Kopong, salah seorang yang ikut mengantar.
Kakak Elias Masan yang ikut ngantar tampak hanya pasrah, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya sedikit tersungging senyum di bibir, seakan tak percaya bahwa kapal akan datang. Namun Ama Djou Bolly tetap menyatakan, bahwa hari itu kapal akan datang.
Sinar matahari kini hanya tampak di puncak bukit Tanjung Gemuk, Adonara. Angin yang sejuk semilir mulai terasa berhembus. Kemudian dari tengah laut sana, datang sebuah kapal dengan posisi menyamping dan langsung sandar tanpa peringatan bolak balik dari anak buah kapal.
Di lambung kapal itu tertulis, Ratu Rosari dengan huruf besar, kemudian huruf agak kecil di bawahnya, Surabaya, namun semuanya huruf kapital. Meski senja telah turun namn tiang kapal masih tampak berkilat ditimpa sisa-sisa cahaya mentari senja.
Ama Djou Bolly pun bergegas menarik lengan saya dan membawa saya ke ujung dermaga yang lainnya. Di tempat itu Ama Djou Bolly memegang kedua lengan saya dan menyampaikan beberapa pesan penting, khususnya mengenai DATANGNYA DUNIA BARU ADONARA.
Setelah itu Ama Djou Bolly langsung pamitan menuju kapal itu.
Kami membantunya memasukan barang-barang berupa pakaian, termasuk mesin jahit. Dan terakhir tikar untuk alas tidur di palka kapal.
Setelah membereskan semua itu, Ama Djou Bolly kemudian melangkah mendekati pinggiran kapal. Sebentar kemudian Ama Djou menumpukan tangannya di pinggir kapal itu, kemudian tangan yang sebelah lagi dilambaikan kepada kami. Bersamaan dengan itu, kapal yang tak menurunkan jangkar itu langsung meninggalkan Dermaga Larantuka.
Dalam sekejap saja, Dermaga Larantuka yang sempat hiruk pikuk itu sedemikian sepi. Kapal itu telah bergerak ke arah Timur menantang arus Gonsalu. Dan kami pun berjalan beriringan pulang menuju angkutan umum menuju Pantai Besar.
Kakak Elias Masan sempat menanyakan, apa saja pesan Ama Djou Bolly yang disampaikan kepada saya. Saya hanya katakan, ada beberapa pesan, namun salah satunya, bahwa Ama Djou Bolly akan kembali lagi ke Adonara 10 tahun kemudian.
''Mana Ama Djou mereka dan yang lainnya,'' tanya Pak Thomas Boro ketika kami tiba di rumah Pantai Besar.
''Mereka sudah berangkat dengan Kapal Ratu Rosari tadi,'' jawabku singkat.
''Tapi tadi dari sini kami tidak lihat ada kapal yang liwat di laut sana,'' kata Pak Thomas seakan tak percaya.
Maklumlah, Pantai Besar berada di ketinggian menghadap laut lepas yang ada di depaan. Jadi jangankan kapal besar, bahkan motor dari dan ke Waiwerang, Adonara ataupun perahu nelayan pun sungguh mudah dipantau dari tempat ini.
''Tapi mereka memang sudah berangkat semuanya, dengan kapal Ratu Rosari,'' jawabku lagi menegaskan.
Dahi Pak Thomas tampak agak berkerut. Seakan tak percaya, Pak Thomas hanya bergumam, ''Bagaimana bisa begitu ya? Kapal Ratu Rosari kan belum seminggu ini ke Surabaya,'' ujarnya seakan pada diri sendiri.
Apapun yang terjadi, dan bagaimana pun terjadinya, ketika itu memang Ama Djou Bolly beserta keluarga berangkat ke Ambon. Cerita ini kusampaikan kepadamu sekadar berbagi sebuah peristiwa yang menurutku sendiri tidak lazim. Anda percaya atau tidak, itu terserah anda. Selagalas, 4 November 2011.
Ketika itu saya baru pulang sekolah dari SMA PGRI Larantuka. Kekurangan lokal sekolah memaksa kami yang duduk di bangku SMA untuk sekolah sore. Tepat pukul 17.45 Wita, sekolah bubaran.
Saya pulang ke Pantai Besar, rumah Pak Thomas Boro, tempat saya menumpang selama sekolah di Larantuka. Di rumah keluarga yang sangat saya kasihi karena betapa baiknya mereka dan tentu saja jasa mereka tak akan sanggup saya balas, Ama Djou Bolly sudah menunggu. Karena menurut rencana, hari itu Ama Djou Bolly bersama keluarga akan bertolak ke Pulau Seram dengan menumpang Kapal Ratu Rosari.
Satu-satunya orang yang tak percaya adalah Pak Thomas Boro. Mungkin sesuai nama Santo Thomas yang disandangnya, Pak Thomas memang benar-benar tak percaya jika belum melihat bukti. Ratu Rosari baru seminggu lalu berangkat ke Surabaya dari Dermaga Larantuka. Jadi sekarang ini paling-paling masih dalam perjalanan ke Surabaya. Tidak mungkin datang hari ini di Pelabuhan Larantuka, '' kata Pak Thomas, sang petualang sejati yang sungguh hafal jadwal keberangkatan kapal maupun motor laut di hampir semua jalur.
Namun Ama Djou Bolly tetap tampak tenang dan memberikan kepastian bahwa hari itu kapal Ratu Rosari akan bersandar di Larantuka. Ketika aku tiba di rumah Pantai Besar, Ama Djou Bolly langsung meminta kami menyiapkan segala sesuatu untuk mengantarnya ke Dermaga Larantuka bersama keluarga.
Kami pun menyiapkan segala keperluan untuk mengantar keberangkatannya. Apalagi barang yang dibawa pun cukup banyak ditambah lagi dengan rencana Ama Djou Bolly yang akan menetap dalam jangka waktu cukup lama di Pulau Seram, atau setidak-tidaknya di Provinsi Maluku.
Kami berangkat dengan penuh tanya dalam hati, apakah mungkin ada kapal yang akan mengantar keluarga ini sampai tujuan. Sebab Pak Thomas Boro sangat yakin hari itu tak ada kapal, apalagi Kapal Ratu Rosari yang baru berangkat kira-kira sepekan lalu ke Surabaya.
Setelah kami ada dalam angkutan umum yang mengantar kami ke Dermaga Larantuka, suasana begitu sepi dalam kendaraan itu. Tak ada yang berbicara atau menyampaikan sesuatu.
Sementara dari atas angkutan umum yang meliwati jalur pinggir pantai, terlihat pandangan nun jauh di sana, tak ada kapal satu pun di Dermaga Larantuka, hanya perahu nelayan yang parkir di pantai.
Dalam beberapa menit, akhirnya sampailah kami di dermaga itu. Meski dermaga ini sungguh sepi, apalagi matahari sudah makin memerah pertanda senja pun mulai tenggelam, namun Ama Djo Bolly dengan suara yang rendah tetap meminta kami mengakut barang keperluan yang akan di bawa ke kapal yang akan mengangkut mereka ke tujuan.
''Tidak ada kapal, mana ada kapal. Benar kata Pak Thomas,'' kata Kakak Simon Kopong, salah seorang yang ikut mengantar.
Kakak Elias Masan yang ikut ngantar tampak hanya pasrah, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya sedikit tersungging senyum di bibir, seakan tak percaya bahwa kapal akan datang. Namun Ama Djou Bolly tetap menyatakan, bahwa hari itu kapal akan datang.
Sinar matahari kini hanya tampak di puncak bukit Tanjung Gemuk, Adonara. Angin yang sejuk semilir mulai terasa berhembus. Kemudian dari tengah laut sana, datang sebuah kapal dengan posisi menyamping dan langsung sandar tanpa peringatan bolak balik dari anak buah kapal.
Di lambung kapal itu tertulis, Ratu Rosari dengan huruf besar, kemudian huruf agak kecil di bawahnya, Surabaya, namun semuanya huruf kapital. Meski senja telah turun namn tiang kapal masih tampak berkilat ditimpa sisa-sisa cahaya mentari senja.
Ama Djou Bolly pun bergegas menarik lengan saya dan membawa saya ke ujung dermaga yang lainnya. Di tempat itu Ama Djou Bolly memegang kedua lengan saya dan menyampaikan beberapa pesan penting, khususnya mengenai DATANGNYA DUNIA BARU ADONARA.
Setelah itu Ama Djou Bolly langsung pamitan menuju kapal itu.
Kami membantunya memasukan barang-barang berupa pakaian, termasuk mesin jahit. Dan terakhir tikar untuk alas tidur di palka kapal.
Setelah membereskan semua itu, Ama Djou Bolly kemudian melangkah mendekati pinggiran kapal. Sebentar kemudian Ama Djou menumpukan tangannya di pinggir kapal itu, kemudian tangan yang sebelah lagi dilambaikan kepada kami. Bersamaan dengan itu, kapal yang tak menurunkan jangkar itu langsung meninggalkan Dermaga Larantuka.
Dalam sekejap saja, Dermaga Larantuka yang sempat hiruk pikuk itu sedemikian sepi. Kapal itu telah bergerak ke arah Timur menantang arus Gonsalu. Dan kami pun berjalan beriringan pulang menuju angkutan umum menuju Pantai Besar.
Kakak Elias Masan sempat menanyakan, apa saja pesan Ama Djou Bolly yang disampaikan kepada saya. Saya hanya katakan, ada beberapa pesan, namun salah satunya, bahwa Ama Djou Bolly akan kembali lagi ke Adonara 10 tahun kemudian.
''Mana Ama Djou mereka dan yang lainnya,'' tanya Pak Thomas Boro ketika kami tiba di rumah Pantai Besar.
''Mereka sudah berangkat dengan Kapal Ratu Rosari tadi,'' jawabku singkat.
''Tapi tadi dari sini kami tidak lihat ada kapal yang liwat di laut sana,'' kata Pak Thomas seakan tak percaya.
Maklumlah, Pantai Besar berada di ketinggian menghadap laut lepas yang ada di depaan. Jadi jangankan kapal besar, bahkan motor dari dan ke Waiwerang, Adonara ataupun perahu nelayan pun sungguh mudah dipantau dari tempat ini.
''Tapi mereka memang sudah berangkat semuanya, dengan kapal Ratu Rosari,'' jawabku lagi menegaskan.
Dahi Pak Thomas tampak agak berkerut. Seakan tak percaya, Pak Thomas hanya bergumam, ''Bagaimana bisa begitu ya? Kapal Ratu Rosari kan belum seminggu ini ke Surabaya,'' ujarnya seakan pada diri sendiri.
Apapun yang terjadi, dan bagaimana pun terjadinya, ketika itu memang Ama Djou Bolly beserta keluarga berangkat ke Ambon. Cerita ini kusampaikan kepadamu sekadar berbagi sebuah peristiwa yang menurutku sendiri tidak lazim. Anda percaya atau tidak, itu terserah anda. Selagalas, 4 November 2011.
Rabu, 02 November 2011
TAPAL BATAS
Dengan darah, sejengkal tanah dipertahankan. Maka bicara tentang tanah, sama saja dengan bicara tentang darah. Hal yang sensitif ini harus diselesaikan dengan baik, jika tidak maka akan kembali kepada penyelesaian asal yakni darah.
Apa penyelesaian yang baik itu? Satu-satunya cara yang masih tersisa, selain penyelesaian dengan darah yang menjadi puncak penyelesaian setelah segala jalan tak bisa ditempuh, yakni mengurai sejarah. Jika sejarah dapat dipaparkan dengan baik, diberikan penjelasan yang hakiki, dan diletakan pada dasarnya yang wajar, maka kita akan paham, mana yang sepatutnya berhak dan mana yang tak sepatutnya berhak.
Dengan demikian, tak akan terjadi pertumpahan darah sebagaimana yang dikhawatirkan, karena batas tanah sekali lagi merupakan hal yang terlampau sensitif. Ini ditunjang lagi dengan bukti kepemilikan yang tak tertulis seperti sertifikat.
Kepemilikan atas tanah di tempat ini, berdasarkan sumpah para pendahulu yang mewariskan tanah itu. Jadi jika ada yang main-main dengan batas tanah, maka yang bersangkutan akan berurusan dengan sumpah yang melekat atas tanah itu.
Juga perlu diingat bahwa apa sumpah yang terucap, tak ada yang tahu, karena disampaikan dengan gaya lisan. Maka penyelesaian atas sengketa batas tanah pun sedemikian runyam. Bukti kepemilikan tanah akhirnya beralih pertaruhan yang murni.Jika benar maka tegak, jika salah maka gugur. Demikianlah adanya hukum adat di Adonara menyelesaikan perkara. Tapi itu dulu. Namun jika di zaman ini masih ada yang ngotot juga, bukan tak mungkin hal serupa akan terulang. Karena hal ini sepertinya sudah menjadi darah daging di Adonara.
Zaman ini, ketika hukum ditegakan dalam keadaan miring sana miring sini, yang benar dapat disalahkan, yang salah dapat dibenarkan karena berbagai cara, maka tidak demikian dengan sejarah. Zaman ini, asal ada uang maka penentu keadilan dapat disogok beberapa rupiah untuk membelokan keadilan. Maka zaman dulu, ditentukan dengan darah. Jika benar maka tetap tegak di atas tanah itu, jika salah namun tetap ngotot maka akan terkapar.
Hal yang sedang diuraikan ini bukanlah menyangkut suatu batas tanah di suatu negara yang begini luas, tetapi soal batas tanah di pulau nun jauh di sana, di Pulau Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Meski berada dalam suatu wilayah kabupaten di dalam negara ini yang telah memiliki hukum negara untuk menentukan segala hukum dan aturan soal hak milik, namun orang Adonara juga punya aturan sendiri yang sudah ada sejak dulu, entah kapan.
Yang jelas ini aturan warisan yang tetap dipegang teguh, dan tak pernah lekang dimakan zaman. Putusan hakim di dalam ruang sidang, hanya dianggap sebagai sinetron. karena dianggap telah kehilangan dasarnya yang murni?
Mengapa? Karena putusan hakim di dalam ruang sidang yang digelar di atas dunia ini, bisa berubah warna seperti bunglon sesuai situasi. Bisa putih, hitam, bahkan abu-abu.
Bagi orang Adonara, memungkiri aturan adat Adonara sama saja dengan memungkiri diri sendiri, karena setiap jengkal tanah dipertahankan dengan darah.
Aturan di atas kertas boleh ngoceh tentang kebenaran sampai ke ujung langit, tapi sanggupkah aturan itu berhadapan dengan PENGADILAN DUNIA BAWAH TANAH? Inilah yang menjadi patokan paling akhir, yang membuat orang berpikir ribuan kali jika mau melanggar batas tanah, bahkan pelanggaran-pelanggaran lainnya tergantung kadar pelanggaran.
Jika Kitab Suci telah memiliki aturan sendiri soal batas tanah, maka demikian pula aturan adat. Dan kedua aturan itu untuk masyarakat Adonara tampaknya tak terlampau berseberangan, meski aturan adat memang jauh lebih keras dan tegas jika dibandingkan kitab suci.
Kitab suci memang melarang dengan sangat tegas, namun aturan adat disertai sanksi adat yang boleh dikatakan sangat mengerikan Seperti yang diuraikan sebelumnya, tanah = darah.
Di zaman ini, ketika makin banyak orang yang sekolah dan mempelajari aturan yang dibuat negara, beserta segala cara meloloskan diri jika terlibat masalah, orang mulai mencari-cari cara juga untuk mendapatkan sesuatu yang bukan hak.
Apakah demikian juga terjadi di Adonara? Saya pikir hanya orang yang punya nyawa rangkap 10 saja seperti Rahwana yang berani melakukan hal itu. Karena sanksi adat sangat nyata, dan itu berlangsung di segala zaman.
Dapatkah seseorang atau sekelompok orang mengakui sebidang tanah apalagi suatu kawasan sebagai miliknya sementara yang bersangkutan tak tahu sama sekali sejarah atas tanah itu? Adonara tidaklah terlalu luas, dan bagaimana sejarah tanah milik masing-masing lewo yang ada di dalamnya, sungguh sangat jelas.
Jika di kemudian hari tiba-tiba ada yang mengklaim tanah itu sebagai milik tanpa latar sejarah yang jelas, maka inilah yang tampaknya menjadi cikal bakal pertumpahan darah baru di era modern.
Sementara itu, penyelesaian tapal batas dengan menggunakan aturan pemerinta/negara, tampaknya kurang bahkan tak berpengaruh di dalam hukum adat Adonara. Karena itu, penyelesaian melalui jalur pemerintah, bukannya berujung penyelesaian melainkan menambah bara di atasnya.
Satu-satunya untuk menghentikan segala kekacauan ini yakni penyelesaian secara adat istiadat, Jika zaman sebelumnya masing-masing orang berdiri di tapal batas dengan reket masing-masing untuk membuktikan kebenarannnya menurut hukum Adonara, maka ada pula jalan yang tak harus berhadapan langsung dengan reket. Yakni Sumpah di depan Nuba.
Di tempat itulah para pihak dapat mengangkat sumpah satu sama lain untuk menegaskan tapal batas masing-masing sesuai latar sejarah. Masalah yang muncul kemudian yakni, dimanakah sumpah itu akan dilaksanakan dan di depan Nuba yang mana. Jika tak ketemu lagi jalan yang sesuai maka satu-satunya jalan yakni mendirikan Oring Geraran dan Paha Eken serta peri Nobo di tapal batas yang diakui...
Lebih lanjut, kita semua tak akan sanggup menjamin, apakah yang akan terjadi kemudian. Jika bukan "ata tani maka ata geka." Itu saja. Dan lebih dari semuanya itu, akan lebih baik jika yang merasa tak tahu latar sejarah dan tak berhak, sebaiknya jauh-jauh hari mundur dan melakukan perdamaian. Karena ini jalan paling baik, tanpa korban sama sekali, selain korban beberapa ekor hewan untuk upacara perdamaian. Manakah yang anda pilih....??? Selagalas, 3 November 2011
Apa penyelesaian yang baik itu? Satu-satunya cara yang masih tersisa, selain penyelesaian dengan darah yang menjadi puncak penyelesaian setelah segala jalan tak bisa ditempuh, yakni mengurai sejarah. Jika sejarah dapat dipaparkan dengan baik, diberikan penjelasan yang hakiki, dan diletakan pada dasarnya yang wajar, maka kita akan paham, mana yang sepatutnya berhak dan mana yang tak sepatutnya berhak.
Dengan demikian, tak akan terjadi pertumpahan darah sebagaimana yang dikhawatirkan, karena batas tanah sekali lagi merupakan hal yang terlampau sensitif. Ini ditunjang lagi dengan bukti kepemilikan yang tak tertulis seperti sertifikat.
Kepemilikan atas tanah di tempat ini, berdasarkan sumpah para pendahulu yang mewariskan tanah itu. Jadi jika ada yang main-main dengan batas tanah, maka yang bersangkutan akan berurusan dengan sumpah yang melekat atas tanah itu.
Juga perlu diingat bahwa apa sumpah yang terucap, tak ada yang tahu, karena disampaikan dengan gaya lisan. Maka penyelesaian atas sengketa batas tanah pun sedemikian runyam. Bukti kepemilikan tanah akhirnya beralih pertaruhan yang murni.Jika benar maka tegak, jika salah maka gugur. Demikianlah adanya hukum adat di Adonara menyelesaikan perkara. Tapi itu dulu. Namun jika di zaman ini masih ada yang ngotot juga, bukan tak mungkin hal serupa akan terulang. Karena hal ini sepertinya sudah menjadi darah daging di Adonara.
Zaman ini, ketika hukum ditegakan dalam keadaan miring sana miring sini, yang benar dapat disalahkan, yang salah dapat dibenarkan karena berbagai cara, maka tidak demikian dengan sejarah. Zaman ini, asal ada uang maka penentu keadilan dapat disogok beberapa rupiah untuk membelokan keadilan. Maka zaman dulu, ditentukan dengan darah. Jika benar maka tetap tegak di atas tanah itu, jika salah namun tetap ngotot maka akan terkapar.
Hal yang sedang diuraikan ini bukanlah menyangkut suatu batas tanah di suatu negara yang begini luas, tetapi soal batas tanah di pulau nun jauh di sana, di Pulau Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Meski berada dalam suatu wilayah kabupaten di dalam negara ini yang telah memiliki hukum negara untuk menentukan segala hukum dan aturan soal hak milik, namun orang Adonara juga punya aturan sendiri yang sudah ada sejak dulu, entah kapan.
Yang jelas ini aturan warisan yang tetap dipegang teguh, dan tak pernah lekang dimakan zaman. Putusan hakim di dalam ruang sidang, hanya dianggap sebagai sinetron. karena dianggap telah kehilangan dasarnya yang murni?
Mengapa? Karena putusan hakim di dalam ruang sidang yang digelar di atas dunia ini, bisa berubah warna seperti bunglon sesuai situasi. Bisa putih, hitam, bahkan abu-abu.
Bagi orang Adonara, memungkiri aturan adat Adonara sama saja dengan memungkiri diri sendiri, karena setiap jengkal tanah dipertahankan dengan darah.
Aturan di atas kertas boleh ngoceh tentang kebenaran sampai ke ujung langit, tapi sanggupkah aturan itu berhadapan dengan PENGADILAN DUNIA BAWAH TANAH? Inilah yang menjadi patokan paling akhir, yang membuat orang berpikir ribuan kali jika mau melanggar batas tanah, bahkan pelanggaran-pelanggaran lainnya tergantung kadar pelanggaran.
Jika Kitab Suci telah memiliki aturan sendiri soal batas tanah, maka demikian pula aturan adat. Dan kedua aturan itu untuk masyarakat Adonara tampaknya tak terlampau berseberangan, meski aturan adat memang jauh lebih keras dan tegas jika dibandingkan kitab suci.
Kitab suci memang melarang dengan sangat tegas, namun aturan adat disertai sanksi adat yang boleh dikatakan sangat mengerikan Seperti yang diuraikan sebelumnya, tanah = darah.
Di zaman ini, ketika makin banyak orang yang sekolah dan mempelajari aturan yang dibuat negara, beserta segala cara meloloskan diri jika terlibat masalah, orang mulai mencari-cari cara juga untuk mendapatkan sesuatu yang bukan hak.
Apakah demikian juga terjadi di Adonara? Saya pikir hanya orang yang punya nyawa rangkap 10 saja seperti Rahwana yang berani melakukan hal itu. Karena sanksi adat sangat nyata, dan itu berlangsung di segala zaman.
Dapatkah seseorang atau sekelompok orang mengakui sebidang tanah apalagi suatu kawasan sebagai miliknya sementara yang bersangkutan tak tahu sama sekali sejarah atas tanah itu? Adonara tidaklah terlalu luas, dan bagaimana sejarah tanah milik masing-masing lewo yang ada di dalamnya, sungguh sangat jelas.
Jika di kemudian hari tiba-tiba ada yang mengklaim tanah itu sebagai milik tanpa latar sejarah yang jelas, maka inilah yang tampaknya menjadi cikal bakal pertumpahan darah baru di era modern.
Sementara itu, penyelesaian tapal batas dengan menggunakan aturan pemerinta/negara, tampaknya kurang bahkan tak berpengaruh di dalam hukum adat Adonara. Karena itu, penyelesaian melalui jalur pemerintah, bukannya berujung penyelesaian melainkan menambah bara di atasnya.
Satu-satunya untuk menghentikan segala kekacauan ini yakni penyelesaian secara adat istiadat, Jika zaman sebelumnya masing-masing orang berdiri di tapal batas dengan reket masing-masing untuk membuktikan kebenarannnya menurut hukum Adonara, maka ada pula jalan yang tak harus berhadapan langsung dengan reket. Yakni Sumpah di depan Nuba.
Di tempat itulah para pihak dapat mengangkat sumpah satu sama lain untuk menegaskan tapal batas masing-masing sesuai latar sejarah. Masalah yang muncul kemudian yakni, dimanakah sumpah itu akan dilaksanakan dan di depan Nuba yang mana. Jika tak ketemu lagi jalan yang sesuai maka satu-satunya jalan yakni mendirikan Oring Geraran dan Paha Eken serta peri Nobo di tapal batas yang diakui...
Lebih lanjut, kita semua tak akan sanggup menjamin, apakah yang akan terjadi kemudian. Jika bukan "ata tani maka ata geka." Itu saja. Dan lebih dari semuanya itu, akan lebih baik jika yang merasa tak tahu latar sejarah dan tak berhak, sebaiknya jauh-jauh hari mundur dan melakukan perdamaian. Karena ini jalan paling baik, tanpa korban sama sekali, selain korban beberapa ekor hewan untuk upacara perdamaian. Manakah yang anda pilih....??? Selagalas, 3 November 2011
Selasa, 01 November 2011
DUNIA BARU
Ketika manusia jatuh dalam dosa, maka Tuhan menciptakan dunia baru bagi manusia. Manusia tak lagi tinggal di Firdaus yang serba ada. Mereka didepak keluar dari taman yang menjadi impian umat manusia yang menghuni bumi sekarang ini maupun manusia di zaman jauh sebelum ini.
Terhadap manusia pertama beserta keturunannya, masih berlimpah berkat yang luar biasa. Kemudian datanglah masa kegelapan lagi. Bumi harus disucibersihkan dari manusia yang terlalu banyak yang hidupnya sudah tidak karuan.
Tuhan juga mengadili Sodom dan Gomorah dengan api. Barang siapa yang masih menghendaki apa yang ada di dalamnya dan menoleh untuk mengambil sesuatu di dalamnya, akan menjadi tiang garam.
Ada pula kota yang masih dapat diselamatkan seperti Niniwe yang mau mendengar peringatan Tuhan melalui Nabi Yunus
Manusia yang jatuh bangun dengan nafsunya yang berkobar ini, juga jatuh sangat jauh sehingga butuh pembersihan cukup total. Tuhan mengirim air bah, namun menyelamatkan Nabi Nuh beserta keluarga dan kerabatnya, termasuk segala hewan peliharaannya dan lain sebagainya.
Pembersihan demi pembersihan mulai muncul di segala zaman dalam berbagai bentuk dan ragam.Gempa bumi, perang, kelaparan,dan lain sebagainya menjadi warna lain dalam pengadilan baru untuk sebuah dunia baru.
Semua itu ada dalam Kitab Suci Injil. Lantas bagaimana dengan keseharian kita di zaman ini? Zaman ketika pemberitahuan akan hal ini telah disampaikan ribuan tahun lalu?
Bahwa akan ada dunia baru. Entah seperti apa bentuknya, dan seperti apa nanti manusia yang ada di dalamnya.
Namun patokannya, tetap sama saja dari dahulu kala, bahwa yang masuk dalam dunia baru hanyalah manusia yang lolos seleksi. Jika tak lolos seleksi, tak mungkin akan masuk dalam dunia baru.
Bicara tentang dunia baru, seakan sebuah bayang-bayang, siapakah yang tahu, dan siapakah yang menjaminnya? Namun jaminan dunia baru sangat jelas, yakni jaminan akan kehdupan yang penuh dengan kasih, suka cita, dan damai sejahtera.
Dunia baru hanya memuat hal ini. Jika masih ada pertentangan atau perselisihan maka dunia baru hanyalah berisi bayang-bayang kiamat yang datang dan perginya pun serba misterius.
Bagi manusia yang hidup dalam suasana kasih,sukacita, dan damai sejahtera, maka hari-hari hdupnya dipakai untuk menantikan apa yang disebut sebagai dunia baru itu. Dunia yang bebas dari rasa dengki, iri, dan benci. Bahkan tanpa disadarinya, sebenarnya dia sudah ada dalam dunia itu seraya menanti kepenuhan.
Dunia yang menyatukan semua hati dalam kasih sayang yang penuh. Tiada lagi saling curiga atau berprasangka. Dunia yang begitu sulit diukur takarannya dengan kondisi dunia saat ini yang penuh dengan wabah penyakit, kelaparan, perang, dan bencana-bencana.
Manusia bukan tak mungkin melangkah ke sana, namun seperti menyeberangi lautan orang butuh kapal, maka menyeberang ke dunia baru pun butuh sarana bahkan jika menganut konsep Krstiani, manusia butuh diselamatkan.
Sekarang, jika ada orang mulai berseru di padang gurun kehidupan ini, Luruskanlah Jalan Tuhan, Ratakanlah lorong-lorong. Setiap lekukan harus ditimbun. karena Dia yang telah ditetapkan sejak zaman prbakala dan para nabi, akan datang menyelamatkan dunia, janganlah manusia terus menutup telinganya dan membutakan matanya, atau membendung dengan sekuat tenaga suara itu dengan dentuman musik dari ruang dugem yang gegap gempita.
Hal itu bukan tak boleh, namun di zaman yang menjelang akan berakhir ini, perlu ada upaya memanfaatkan waktu yang tersisa untuk mendengarkan suara yang dikumandangkan sedemikian lantang dari padang gurun kehidupan ini.
Padang gurun di zaman Yohanes Pembaptis, memang benar-benar padang gurun, sebagaimana Yohanes pun makan belalang dan madu hutan. Namun bukan mustahil, kehidupan zaman ini yang dilanda krisis iman, maupun krisis hidup karena banyak orang lebih senang bermain-main di bibir maut, dapat pula diartikan sebagai padang gurun kehidupan yang sedemikian haus akan setetes kasih sayang, apalagi suka cita, dan damai sejahtera.
Siapakah suara yang berseru-seru di zaman ini, dari gurun kehidupan yang panas mencekam itu? Dengarkanlah suaranya segeralah ambil langkah sebelum semuanya terjadi, karena akan ada penyesalan panjang jika segalanya telah terjadi.
Sebagaimana Yohanes Pembabtis ditolak dan dipertanyakan kuasanya saat membaptis orang termasuk membaptis Yesus, demikian pula Yohanes Pembaptis zaman ini, yang akan datang dengan suara yang lantang dari padang gurun kehidupan, menantang para penguasa tamak, dan farisi-farisi berjubah panjang yang berbaris di loteng rumah ibadat.
Segeralah buka mata dan siagalah, karena hal ini berlangsung dalam waktu yang cukup sulit diterka. ....Demikian dan harap maklum..serta terserah padamu.....Selagalas, 2 November 2011.
Terhadap manusia pertama beserta keturunannya, masih berlimpah berkat yang luar biasa. Kemudian datanglah masa kegelapan lagi. Bumi harus disucibersihkan dari manusia yang terlalu banyak yang hidupnya sudah tidak karuan.
Tuhan juga mengadili Sodom dan Gomorah dengan api. Barang siapa yang masih menghendaki apa yang ada di dalamnya dan menoleh untuk mengambil sesuatu di dalamnya, akan menjadi tiang garam.
Ada pula kota yang masih dapat diselamatkan seperti Niniwe yang mau mendengar peringatan Tuhan melalui Nabi Yunus
Manusia yang jatuh bangun dengan nafsunya yang berkobar ini, juga jatuh sangat jauh sehingga butuh pembersihan cukup total. Tuhan mengirim air bah, namun menyelamatkan Nabi Nuh beserta keluarga dan kerabatnya, termasuk segala hewan peliharaannya dan lain sebagainya.
Pembersihan demi pembersihan mulai muncul di segala zaman dalam berbagai bentuk dan ragam.Gempa bumi, perang, kelaparan,dan lain sebagainya menjadi warna lain dalam pengadilan baru untuk sebuah dunia baru.
Semua itu ada dalam Kitab Suci Injil. Lantas bagaimana dengan keseharian kita di zaman ini? Zaman ketika pemberitahuan akan hal ini telah disampaikan ribuan tahun lalu?
Bahwa akan ada dunia baru. Entah seperti apa bentuknya, dan seperti apa nanti manusia yang ada di dalamnya.
Namun patokannya, tetap sama saja dari dahulu kala, bahwa yang masuk dalam dunia baru hanyalah manusia yang lolos seleksi. Jika tak lolos seleksi, tak mungkin akan masuk dalam dunia baru.
Bicara tentang dunia baru, seakan sebuah bayang-bayang, siapakah yang tahu, dan siapakah yang menjaminnya? Namun jaminan dunia baru sangat jelas, yakni jaminan akan kehdupan yang penuh dengan kasih, suka cita, dan damai sejahtera.
Dunia baru hanya memuat hal ini. Jika masih ada pertentangan atau perselisihan maka dunia baru hanyalah berisi bayang-bayang kiamat yang datang dan perginya pun serba misterius.
Bagi manusia yang hidup dalam suasana kasih,sukacita, dan damai sejahtera, maka hari-hari hdupnya dipakai untuk menantikan apa yang disebut sebagai dunia baru itu. Dunia yang bebas dari rasa dengki, iri, dan benci. Bahkan tanpa disadarinya, sebenarnya dia sudah ada dalam dunia itu seraya menanti kepenuhan.
Dunia yang menyatukan semua hati dalam kasih sayang yang penuh. Tiada lagi saling curiga atau berprasangka. Dunia yang begitu sulit diukur takarannya dengan kondisi dunia saat ini yang penuh dengan wabah penyakit, kelaparan, perang, dan bencana-bencana.
Manusia bukan tak mungkin melangkah ke sana, namun seperti menyeberangi lautan orang butuh kapal, maka menyeberang ke dunia baru pun butuh sarana bahkan jika menganut konsep Krstiani, manusia butuh diselamatkan.
Sekarang, jika ada orang mulai berseru di padang gurun kehidupan ini, Luruskanlah Jalan Tuhan, Ratakanlah lorong-lorong. Setiap lekukan harus ditimbun. karena Dia yang telah ditetapkan sejak zaman prbakala dan para nabi, akan datang menyelamatkan dunia, janganlah manusia terus menutup telinganya dan membutakan matanya, atau membendung dengan sekuat tenaga suara itu dengan dentuman musik dari ruang dugem yang gegap gempita.
Hal itu bukan tak boleh, namun di zaman yang menjelang akan berakhir ini, perlu ada upaya memanfaatkan waktu yang tersisa untuk mendengarkan suara yang dikumandangkan sedemikian lantang dari padang gurun kehidupan ini.
Padang gurun di zaman Yohanes Pembaptis, memang benar-benar padang gurun, sebagaimana Yohanes pun makan belalang dan madu hutan. Namun bukan mustahil, kehidupan zaman ini yang dilanda krisis iman, maupun krisis hidup karena banyak orang lebih senang bermain-main di bibir maut, dapat pula diartikan sebagai padang gurun kehidupan yang sedemikian haus akan setetes kasih sayang, apalagi suka cita, dan damai sejahtera.
Siapakah suara yang berseru-seru di zaman ini, dari gurun kehidupan yang panas mencekam itu? Dengarkanlah suaranya segeralah ambil langkah sebelum semuanya terjadi, karena akan ada penyesalan panjang jika segalanya telah terjadi.
Sebagaimana Yohanes Pembabtis ditolak dan dipertanyakan kuasanya saat membaptis orang termasuk membaptis Yesus, demikian pula Yohanes Pembaptis zaman ini, yang akan datang dengan suara yang lantang dari padang gurun kehidupan, menantang para penguasa tamak, dan farisi-farisi berjubah panjang yang berbaris di loteng rumah ibadat.
Segeralah buka mata dan siagalah, karena hal ini berlangsung dalam waktu yang cukup sulit diterka. ....Demikian dan harap maklum..serta terserah padamu.....Selagalas, 2 November 2011.
Senin, 31 Oktober 2011
Menangani Malapetaka
Barangkali benar, bahwa kami memang orang primitiv. Karena itu cara penanganan yang kami lakukan terhadap berbagai malapetaka pun sungguh berbeda dengan cara penanganan yang dilakukan orang modern yang sudah tentu lebih jauh maju perkembangannya.
Ketika terjadi malapetaka di daerah lain, entah itu wabah penyakit atau bencana-bencana lain, orang berteriak keras kepada pemerintah agar segera membantu. Segera datangkan tenaga medis atau pasukan SAR atau siaga bencana, dan lain-lain.
Ini sungguh berbeda dengan daerah saya yang nun jauh di sana, di kaki Gunung Boleng (Ile Boleng), Desa Watoone, Adonara, Flores Timur.Ketika datang malapetaka atau bencana, jarang ada orang yang berteriak kepada pemerintah.
Ada beberapa kemungkinan yang melatarbelakangi, mengapa masyarakat tak berteriak kepada pemerintah. Pertama, karena masyarakat sudah terbiasa menghadapi hal seperti ini sendiri tanpa minta bantuan pemerintah, atau suara masyarakat yang sayup nun jauh di kaki bukit, tak sanggup terdengar hingga ke takhta pemerintah yang tampaknya terlampau sibuk mengurus hal-hal lain ketimbang mengurus malapetaka yang menimpa warga.
Apalagi, mengurus malapetaka yang menimpa warga hanya membuat lelah saja.Belum lagi ditambah dengan pusat pemerintahan yang ada di seberang laut, membuat teriakan itu kian sayup terdengar.
Mungkin begitu. Tak usah bicara dulu soal flu burung yang akhir-akhir ini mewabah di Adonara. Bahkan rabies yang menggila beberapa tahun bahkan belasan tahun lalu di daerah ini pun sampai sekarang belum ditangani hingga tuntas.
Itu soal rabies. apalagi soal malapetaka lain yang menimpa warga. Misalnya, sekumpulan anjing yang melahap habis hewan sekandang yang bagi orang setempat menyebutnya Aho Berongoten.
Anjing jenis ini masih menjadi misteri hingga kini.
Tak hanya binatang, bahkan manusia yang mencoba menghalanginya melahap binatang, bisa ikut mau dimakannya. Memang sejauh ini belum terdengar ada Aho Berongoten yang makan manusia. Namun demikian, hal itu bukan tak mungkin. Lihatlah, bagaimana kuda dan babi pun kadang dimakan anjng jenis ini.
Yang mengherankan, anjing jenis ini munculnya serba misterius, begitu juga menghilangnya. Mereka datang berkelompok, menyerbu kandang yang penuh dengan kambing atau domba, setelah itu tak berapa lama, kandang itu menjadi sangat sepi, karena semuanya telah dilahap habis.
Ada yang hanaya digigit sedikit saja dan ditinggalkan, namun kambing maupun domba itu mati total, sehingga tak bisa diapa-apakan. Lebih aneh lagi, pengalaman orang yang memakan kambing atau domba hasil gigitan anjing ini, mengaku kambing atau domba itu memiliki rasa tak seperti kambing atau domba pada umumnya. Rasanya terlampau hambar, sampai orang tak mau memakannya.
Sejauh itu, masyarakat kebanyakan pasrah, apalagi pemerntah. Jika dilihat-lihat, kantor pemerintah yang dihuni orang sekolah tinggi itu tampaknya jauh lebih bego dalam menyelesaikan masalah ketimbang orang kampung yang menghadapi masalah ini dengan kesahajaannya.
Jika dalam waktu cukup lama, dan anjing-anjing ini tetap saja beraksi, maka upacara kampung pun diadakan. Bagaimana prosesinya, tentulah hanya pemiliknya yang tahu. Namun fakta menunjukan, bahwa setelah adanya prosesi adat itu, anjing ini tak mengganggu lagi sampai tiba waktunya kapan-kapan.
Begitu juga dengan ayam, yang kini perkembangan teknologi penelitian menyatakan terserang wabah flu burung sehingga semuanya berguguran dari pohon-pohon seperti daun kering.
Masyarakat bukannya tak mau tahu soal itu. Namun sampai kapankah mengharapkan tenaga kesehatan hewan nongol di kampung sana untuk menyelamatkan ayam yang tersisa dari wabah ini? Fakta menunjukan bahwa petugas kesehatan baru nongol setelah ayam yang ada hanya tersisa 1 atau 2 ekor.
Mengharapkan pemerintah turun tangan dalam kasus seperti ini ibarat pungguk merindukan bulan.
Masyarakat adat pun kembali menggelar ritual dengan harapan, wabah serupa segera menjauh dari kampung halaman, namun apakah hal itu bisa menjamin, siapakah yang tahu? Dan terlebih lagi, siapakah yang peduli?
Di tengah segala kepasrahan yang kian tak menentu itu, datanglah petugas pajak mendata harta masyarakat yang makin sekarat karena panen pun gagal lantaran musim yang tak tentu.
Jangankan panen, tanam pun gagal, karena hujan yang turun tak menentu. Bibit yang tersimpan sejak musim lalu pun terancam akan "hangus", jika hujan tak kunjung turun.
Di tahun sebelumnya, kasus serupa terjadi. Bibit yang tersimpan hampir habis, karena gagal tanam. Setelah tanam, hujan tak turun, hujan turun setelah bibit hangus dibakar matahari. Dengan apakah kita harus mengumpamakan penderitaan macam ini?
Sekarang, di musim ini, petani kembali menanam sisa bibit musim lalu. Harapannya, hujan akan turun dengan baik, dan jagung yang tersisa pun bisa tumbuh, sampai berbunga dan berbuah. Namun kabar duka belum juga habis dari kampung.
Setelah hujan lebat semalaman mengguyur kampung dan para petani bersemangat menanam jagung di ladang, tiba-tiba dalam sepekan terakhir, hujan belum juga turun. Kalau begini terus, mau ambil darimana lagi bibit jagung untuk ditanam?
Di balik ketenangan wajah mereka dalam menjalani hidup, ternyata beribu misteri derita dalam dada mereka siap meledak sewaktu-waktu. Alam seakan tak bersahabat lagi. Tak hanya tumbuhan tapi juga hewan. Apakah gerangan dengan semua kejadian yang memilukan ini?
Mengharap pemerintah? Tampaknya pemerintah terlampau sibuk mengurus kedudukan. Mengurus suksesi berikut, mengurus keluarga dan kerabatnya. Tak sempat mengurus warga yang begitu banyak, yang datang demgan keluhan yang sama saja.
Kemudian kita bertanya? Apakah boleh rakyat mengeluh? Apakah boleh seorang pemimpin, petinggi, alias penggede, turun sebentar dari takhtanya untuk melihat sekilas nasib masyaraakat yang tak menentu ini?
Kini yang tersisa, masyarakat hanya andalkan singkong. Itu pun hanya dimiliki petani tertentu di kebun tertentu yang pada musim lalu, masih terpelihara dan belum sempat dicabut untuk makanan kambing atau babi.
Jika menunggu masyarakat berteriak, tampaknya masyarakat sudah tak kuat lagi. Dan jika pemimpin masih terus juga menunda langkahnya, maka datanglah kembali sewaktu-waktu dengan pasukan lengkap para penggali kubur. Mungkin itulah yang paling tepat dan memuaskan. Betapa nikmat derita hidup ini. Selagalas, 1 November 2011
Kapela Watoone
Di kampung halamanku, Desa Watoone, Kecamatan Witihama, Adonara, Flores Timur, NTT, ada sebuah kapela (tempat ibadat Umat Katolik) yang lebih kecil dari gereja (paroki). Kapela ini berdiri sejak lama atas persetujuan tetua kampung. Bahkan menurut cerita yang saya dengar, jika tanpa persetujuan tetua kampung, kapela itu tak akan bisa berdiri.
Pastor paroki Witihama ketika itu, secara khusus datang ke Desa Watoone meminta persetujuan tetua kampung di Watoone, agar berkenan merestui berdirinya kapela itu. Al hasil, kapela itu berdiri. Dan setiap waktu, apalagi kalau ada upacara keagamaan yang besar, baik misa maupun doa Rosario, kapela itu pasti penuh bahkan melimpah keluar. Maklumlah, orang Watoone, 100 persen menganut Agama Katolik.
Tidak hanya kapela Watoone, paroki Witihama yang begitu besar pun kalau orang Watoone datang misa, maka gereja akan penuh melimpah hingga ke halaman. Tapi jika orang Watoone tak datang misa, maka gereja cenderung sepi.
Belakangan ada masalah pelik yang mengganjal. Ada pastor yang tabiatnya kurang sejalan dengan orang Watoone yang sebenarnya keras namun sangat taat beragama itu. Al hasil, gereja pun jadi sepi karena orang Watoone pada umumnya mulai jarang misa di paroki.
Bahkan tak hanya paroki, kapela yang dibangun di tengah kampung pun mulai sepi pengunjung. Umat mulai ogah-ogahan karena dibuat liar oleh pastor yang sok suci. Sebegitu sepinya kapela sampai-sampai tak ada yang mengamati, jika atap, maupun pintu kapela mulai lapuk termakan usia.
Syukurlah, altar maupun patung2 terbuat dari kayu yang kelasnya lain (Lebih bagus) sehingga tak gampang rusak. Selain itu, letaknya yang di dalam sehingga jarang kena sinar matahari maupun hujan, membuat benda-benda kudus itu pun masih sangat awet.
Namun bagaimana dengan atap kapela? Begitu juga dengan dinding yang terbuat dari batu bata yang mulai dimakan bubuk? Ini perlu renovasi sebelum kapela akhirnya benar-benar roboh.
Rencana pun dibuat secara cermat untuk membangun kembali kapela, tak hanya sekadar renovasi, karena dinding maupun atap yang lapuk butuh perbaikan total.
Sejauh itu, tak ada sedikit pun perhatian dari Paroki Witihama selaku induk. Pastornya diam, dan umat se paroki pun diam. Sementara warga Desa Watoone dengan sekuat daya yang ada mau membangun kembali kapela yang nyaris roboh itu.
Meski tanpa rencana yang cukup matang namun karena adanya keinginan yang kuat untuk membangun kembali kapela maka dinding kapela itu pun dirobohkan untuk dibangun baru. Setelah dirobohkan, warga Desa Watoone, mulai berpikir kira-kira dari sumber dana manakah kapela itu dapat dibangun kembali.
Sejauh itu, Paroki Witihama tak ada suara.
Akhirnya syukur kepada Tuhan, karena ada salah seorang putra Watoone yang ketika itu menjabat Wakil Gubernur NTT, Frans Lebu Raya (sekarang Gubernur NTT). Dengan uang dari kantong sendiri, putra Watoone ini menyumbang untuk pembangunan kapela.
Maka bahan-bahan pembangunan pun diadakan, dan pembangunan pun dimulai. Sayangnya, tantangan pembangunan kapela ini tak hanya sampai di sini. Di tengah jalan, pembangunan mangkrak karena orang yang diserahi tanggung jawab untuk pengadaan bahan, ternyata hanya bisa menghabiskan uang sementara bahan bangunan tak ada. Ditambah lagi dengan tidak adanya pertanggungjawaban yang jelas.
Untuk beberapa waktu, kapela Watoone, hanya berdiri dengan dinding tanpa atap bahkan rumput liar pun mulai tumbuh mengepungnya. Sampai di sini, Paroki Witihama masih juga membisu.
Setelah terpilih jadi Gubernur NTT, Pak Frans Lebu sungguh prihatin melihat kapela yang begitu lama tak juga selesai dibangun.
Daripada terus ditunda, Pak Frans akhirnya memberikan sumbangan uang maupun tenaga manusia langsung dari luar daerah untuk mengerjakan dan menyelesaikan pembangunan kapela ini. Tukang-tukang beserta peralatan langsung didatangkan dari luar.
Pertimbangannya jelas, bukan karena tukang di kampung tak mampu, melainkan pekerjaan tukang di kampung banyak sekali halangannya. Jika ada ini dan itu, halangan ini dan itu, maka pekerjaan pun terus tertunda dan tak selesai-selesai.
Akhirnya terbetik khabar, bahwa ada sejumlah uang yang diberikan untuk pembangunan kapela yang dikelola desa. Sampai di sini, pihak Paroki Witihama yang selama ini diam membisu tiba-tiba membuka mulut tanpa malu-malu menyatakan, bahwa semestinya pembangunan Kapela Watoone harus atas sepengetahuan paroki.
Bahkan tanpa rasa mau mencoba meminta pertanggungjawaban pihak desa atas penggunaan uang untuk pembangunan kapela. Ulah paroki Witihama ini sempat membuat penduduk Watoone tertawa terbahak-bahak. Entah kemana gerangan Paroki Witihama sejak kapela itu dibongkar sampai akhirnya kini telah berdiri kembali sedemikian megah. Justru ketika mendengar bunyi uang, tiba-tiba menyalak dan ingin berperan. Aneh nian.
Sayangnya, pihak desa pun tak mau menanggapi panjang lebar, karena pihak desa merasa tak ada urusan dengan Paroki Witihama dalam hal pembangunan kapela. Selain tak ada sepeser pun sumbangan, bahkan sekadar datang melihat-lihat pembangunan pun tidak, pihak paroki juga tak pernah mau peduli selama ini. Lantas apa urusannya pihak Desa Watoone menyampaikan laporan kepada Paroki Witihama?
Sungguh menyedihkan dan teramat memalukan. Namun tampaknya pihak Paroki Witihama memang punya kekebalan khusus soal rasa malu.
Di sisi lain, pihak desa dengan tegas menyatakan, bahwa pihakdesa hanya bertanggung jawab kepada Pak Frans Lebu selaku penyandang dana. Bukan kepada Paroki Witihama yang baru bangun dari mimpi panjang. Tampaknya perlu ada sedikit investigasi, mengapa kondisi Gereja Katolik Witihama beserta perangkatnya sedemikian parah. Tampaknya orang yang ada di dalamnya sudah tak berpikir dengan sedikit lurus.
Bahkan hal ini pun berlanjut pada penerimaan imam baru dari Watoone, yang menurut pastor paroki Witihama, imam baru harus menghadap dan lapor dulu kepadanya sebelum bertemu keluarganya di Watoone.Sebenarnya apa yang telah dilakukan pastor ini dalam perjalanan seorang imam baru dari Desa Watoone, sampai menuntut "bayaran" sedemikian besar? Pelajaran macam apakah yang diterima pastor ini di seminari yang konon sangat terkenal membina orang ,memilih orang, bahkan melantik orang jadi wakil Kristus di atas dunia ini? Kalau seperti ini tabiat pastor, aku jadi ragu, apakah benar semua pastor adalah wakil Kristus. Sebab pelajaran yang saya peroleh dari Kitab Suci yang sama-sama kita pedomani, tak seperti ini. Terima kasih dan maaf.....Selagalas, 31 Oktober 2011.
Pastor paroki Witihama ketika itu, secara khusus datang ke Desa Watoone meminta persetujuan tetua kampung di Watoone, agar berkenan merestui berdirinya kapela itu. Al hasil, kapela itu berdiri. Dan setiap waktu, apalagi kalau ada upacara keagamaan yang besar, baik misa maupun doa Rosario, kapela itu pasti penuh bahkan melimpah keluar. Maklumlah, orang Watoone, 100 persen menganut Agama Katolik.
Tidak hanya kapela Watoone, paroki Witihama yang begitu besar pun kalau orang Watoone datang misa, maka gereja akan penuh melimpah hingga ke halaman. Tapi jika orang Watoone tak datang misa, maka gereja cenderung sepi.
Belakangan ada masalah pelik yang mengganjal. Ada pastor yang tabiatnya kurang sejalan dengan orang Watoone yang sebenarnya keras namun sangat taat beragama itu. Al hasil, gereja pun jadi sepi karena orang Watoone pada umumnya mulai jarang misa di paroki.
Bahkan tak hanya paroki, kapela yang dibangun di tengah kampung pun mulai sepi pengunjung. Umat mulai ogah-ogahan karena dibuat liar oleh pastor yang sok suci. Sebegitu sepinya kapela sampai-sampai tak ada yang mengamati, jika atap, maupun pintu kapela mulai lapuk termakan usia.
Syukurlah, altar maupun patung2 terbuat dari kayu yang kelasnya lain (Lebih bagus) sehingga tak gampang rusak. Selain itu, letaknya yang di dalam sehingga jarang kena sinar matahari maupun hujan, membuat benda-benda kudus itu pun masih sangat awet.
Namun bagaimana dengan atap kapela? Begitu juga dengan dinding yang terbuat dari batu bata yang mulai dimakan bubuk? Ini perlu renovasi sebelum kapela akhirnya benar-benar roboh.
Rencana pun dibuat secara cermat untuk membangun kembali kapela, tak hanya sekadar renovasi, karena dinding maupun atap yang lapuk butuh perbaikan total.
Sejauh itu, tak ada sedikit pun perhatian dari Paroki Witihama selaku induk. Pastornya diam, dan umat se paroki pun diam. Sementara warga Desa Watoone dengan sekuat daya yang ada mau membangun kembali kapela yang nyaris roboh itu.
Meski tanpa rencana yang cukup matang namun karena adanya keinginan yang kuat untuk membangun kembali kapela maka dinding kapela itu pun dirobohkan untuk dibangun baru. Setelah dirobohkan, warga Desa Watoone, mulai berpikir kira-kira dari sumber dana manakah kapela itu dapat dibangun kembali.
Sejauh itu, Paroki Witihama tak ada suara.
Akhirnya syukur kepada Tuhan, karena ada salah seorang putra Watoone yang ketika itu menjabat Wakil Gubernur NTT, Frans Lebu Raya (sekarang Gubernur NTT). Dengan uang dari kantong sendiri, putra Watoone ini menyumbang untuk pembangunan kapela.
Maka bahan-bahan pembangunan pun diadakan, dan pembangunan pun dimulai. Sayangnya, tantangan pembangunan kapela ini tak hanya sampai di sini. Di tengah jalan, pembangunan mangkrak karena orang yang diserahi tanggung jawab untuk pengadaan bahan, ternyata hanya bisa menghabiskan uang sementara bahan bangunan tak ada. Ditambah lagi dengan tidak adanya pertanggungjawaban yang jelas.
Untuk beberapa waktu, kapela Watoone, hanya berdiri dengan dinding tanpa atap bahkan rumput liar pun mulai tumbuh mengepungnya. Sampai di sini, Paroki Witihama masih juga membisu.
Setelah terpilih jadi Gubernur NTT, Pak Frans Lebu sungguh prihatin melihat kapela yang begitu lama tak juga selesai dibangun.
Daripada terus ditunda, Pak Frans akhirnya memberikan sumbangan uang maupun tenaga manusia langsung dari luar daerah untuk mengerjakan dan menyelesaikan pembangunan kapela ini. Tukang-tukang beserta peralatan langsung didatangkan dari luar.
Pertimbangannya jelas, bukan karena tukang di kampung tak mampu, melainkan pekerjaan tukang di kampung banyak sekali halangannya. Jika ada ini dan itu, halangan ini dan itu, maka pekerjaan pun terus tertunda dan tak selesai-selesai.
Akhirnya terbetik khabar, bahwa ada sejumlah uang yang diberikan untuk pembangunan kapela yang dikelola desa. Sampai di sini, pihak Paroki Witihama yang selama ini diam membisu tiba-tiba membuka mulut tanpa malu-malu menyatakan, bahwa semestinya pembangunan Kapela Watoone harus atas sepengetahuan paroki.
Bahkan tanpa rasa mau mencoba meminta pertanggungjawaban pihak desa atas penggunaan uang untuk pembangunan kapela. Ulah paroki Witihama ini sempat membuat penduduk Watoone tertawa terbahak-bahak. Entah kemana gerangan Paroki Witihama sejak kapela itu dibongkar sampai akhirnya kini telah berdiri kembali sedemikian megah. Justru ketika mendengar bunyi uang, tiba-tiba menyalak dan ingin berperan. Aneh nian.
Sayangnya, pihak desa pun tak mau menanggapi panjang lebar, karena pihak desa merasa tak ada urusan dengan Paroki Witihama dalam hal pembangunan kapela. Selain tak ada sepeser pun sumbangan, bahkan sekadar datang melihat-lihat pembangunan pun tidak, pihak paroki juga tak pernah mau peduli selama ini. Lantas apa urusannya pihak Desa Watoone menyampaikan laporan kepada Paroki Witihama?
Sungguh menyedihkan dan teramat memalukan. Namun tampaknya pihak Paroki Witihama memang punya kekebalan khusus soal rasa malu.
Di sisi lain, pihak desa dengan tegas menyatakan, bahwa pihakdesa hanya bertanggung jawab kepada Pak Frans Lebu selaku penyandang dana. Bukan kepada Paroki Witihama yang baru bangun dari mimpi panjang. Tampaknya perlu ada sedikit investigasi, mengapa kondisi Gereja Katolik Witihama beserta perangkatnya sedemikian parah. Tampaknya orang yang ada di dalamnya sudah tak berpikir dengan sedikit lurus.
Bahkan hal ini pun berlanjut pada penerimaan imam baru dari Watoone, yang menurut pastor paroki Witihama, imam baru harus menghadap dan lapor dulu kepadanya sebelum bertemu keluarganya di Watoone.Sebenarnya apa yang telah dilakukan pastor ini dalam perjalanan seorang imam baru dari Desa Watoone, sampai menuntut "bayaran" sedemikian besar? Pelajaran macam apakah yang diterima pastor ini di seminari yang konon sangat terkenal membina orang ,memilih orang, bahkan melantik orang jadi wakil Kristus di atas dunia ini? Kalau seperti ini tabiat pastor, aku jadi ragu, apakah benar semua pastor adalah wakil Kristus. Sebab pelajaran yang saya peroleh dari Kitab Suci yang sama-sama kita pedomani, tak seperti ini. Terima kasih dan maaf.....Selagalas, 31 Oktober 2011.
Minggu, 30 Oktober 2011
KOMODO
Manusia termasuk manusia di negeri ini, begitu banyak menghabiskan waktunya untuk memperoleh pengakuan orang lain. Bila perlu untuk mendapatkan pengakuan, ada orang yang siap mengeluarkan banyak biaya. Tak peduli, apakah pada akhirnya akan diakui atau tidak, yang penting habis-habisan dulu berjuang dengan segala daya upaya.Begitu pentingkah pengakuan itu?
Akhir-akhir ini, kampanye digalakan kepada seluruh masyarakat Indonesia agar mendukung Komodo untuk ditetapkan menjadi salah satu keajaiban dunia. Rupanya tak hanya kemampuan, pengakuan, atau pendidikan saja yang dibeli. Manusia bahkan mau membeli keajaiban. Jadi, jika ternyata sebuah badan dunia itu tak mengakui lantaran kurangnya dukungan SMS, maka Komodo menjadi tidak ajaib.
Tapi jika SMS memenuhi syarat, maka ajaiblah Komodo. Apa sebenarnya yang sedang dilakukan para kapitalis ini? Komodo itu sudah ada sejak ratusan bahkan jutaan tahun lalu. Dan nyata bahwa Komodo itu kini hanya ada di Pulau Komodo dan beberapa pulau kecil lainnya di Manggarai Barat, Flores, NTT, Indonesia.
Terima atau tidak, di seantero jagad raya ini, Komodo hanya bisa djumpai di Pulau Komodo, NTT. Tak ada tempat lain manapun di duniia ini yang ada komodonya. Mau diakui atau tidak, komodo tetap ada.
Yang terjadi, justru sederetan lelucon yang tampak di depan mata. Iklan TV, koran, internet, dan kampanye-kampanye agar Komodo diakui sebagai keajaiban dunia. Bahkan bila perlu dengan mengeluarkan biaya besar demi menyandang predikat itu.
Sebagai orang NTT, khususnya Pulau Flores, kita patut patut bersyukur kepada TUHAN SEMESTA ALAM bahwa alam yang indah ini menjadi tempat yang cocok bagi reptil raksasa ini untuk berkembang biak. Syukur pula bahwa hanya di Pulau Komodo lah reptil ini bisa hidup dan tak bisa dikembangbiakan di tempat lain.
Tak seperti tambang Free Port, Irian Jaya atau Batu Hijau, Sumbawa, NTB yang isinya bisa dikeruk dan dibawa ke tempat lain sesuka hati.
Jika saja Komodo ini bisa dibawa dan dikembangbiakan di tempat lain, kemungkinan besar yang tersisa di Pulau Komdo hanya rumput kering dan batu padas. Lantas sekarang, kita semua beramai-ramai meminta sebuah badan dunia untuk mendapatkan pengakuan sebagai keajaiban dunia.
Apakah hal itu begitu penting? Begitu pentingkah pengakuan itu? Pikiran sederhana saya sendiri, di tengah zaman global ini, asal promosi bisa jalan dengan baik, maka wisatawan mancanegara dari ujung dunia manapun akan berdatangan menyaksikannya, tanpa harus ada pengakuan dari badan dunia yang banyak persyaratannya itu.
Mungkin lebih tepat, jika yang menyatakan ajaib atau tidak itu yakni para wisatawan yang berkunjung ke sana, karena merekalah yang menjadi saksi langsung tentang keajaiban dunia yang tersisa. Tak harus mengumpulkan sejumlah sms. Siapkah yang akan diuntungkan dengan sms ini? Atau akan lebih baik jika dana yang ada dipakai utk promosi keliling dunia. Bahkan itu pun belum tentu habis pula.
Ini namanya memberi makan orang kaya. Apakah ada kerja sama para bedebah ini dengan masyarakat Pualu Komodo yang selama ini selalu menjaga dan memelihara sisa-sisa Komodo? Bahkan jika ada sekalipun patut dipertanyakan seperti apa.
Singkatnya, diakui atau tidak, keajaiban tetaplah keajaiban.Jadi hemat saya, tak perlulah gusar dengan hasil voting itu. Mengapa negara yang begini besar tidak PD sama sekali dengan kekayaannya yang tak ada duanya di muka bumi ini? Dengan cara bagaimana lagi agar negeri ini bisa sadar bahwa kekayaannya ini tak sanggup dibeli dengan apapun, apalagi sekadar mendapatkan pengakuan keajaiban seharga pulsa?
Bangkitlah negeriku. Engkau tak serendah itu...Kekayaanmu bahkan membuat seluruh dunia ini seakan menjadi sinting dan mencari jalan bagaimana caranya agar bisa menumpang pada keajaiban alam, flora maupun fauna. Untuk sementara sekian dulu.....Selagalas, 31 Oktober 2011
Imam Baru
Untuk menjadi seorang pastor, seseorang harus sekolah di seminari, setelah sebelumnya tentu saja harus meliwati jenjang pendidikan yang hampir sama dengan jenjang pendidikan yang pada umunya seperti TK, SD, SMP, maupun SMA. Namun khusus bagi sekolah yang satu ini, jika bukan sekolah langsung di lembaga pendidikan yang bersangkutan maka perlu meliwati suatu tahapan yang disebut persiapan bawah untuk tingkat SMP dan persiapan atas untuk tingkat SMA.
Yang sekolah di tempat ini memang patut diakui memiliki kualitas lain dari lain, selain kelebihan khusus dalam pelajaran bahasa asing yang sungguh fasih. Bagi siswa tamatan seminari, meskipun tak sampai menjadi pastor, tetap saja menghasilkan orang-orang yang memiliki kemampuan lebih. Itu tak dapat dipungkiri.
Untuk semua hal itu, secara pribadi yang bersangkutan yang bersekolah di lembaga pendidikan ini pun harus berjuang keras. Menjadi pastor tak hanya sekadar pintar secara lahiriah melulu. Bahkan jika kita kembali ke konteks iman, maka menjadi pastor adalah panggilan semata.
Meski sehebat apapun juga, kalau yang namanya panggilan tak ada maka ada saja aral yang mengganjal di tengah jalan, sampai akhirnya gagal meraih jubah panjang. Tak sedikit anak muda yang sebelumnya memendam semangat berapi-api dalam dada sedemikian kecewa setelah mendapati kenyataan bahwa dirinya memang tak ada panggilan.
Akhirnya harus gugur di tengah jalan dan terpaksa melanjutkan sekolah di SMA atau SMP tertentu atau kuliah di universitas tertentu jika memang sudah mencapai tingkatan kuliah.
Ada juga yang karena berkat panggilan akhirnya loloslah sampai tahap akhir dan bersiap untuk ditahbiskan menjadi imam, yang sebelumnya meliwati beberapa tahapan seperti frater, diakon, dan lain sebagainya.
Menjadi pastor dengan hidup selibat, sungguh suatu pilihan yang begitu sulit bahkan tak rasional bagi banyak orang. Namun siapakah yang dapat merasionalkan iman? Dapatkah ada formula yang menjelaskan, bagaimana manusia bersujud di depan patung? Demikianlah pilihan yang sulit itu dapat dilakukan banyak orang.
Ini belum lagi ditambah dengan konsekuensi selanjutnya atas pilihan itu. Seorang pastor atau imam, harus bersedia ditempatkan di mana saja di seluruh dunia di mana pun karya misi itu ada. Imam baru yang telah lama meninggalkan keluarga itu, hanya datang sekadar pamitan untuk berkarya di suatu tempat yang dia sendiri tak tahu di mana, dan entah kapan akan bertemu lagi dengan keluarga.
Sebuah pengorbanan yang sekali lagi boleh dikatakan tak masuk akal.
Kemudian dengan penjelasan singkat mengenai perjalanan yang panjang menjadi seorang imam ini, sampailah saya pada peristiwa imam baru di kampung halamanku, Desa Watoone.
Ada seorang imam baru di kampungku. Dia ditahbiskan di Manatuto, Timor-Timur. Setelah ditahbiskan, dia ingin pulang kampung untuk bertemu keluarga maupun sanak kerabat yang lain di kampungnya yang ditinggalkannya berbilang tahun guna meraih imamat.
Kepulangannya yang sungguh sederhana ini justru menjadi masalah besar di kampung halaman, seakan-akan masalah itu lebih besar dari pilihan seseorang menjadi pastor dan hidup selibat. Pastor muda ini tertahan langkahnya begitu lama untuk bertemu keluarga, hanya karena ngototnya pastor paroki tempat kami berada agar sang imam muda ini harus kembali dan "menyembah" dia dulu di paroki sebelum bertemu keluarga.
Kontan saja kemauan pastor paroki ini membuat keluarga imam baru dan orang sekampung imam muda ini meradang. Mereka ingin agar pastor muda ini kembali sebentar ke keluarga sebelum menghadap pastor paroki yang ngotot itu.
Masalah ini ternyata makin tak sederhana, karena masing-masing pihak baik keluarga dan orang sekampung imam baru maupun pastor paroki yang tak mau mengalah. Di sisi lain, imam baru ingin agar pulang terlebih dahulu ke rumah dan kampungnya sebelum ke paroki.
Masalah yang sungguh kecil dan sederhana ini membuat segala persiapan penyambutan yang dilakukan panitia penyambutan di kampung halaman sang imam muda menjadi berantakan. Entah mengapa seorang pastor paroki yang telah menempuh pendidikan panjang menjadi pastor dan hidup selibat dalam kurun waktu yang sudah cukup lama ternyata belum dapat mencapai pelajaran bagaimana caranya mengalah.
Sungguh menjadi suatu petaka, bahwa seorang pastor yang belajar tinggi dan paham banyak ayat Kitab Suci ternyata belum bisa mengatasi kemauan pribadi dengan kemauan banyak orang.
Secara pribadi saya jadi heran, sebenarnya seberapa besar pengorbanan paroki (material) sampai imam baru ini dapat ditahbiskan? Atau seberapa banyak doa yang dipanjatkan (pengorbanan spiritual) sampai imam baru ini akhirnya bisa ditahbiskan yang telah dilakukan pihak pastoral paroki?
Setahu saya, untuk mendukung anaknya menjadi seorang pastor, anggota keluarga yang sederhana ini bahkan bersedia menjadi buruh TKI di Malaysia. Bahkan itu pun masih kurang sehingga ada pihak lain yang bersedia menjadi donatur.
Aku begitu sedih melihat keluarga imam baru yang begitu sederhana yang menjadi tetangga saya. Mereka dengan keberadaan mereka yang penuh keterbatasan seakan-akan menutup mata atas ketidakberdayaan mereka dengan menyekolahkan anaknya sampai menjadi seorang pastor.
Tampaknya iblis begitu murka melihat kaum kecil ini begitu taat kepada Pemilik Kehidupan ini. Sampai-sampai segala perjuangan mereka yang tak kenal lelah itu pun masih tetap dianggap kurang, dan mereka pun harus menanggung perkara baru yang semestinya tak harus mereka tanggung.
Pastor muda ini pun terpaksa masih tertahan di Timor Leste, menunggu kepastian kapan akan bisa bertemu keluarga dan kerabat di kampung halamannya sekaligus memandang wajah pastor yang ngotot itu.
Sampai di sini aku bertanya, sampai kapankah hal ini akan berakhir, meski aku tahu juga bahwa cepat atau lambat, toh semuanya akan berakhir juga.
Mudah-mudahan kita semakin sadar bahwa bertambahnya pekerja di ladang Tuhan, akan membuat panenan tambah melimpah, bukannya membuat umat menjadi bertambah liar dan tak terkendali. Gembala yang baik semestinya mendengar suara umatnya, bukannya malah mencekik umat dengan berbagai persoalan yang sebenarnya tak perlu atau berlaku ngotot dan mau menang sendiri.
Gembala yang baik semestinya menghantar umat ke padang rumput yang hijau dan mata air yang jernih, bukan sebaliknya malah menyulap padang rumput yang hijau dan mata air yang jernih menjadi gurun. Semoga......Selagalas, 30 Oktober. ....
Jumat, 28 Oktober 2011
Isu, kadang mirip wabah penyakit. Orang yang tak tahu apapun juga kadang dituding menjadi provokator. Orang yang tenang tidur di rumahnya, kadang terusik karena isu, kemudian karena ketulusan hatinya untuk memikirkan saudaranya, atau keluarganya yang senasib dengannya, maka tanpa dapat dibendung lagi, isu yang diterima pun di-forward ke kalangan keluarga. Kemudian, keresahan pun kian bertambah dan makin tak terkendali.
Kemudian di ujung jalan yang gelap ini kita bertanya, sebenarnya siapa yang menjadi biang kerok keresahan ini? Para penegak hukum, yang dilengkapi dengan perangkat intelijen yang konon belajar hingga keluar negeri dengan anggaran negara, konon tak sanggup pula mengungkap siapa sebenarnya penyebar isu. Padahal ini hanyalah permainan barang elektronik yang sudah tentu tak mungkin tak bisa dilacak, kecuali kalau bagian cyber criminal di kepolisian ternyata sedemikian bodohnya.
Kemudian, ketidaktahuan akan biang kerok, membuat keresahan semakin bertambah-tambah, bahkan ada yang terpaksa sampai menangis-nangis dan menelepon polisi agar bersedia datang dan memberikan penanganan alias pengamanan khusus.
Jangan lupa, masyarakat ini akhirnya merasa nyaman dengan adanya aparat yang memberikan pengamanan secara khusus. Ini tentu hanya dapat dilakukan orang berduit, yang punya toko, punya barang dagangan, singkatnya pebisnis yang tak rela hasil usahanya akan habis dijarah sesuai bunyi SMS maupun selebaran yang beredar.
Di sisi lain, kita bertanya, bagaimana nasib masyarakat yang tak punya apa-apa? Bolehkah masyarakat menelepon polisi dan meminta pengamanan khusus seperti yang dilakukan para pedagang yang paling tidak berduit itu?
Satu lagi, apakah hak rasa aman dan nyaman hanya milik orang berduit, sama seperti pendidikan dan kesehatan di zaman ini? Lantas bagaimana dengan kaum kecil yang sudah minor, ditambah lagi dengan tak punya modal untuk meminta pengamanan khusus, meskipun ketakutan telah melandanya akibat isu yang beredar?
Satu lagi, sebenarnya aparat keamanan ini melindungi rakyat atau rakyat tertentu saja yang barangkali memberikan tambahan penghasilan....?
Mari kita jawab ini bersama-sama dan berupaya memperbaiki keadaan, karena hal ini tampaknya sedang berlangsung di tengah sebuah negara yang besar, merdeka, dan berdaulat...namun sebagian rakyatnya hidup dalam himpitan ketakutan karena tak punya cukup ongkos utk bayar tenaga pengamanan khusus....Semoga situasi lekas berubah menjadi lebih baik.....
Kemudian di ujung jalan yang gelap ini kita bertanya, sebenarnya siapa yang menjadi biang kerok keresahan ini? Para penegak hukum, yang dilengkapi dengan perangkat intelijen yang konon belajar hingga keluar negeri dengan anggaran negara, konon tak sanggup pula mengungkap siapa sebenarnya penyebar isu. Padahal ini hanyalah permainan barang elektronik yang sudah tentu tak mungkin tak bisa dilacak, kecuali kalau bagian cyber criminal di kepolisian ternyata sedemikian bodohnya.
Kemudian, ketidaktahuan akan biang kerok, membuat keresahan semakin bertambah-tambah, bahkan ada yang terpaksa sampai menangis-nangis dan menelepon polisi agar bersedia datang dan memberikan penanganan alias pengamanan khusus.
Jangan lupa, masyarakat ini akhirnya merasa nyaman dengan adanya aparat yang memberikan pengamanan secara khusus. Ini tentu hanya dapat dilakukan orang berduit, yang punya toko, punya barang dagangan, singkatnya pebisnis yang tak rela hasil usahanya akan habis dijarah sesuai bunyi SMS maupun selebaran yang beredar.
Di sisi lain, kita bertanya, bagaimana nasib masyarakat yang tak punya apa-apa? Bolehkah masyarakat menelepon polisi dan meminta pengamanan khusus seperti yang dilakukan para pedagang yang paling tidak berduit itu?
Satu lagi, apakah hak rasa aman dan nyaman hanya milik orang berduit, sama seperti pendidikan dan kesehatan di zaman ini? Lantas bagaimana dengan kaum kecil yang sudah minor, ditambah lagi dengan tak punya modal untuk meminta pengamanan khusus, meskipun ketakutan telah melandanya akibat isu yang beredar?
Satu lagi, sebenarnya aparat keamanan ini melindungi rakyat atau rakyat tertentu saja yang barangkali memberikan tambahan penghasilan....?
Mari kita jawab ini bersama-sama dan berupaya memperbaiki keadaan, karena hal ini tampaknya sedang berlangsung di tengah sebuah negara yang besar, merdeka, dan berdaulat...namun sebagian rakyatnya hidup dalam himpitan ketakutan karena tak punya cukup ongkos utk bayar tenaga pengamanan khusus....Semoga situasi lekas berubah menjadi lebih baik.....
Kamis, 27 Oktober 2011
Nu u Mara yang Mengganas Lagi...
Kampungku terhenyak dengan begitu banyaknya malapetaka yang datang menimpa. Jauh sebelum ini, ada wabah rabies. Dalam waktu sekian lama, orang di kampung halamanku berjuang melawan maut dengan caranya sendiri.
Bertahun bahkan belasan tahun kemudian, baru pemerintah dari antah berantah mulai memikirkan utk berbela rasa meneliti otak anjing yang mengandung rabies. Ketika itu korban telah berjatuhan. Utk urusan korban rabies ini, masyarakatku yang miskin di kampung halaman itu harus membayar sangat mahal.
Mahal yang kumaksudkan tentu saja bukan mahal menurut ukuran orang berduit yang doyan rampok uang rakyat. Bagi kalangan kaya raya, uang itu mungkin tak ada apa-apanya. Tapi bagi masyarakat di kampungku yang hidupnya hanya mengandalkan ubi kayu musiman atau kopra yang harganya sangat miring, maka untuk memperoleh uang Rp 10 ribu saja, puluhan kali mereka bolak-balik ke kebun.
Dan sekarang, ayam mulai terdengar jarang berkokok sebagaimana sebelumnya. Flu burung menyerang kawasan ini. Jangan harap pemerintah segera bertindak, sebab mereka sedang sibuk berbagi proyek. Urusan rakyat yang kalang kabut karena flu burung, urusan nanti. Sementara ayam berguguran dari pohon seperti daun kering di musim kemarau.
Kesedihan terdengar dari suara yang menggema di balik HP yang mulai kehabisan pulsa. Sementara kepada siapa mereka harus mengadukan persoalan yang mereka hadapi.
Bukan baru kali ini mereka menghadapi masalah yang begitu berat, bahkan tidak sekali dua kali tak hanya hewan piaraan tapi nyawa mereka pun ikut jadi permainan di ujung tanduk.
Sekarang, setelah ayam jarang terdengar berkokok, orang memasang telinga dengan hati yang cemas, kapan flu burung akan berlalu. Tempaan kehidupan yang keras membuat mereka pantang mengeluh, walaupun itu sebenarnya hak mereka sebagai warga negara yang semestinya mendapatkan perhatian yang sama dengan rakyat lainnya di negeri yang merdeka, berdaulat, dan konon adil dan makmur ini.
Tangis mereka seakan tenggelam. Mereka tak mengeluh lagi, mereka hanya bisa merenung dan bertanya kepada alam yang akrab dengan mereka, mengapa hal ini bisa terjadi di kampung halaman yang sangat mereka cinta. Dengan segala kepedihan hati, mereka mempersembahkan segala kerisauan hati mereka kepada PEMILIK KEHIDUPAN. Karena di tengah keberadaan mereka yang penuh keterbatasan, mereka masih percaya, bahwa TUHAN memang ada di atas segala sesuatu. Tampaknya memang sulit, tapi segala sesuatu bukan tanpa akhir.
Akhirnya, di balik segala kepenatan yang mengganjal, mereka tak lupa pula akan warisan para leluhur yang mengajari mereka untuk bersahabat dengan alam. Mungkin, sekali lagi mungkin, segala sesuatu yang menimpa ada hubungannya dengan perlakuan manusia yang kejam yang melebihi ambang batas kekejaman terhadap alam yang selalu akrab dan damai dengan mereka selama ini.
Kepolosan hati mereka mengajarkan dan menggerakan hati mereka untuk terus bertanya dan berpasrah diri, bahwa jika semua ini kehendak Dia, maka Dia pulalah yang akan mengantarkan menuju kehidupan yang jauh lebih baik, beradab dan berbudi, saling mengasihi.....Semoga...Selagalas, 27 Oktober,,2011
Kampungku terhenyak dengan begitu banyaknya malapetaka yang datang menimpa. Jauh sebelum ini, ada wabah rabies. Dalam waktu sekian lama, orang di kampung halamanku berjuang melawan maut dengan caranya sendiri.
Bertahun bahkan belasan tahun kemudian, baru pemerintah dari antah berantah mulai memikirkan utk berbela rasa meneliti otak anjing yang mengandung rabies. Ketika itu korban telah berjatuhan. Utk urusan korban rabies ini, masyarakatku yang miskin di kampung halaman itu harus membayar sangat mahal.
Mahal yang kumaksudkan tentu saja bukan mahal menurut ukuran orang berduit yang doyan rampok uang rakyat. Bagi kalangan kaya raya, uang itu mungkin tak ada apa-apanya. Tapi bagi masyarakat di kampungku yang hidupnya hanya mengandalkan ubi kayu musiman atau kopra yang harganya sangat miring, maka untuk memperoleh uang Rp 10 ribu saja, puluhan kali mereka bolak-balik ke kebun.
Dan sekarang, ayam mulai terdengar jarang berkokok sebagaimana sebelumnya. Flu burung menyerang kawasan ini. Jangan harap pemerintah segera bertindak, sebab mereka sedang sibuk berbagi proyek. Urusan rakyat yang kalang kabut karena flu burung, urusan nanti. Sementara ayam berguguran dari pohon seperti daun kering di musim kemarau.
Kesedihan terdengar dari suara yang menggema di balik HP yang mulai kehabisan pulsa. Sementara kepada siapa mereka harus mengadukan persoalan yang mereka hadapi.
Bukan baru kali ini mereka menghadapi masalah yang begitu berat, bahkan tidak sekali dua kali tak hanya hewan piaraan tapi nyawa mereka pun ikut jadi permainan di ujung tanduk.
Sekarang, setelah ayam jarang terdengar berkokok, orang memasang telinga dengan hati yang cemas, kapan flu burung akan berlalu. Tempaan kehidupan yang keras membuat mereka pantang mengeluh, walaupun itu sebenarnya hak mereka sebagai warga negara yang semestinya mendapatkan perhatian yang sama dengan rakyat lainnya di negeri yang merdeka, berdaulat, dan konon adil dan makmur ini.
Tangis mereka seakan tenggelam. Mereka tak mengeluh lagi, mereka hanya bisa merenung dan bertanya kepada alam yang akrab dengan mereka, mengapa hal ini bisa terjadi di kampung halaman yang sangat mereka cinta. Dengan segala kepedihan hati, mereka mempersembahkan segala kerisauan hati mereka kepada PEMILIK KEHIDUPAN. Karena di tengah keberadaan mereka yang penuh keterbatasan, mereka masih percaya, bahwa TUHAN memang ada di atas segala sesuatu. Tampaknya memang sulit, tapi segala sesuatu bukan tanpa akhir.
Akhirnya, di balik segala kepenatan yang mengganjal, mereka tak lupa pula akan warisan para leluhur yang mengajari mereka untuk bersahabat dengan alam. Mungkin, sekali lagi mungkin, segala sesuatu yang menimpa ada hubungannya dengan perlakuan manusia yang kejam yang melebihi ambang batas kekejaman terhadap alam yang selalu akrab dan damai dengan mereka selama ini.
Kepolosan hati mereka mengajarkan dan menggerakan hati mereka untuk terus bertanya dan berpasrah diri, bahwa jika semua ini kehendak Dia, maka Dia pulalah yang akan mengantarkan menuju kehidupan yang jauh lebih baik, beradab dan berbudi, saling mengasihi.....Semoga...Selagalas, 27 Oktober,,2011
Senin, 11 April 2011
Langganan:
Postingan (Atom)